Satu

896 Words
Suara ketukan sekaligus teriakan Mama di balik pintu kayu terus berkumandang di telinga Sia layaknya kaset rusak yang terus berputar di pagi hari. Dengan kesal Sia menutup telinganya dengan bantal kepalanya. "Sia!! Bangun! Ini hari pertamamu masuk sekolah menengah atas! Jika kamu tidak bangun sekarang Mama akan mengambil air garam dan menyiram-mu supayah roh malas di dalam tubuhmu pergi!" ancam Mama dari balik pintu yang akhirnya berhasil membuat Sia terpaksa bangkit dari posisi tidurnya. "Iya, iya! Sia udah bangun!" teriaknya sambil menguap tanpa berniat menutup bibirnya yang terbuka lebar. "Good! Dan jangan mencoba untuk kembali tidur!" Damn! Maki Sia dalam hati. Padahal ia baru saja hendak menjatuhkan tubuhnya lagi ke atas tempat tidurnya. Tapi teriakan mamanya berhasil membuat Sia membatalkan niatnya. Setelah memaksakan tubuhnya untuk mandi dan berpakaian. Akhirnya Sia berhasil duduk di meja makan bersama mama dan Lia, kakak perempuannya yang berbeda dua tahun darinya. "Kapan sih kamu berubah?" sindir Lia yang duduk tepat di sebelah Sia. Mendengar ucapan kakaknya itu sukses membuat pagi Sia mendung. Entah mengapa sejak kecil Sia merasa jika kakaknya itu tidak pernah menyukainya. Padahal apa salahnya? Ia tidak merebut popok miliknya? Kata mama popok Sia baru, hasil beli di supermarket! Sia juga tidak merebut s**u Lia karena umur mereka yang berbeda sehingga s**u formula mereka pun berbeda. Tapi Sia tidak mengerti mengapa kakaknya suka sekali menyakitinya. "Kalau gue jadi presiden," balas Sia asal. Ia sedang belajar menebalkan telinganya. Lima belas tahun menghadapi Lia seharusnya sudah menjadi hal mudah untuk Sia hadapi. Namun terkadang pembelaan mama terhadap Lia-lah yang sesekali sukses membuat Sia menangis seperti hari itu. Mengingat kejadian hari itu membuat pikiran Sia kembali melayang pada wajah laki-laki sang pemilik payung biru berbunga. Sehingga tanpa disadarinya Sia menahan tawanya. "Ada yang lucu menurut kamu?" kata Lia sinis. "Muka lo tuh lucu kaya badut. Bagusnya lo ngaca dulu sebelum lo berangkat sekolah," balas Sia yang langsung bangkit dari duduknya. Meraih selembar roti yang ada di atas meja. "Kamu ini adik kurang ajar!" geram Lia. "Sudah-sudah! Mau sampai kapan kalian berantem terus?" omel Mamanya ketika melihat perdebatan sengit kedua puterinya. "Sia, kali-kali hormati kakakmu. Bagaimana pun dia adalah kakakmu!" Inilah yang selalu terjadi ketika mereka beradu mulut. Mama akan selalu membela puteri sulungnya yang penuh prestasi. Sedangkan Sia hanya mampu mundur teratur. Sambil menahan emosi sekaligus kekecewaan yang sedang melebur di dalam dadanya, Sia pamit kepada mamanya dan meninggalkan dua perempuan yang selalu berhasil menyakiti hatinya. *** Keramaian sekolah Harapan Mulia membuat Sia mengedarkan pandangannya dan memandang sekitarnya dengan bibir terbuka. Terkagum-kagum dengan wajah baru yang belum dikenalnya. Beruntungnya Sia, tahun ini dia tidak perlu mengalami nelangsanya menghadapi masa orientasi siswa. Karena telah digantikan dengan masa pengenalan lingkungan sekolah selama tiga hari. Yang perlu dilakukannya hanya duduk manis dan mendengarkan para guru dan OSIS memberikan kata-kata sambutan pada mereka. Setelah mengetatkan genggaman pada tali ranselnya, Sia hendak melangkahkan kakinya menuju aula. Sesuai petunjuk yang diberikan oleh seorang anggota OSIS yang suaranya mengalahkan toa yang dipegang temannya. Tiba-tiba sebuah tepukan mendarat di bahu Sia. Membuat gadis itu terlonjak dan menolehkan kepalanya. Detik berikutnya Sia mencibirkan bibirnya saat melihat siapa pelakunya. "Yah..kok gitu sih reaksi muka lo Si liat gue?" protes Maya. Teman satu sekolahnya dulu a.k.a teman seperjuangannya di sekolah menengah pertama. Bukan seperjuangan mendapatkan gelar juara kelas, tapi teman seperjuangan mencontek kalau ulangan. "Udah mual tingkat maximal gue liat muka lo!" jawab Sia sambil berlalu. Maya terkekeh. "Tapi kok aneh ya Si, gue nggak mual lihat muka lo!" Mendengar jawaban Maya, Sia sukses dibuat kesal. Ia lebih memilih melangkahkan kakinya lebih cepat mendahului temannya yang suka lemot itu. Tapi dalam hati Sia mengucap syukur temannya itu mengikuti jejaknya bersekolah di sekolah yang sama dengannya. Setidaknya kehadiran Maya lebih menyenangkan hatinya dari pada kehadiran Lia. *** William mengedarkan pandangannya dari depan kelasnya yang terletak di lantai dua. Setelah puas memandang kumpulan murid-murid baru yang sedang berkumpul di lapangan sekolah, pandangan matanya terkunci pada sosok perempuan yang sedang sibuk mengibas-ngibaskan tangannya akibat cuaca yang siap memanggang para murid baru itu. Dia kan... "Will, lo dipanggil anak-anak buat kumpul di lapangan. Acara udah mau mulai," kata salah satu temannya yang bernama Prakoso. Katanya sih supaya terus perkasa makanya diberi nama Prakoso oleh kedua orang tuanya. Apa hubungannya coba? "Okay. Bentar lagi gue turun." Prakoso mengangguk mengerti dan berjalan meninggalkan William. Sedangkan laki-laki itu kembali mencari sosok yang sejak tadi mencuri perhatiannya. Sayangnya sosok perempuan itu sudah tidak ada di tempatnya tadi. Sekali lagi William mengedarkan pandangan matanya. Merasa gagal, akhirnya William melangkahkan kakinya meninggalkan tempatnya dan segera turun ke lapangan menyusul Prakoso. *** Teriknya matahari benar-benar menyiksa Sia. Ingin rasanya ia berlari pulang ke rumah dan menikmati kamarnya yang memiliki air conditioner. Mendengar omelan mamanya sepertinya jauh lebih baik dari pada menjadi daging panggang seperti ini. "May, gue ke toilet bentar ya. Lo tunggu sini, dengerin baik-baik omongan itu guru. Nanti awas lo pas gue tanya lo bilang nggak tahu," ancam Sia pada Maya yang langsung tunduk kepadanya. Dengan langkah besar-besar Sia mencari letak toilet. Dan ketika ia menemukan toilet yang ditujunya, ia langsung berlari kecil. Namun gerakannya perlahan berhenti ketika pandangan matanya menemukan sosok laki-laki yang sedang memandangnya juga. Sia memicingkan matanya. "Ah! Payung bunga-bunga!" teriaknya saat itu juga. Terkejut dengan sosok yang dilihatnya sekarang. Sedangkan laki-laki yang berdiri tak jauh darinya memasang ekspresi tak kalah terkejut darinya. Tapi tak lama kemudian senyum tipis terukir di bibirnya. "Sudah tidak sedih lagi?" ujar William. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD