Kalimat itu masih menggantung di udara, mengiris keheningan kamar. Bening terdiam beberapa detik, seakan otaknya butuh waktu ekstra untuk mencerna. Jantungnya berdegup keras, hampir memekakkan telinga sendiri. Tangannya yang menggenggam nampan terasa bergetar, jemari pucat menekan bingkai kayu. “Mas gila, ya?” Suara Bening akhirnya pecah, pelan tapi penuh tekanan. Ia menatap Banyu seolah pria itu baru saja mengatakan sesuatu yang paling absurd di dunia. Namun Banyu tidak bergeming. Meski wajahnya pucat karena demam, sorot matanya tetap teguh. Keringat dingin membasahi pelipisnya, napasnya sedikit terengah, tapi pandangannya sama sekali tidak goyah. Ia bersandar di kepala ranjang, tubuhnya lemah, tangannya menggenggam selimut erat-erat seakan itu satu-satunya penopang. “Aku serius,” ucap

