Pergi

1027 Words
Cahaya Oktavia Anderson, putri bungsu dari Azmi Zalina dengan Reno Putra Anderson,masih nyaman bersembunyi di balik selimut. Gadis cantik, bertubuh mungil tersebut, berusia sembilan belas tahun. Dua tahun yang lalu ia baru menyelesaikan pendidikannya di bangku sekolah menengah atas. Namun, belum ada sedikitpun keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.  Alasannya simpel saja. Usianya masih sangat muda, dan harta kekayaan sang ayah, Reno Anderson, tidak akan pernah habis hingga tujuh turunan. Apalagi, kedua kakak Cahaya sudah menikah, dan memiliki pasangan dari keluarga konglomerat juga. Otomatis, ialah yang akan menjadi ahli waris tersebut. Kebiasaan Azmi yang memanjakannya juga menjadi salah satu faktor kebebalan gadis tersebut.  "Sampai kapan kamu berada di dalam selimut tebal ini, Caca?" bentak Reno. Seraya menarik paksa selimut yang gadis itu kenakan. Cahaya Oktavia. Namun, Reno dan Azmi lebih suka memanggil putri bungsunya itu dengan sebutan 'Caca'.  "Apaan, ih, Papi …" gerutunya. Mencoba menarik kembali selimut tersebut.  "Bangun! Bukannya tidur lagi. Harus berapa kali Ayah katakan, kamu harus mulai kuliah, Ca!" geram Reno.  "Caca tidak mau kuliah, Pi. Kuliah itu bikin capek. Lagian nih, ya, harta kekayaan Papi tidak akan pernah habis dimakan hingga tujuh turunan." Cahaya menjawab dengan santainya.  "Cahaya! Kalau kamu tidak mengubah cara kamu berpikir, Ayah akan coret nama kamu dari daftar warisan!" sembur Reno. Seraya beranjak dari hadapan putrinya itu.  "Aarrgghh. Kalau tahu Papi begini kepada Caca, lebih baik waktu itu Papi mati saja di dalam jurang!" sergah Cahaya.  "Apa kamu bilang?" Reno berbalik dan … Plak! Tangannya terangkat untuk menampar pipi mulus Cahaya.  "Papi jahat!" sergah Cahaya. Ia segera turun dari ranjang. Lalu mengemasi pakaiannya.  "Ada apa ini, Bang? Suara kalian berdua sampai hingga ke lantai bawah!" susul Azmi.  "Mami …!" pekik Cahaya. Seraya menghambur ke dalam pelukan Azmi. "Lihat kelakuan putrimu itu, Mi. Lisannya sudah keterlaluan. Dia menyesali keselamatanku atas kecelakaan itu!" geram Reno. Ia segera keluar dan membanting pintu kamar putri bungsunya tersebut.  Belum lagi kering trauma Reno yang nyaris kehilangan nyawanya, saat mobil yang ia tumpangi terjun bebas ke dalam jurang. Kini Cahaya malah menyesali keselamatannya. Selama ini Reno sudah cukup sabar menghadapi cahaya, tapi kini ia lelah dan tidak ingin lagi bertemu dengan Cahaya. Bahkan kini, terlintas di pikiran Reno, untuk menikahkan putrinya itu dengan anak petani yang telah menyelamatkan nyawanya. Karena anak petani tersebut memiliki agama yang kuat dan akhlak yang sangat baik. Mau tidak mau, suka atau tidak Reno akan menikahkan mereka dalam waktu dekat.  Azmi melepaskan pelukannya dari Cahaya. "Dengar, Ca. Bunda sudah berusaha sabar dan selalu membelamu di hadapan ayahmu. Tapi, untuk kali ini tidak ada lagi pembelaan untukmu. Bunda kecewa kepadamu, Ca. Bisa-bisanya kamu menyesali keselamatan ayahmu. Kamu tahu, pria itu yang telah menghadirkanmu di dunia ini. Beliau menjagamu dan membesarkanmu. Tidak sepantasnya kamu seperti ini."  "Mami," rengek Cahaya. Seumur hidupnya, ini kali pertama ia melihat Azmi menangis. Dan ia juga sadar, ucapannya kepada Reno sangat keterlaluan.  "Temui ayahmu. Minta ampun padanya. Sebelum kamu mendapatkan maaf dari ayahmu, jangan harap Bunda mau menegur kamu," ucap Azmi dengan suara yang begitu datar. Kali ini ia sangat menyesal atas sikapnya yang selalu memanjakan dan membela Cahaya, setiap Reno memarahinya.  Untuk kali ini Azmi ikut terluka, karena anak bungsunya menyesali kehidupan yang kini masih bisa dirasakan oleh Reno.  Mengingat kembali pada hari itu, Azmi rasanya ingin mati saja, saat mendengar mobil sang suami masuk ke dalam jurang yang amat dalam. Dua minggu lebih ia hidup layaknya mayat hidup. Hanya terbaring lemah di atas ranjang. Karena tidak ada satupun makanan maupun minuman yang ingin ia makan dan minum.  "Maafkan aku, Bang. Ini semua salahku. Kalau saja aku tidak memanjakan Cahaya, pasti dia tidak akan tumbuh menjadi anak yang pembangkang seperti saat ini." Memeluk Reno dari belakang. Untuk menenangkan hati sang suami, yang kini tengah terbakar emosi.  Reno berbalik, dan membalas pelukan sang istri. "Tidak. Ini bukan hanya salahmu. Ini juga salahku, Mi." Membawa Azmi duduk di sebuah sofa. "Barusan aku berpikir sesuatu. Dan aku yakin ini bisa membuat cahaya berubah menjadi lebih baik."  "Apa itu, Bang?" susul Azmi. Ia tidak sabar untuk mendengarkan apa yang kini dipikirkan oleh suaminya itu.  "Aku ingin menikahkan Cahaya, dengan anak petani yang dulu menyelamatkan aku. Kamu tahu, dia adalah pria yang tahu akan agama, sangat baik, dan tegas. Aku sangat yakin dia bisa mengubah Cahaya." "Semua terserah padamu, Bang. Aku yakin, sebelum mengambil keputusan ini, kamu sudah memikirkannya baik atau buruknya ini semua." Azmi mengulas senyum. Mungkin ini saatnya ia patuh kepada Reno. Mungkin pula sudah saatnya ia melepaskan Cahaya pergi agar bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Tidak jauh dari tempat Azmi dan Reno duduk, Cahaya yang ingin meminta maaf kepada sang ayah, mengurungkan niatnya. Ia malah semakin marah kepada Reno, dan kemarahan tersebut berimbas juga kepada Azmi. Ia merasa dikhianati dan diatur untuk sesuatu yang belum diinginkannya. Menikah? Yang benar saja. Usianya yang masih muda, masih belum sanggup harus hidup terkekang dan menggendong bayi kemana-mana. Tidak ingin menikah di usianya yang tergolong masih remaja, dan ingin memberikan pelajaran kepada kedua istrinya tuanya, Cahaya sepertinya memiliki satu rencana. Cepat Cahaya kembali ke kamar. Mengemasi barang-barang dan segera pergi meninggalkan rumahnya. Gadis itu pergi hanya membawa sedikit uang, untuk terbang ke Bali. Ia ingin menyusul Yandra, putra ke dua Alena dan Keano. Yang menetap tinggal di Bali, setelah menikah dan membuka showroom mobil. Yandra juga termasuk salah satu orang yang selalu memanjakan Cahaya.  Cahaya sangat yakin akan menemukan kebahagiaan di sana dan jauh dari segala aturan sang ayah, yang dianggapnya tidak masuk akal dan sangat merugikannya sebagai seorang anak.  Selalu saja begitu. Cahaya yang membuat kesalahan, pasti menyalahkan Reno jika marah dan menegur. Ia akan menjadi orang yang paling tersakiti dan malah mengatakan Reno yang terlalu keras  mendidik anak.  Sehingga Cahaya membenarkan tindakannya yang berniat untuk lari dari rumah. Membuat Reno menyesal telah seenaknya marah dan menjodohkannya dengan anak seorang petani. Menikah dengan pria kaya saja Cahaya belum tentu mau, apalagi menikah dengan anak seorang petani. Bisa dibayangkan bagaimana nantinya pernikahan mereka? Cahaya dengan segala kemewahan dan gaya hidup yang ala remaja ibu kota, tentu saja tidak akan pernah mau disandingkan dengan anak seorang petani yang berasal dari desa.  Membayangkannya saja sudah membuat Cahaya sesak nafas apa lagi menjalaninya. Sehingga pergi adalah jalan yang sangat tepat saat ini. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD