Pertemuan

1306 Words
Perjalanan yang ditempuh oleh Cahaya, tidak semudah dan semulus yang ia bayangkan. Pesawat yang ingin ia tumpangi mengalami keterlambatan. Sehingga Cahaya harus menunggu beberapa jam lagi untuk keberangkatannya. Namun, baru setengah jam menunggu, Cahaya melihat kehadiran kedua orang tuanya. Reno dan Azmi, yang sedang mencari keberadaannya. Gadis itu bisa melihat kilatan kemarahan di kedua mata ayahnya. Cahaya tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi jika kedua orang tuanya menemukan keberadaannya. Dengan bergerak cepat, Cahaya segera mencari kesempatan untuk keluar dari bandara. Membatalkan niatnya untuk pergi ke Bali. Ia akan mencari tempat tinggal yang lain. Tinggal bersama temannya mungkin? Setelah berusaha cukup keras, akhirnya Cahaya bisa keluar dari Bandara tanpa ketahuan oleh Reno dan Azmi. Dengan uang yang tersisa, ia segera mencari taxi untuk menuju ke terminal. Tujuannya kali adalah, Bandung. Tempat salah satu sahabatnya yang sedang menuntut ilmu di kota kembang tersebut. Namun, nahas bagi Cahaya. Saat taxi yang ia tumpangi sampai di terminal bus, gadis itu melihat Alena, yang sedang mencari keberadaannya. Itu terlihat dari cara tantenya itu berbicara dengan setiap orang yang beliau temui. Ternyata bukanlah hal yang mudah lepas dari keluarganya sendiri. Cahaya tidak pernah berhenti mengumpat di dalam hati, saat Alena berkali-kali hampir menemukan keberadaannya. Hingga akhirnya, Cahaya memutuskan untuk naik ke atas mobil bak terbuka. Dan menumpang secara diam-diam di dalam mobil tersebut. Tidak lupa, ia menutup tubuhnya dengan tumpukan barang-barang yang ada di dalam mobil tersebut. Saat mobil yang Cahaya tumpangi, dan mulai bergerak, gadis itu mulai bersorak di dalam hatinya. Ia begitu bahagia saat mobil tersebut berhasil membawanya keluar dari terminal bus tersebut. Itu artinya, ia sudah berhasil bebas dari aturan-aturan dan segala drama yang ada di rumahnya. **** Di sebuah desa yang terpencil, seorang pria yang sama sekali tidak tampan, sedang memaksakan diri untuk pergi ke sawah. Padahal, kondisi tubuhnya tidak memungkinkan untuk pergi bekerja. Dan tentu saja kedua orang tuanya pun ikut melarang apa yang pria itu lakukan. Karena sejatinya, Syahrul Ramadhan, adalah tulang punggung keluarganya saat ini. Karena sang ayah sudah sakit-sakitan dan tidak mampu lagi untuk bekerja. Sedangkan ia memiliki empat orang adik yang masih sekolah. Sedangkan sang ibu, tidak bisa membantu banyak. Karena beliau harus menjaga sang ayah. "Rama kamu yakin, Nak. Akan tetap pergi ke sawah. Kamu masih sakit, Ram," ucap sang ibu. Mencoba untuk menahan kepergian anak sulungnya. Rama menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, Bu. Kalau aku tidak pergi, besok pagi kita makan apa, Bu? Dan Syila katanya minggu depan harus membayar SPP. Tidak mungkin kita selalu meminta pertolongan kepada orang kota itu. Ya, walaupun beliau yang meminta kita menghubungi beliau setiap ada kesulitan," terang Rama. Demi Tuhan. Ia tidak ingin merepotkan siapapun lagi. Memang ayahnya pernah menyelamatkan seorang pengusaha kaya raya, yang terjatuh bersama mobil yang ditumpangi. Hingga ditemukan tergeletak di ladang mereka. Sebagai balas budi, pengusaha tersebut membelikan mereka sebuah ponsel, agar bisa menghubunginya setiap kali ada kesulitan. Dan mulai saat ini, Rama tidak ingin lagi menyusahkan orang asing tersebut. "Ya, sudah, Nak. Kamu jaga diri baik-baik. Kalau kondisimu memburuk, kamu harus segera pulang." Pesan wanita paruh baya tersebut. Cuaca yang tidak menentu, menjadi alasan lain baginya sulit untuk melepaskan Rama pergi ke sawah. Ibu sama ayah baik-baik di rumah, ya. Rama pergi dulu," ucapnya. Mencium punggung tangan wanita paruh baya, yang telah melahirkannya. "Assalamualaikum," sambungnya. Sebelum mengayuh sepeda onthel tua, yang selalu menjadi alat transportasi untuk pergi ke ladang mau pun ke sawah. "Walaikumsalam," sahut Imah. Ibunya Ramadhan. Selama perjalanan, Ramadhan tidak pernah berhenti mengulas senyum, dan menyahuti para ibu-ibu yang menyapanya. Tutur kata Ramadhan yang begitu sopan, serta agamanya yang kuat, membuat ibu-ibu tersebut selalu antusias saat berpapasan dengan Ramadhan. Apalagi saat pemuda itu mengaji di Mushola. Tidak akan ada yang mampu membuka suara, karena mendengar begitu merdunya suara Ramadhan. Saat melafalkan ayat suci Al Quran. Tidak terkecuali, ibu dari Reni Zalianty. Wanita paruh baya itu sangat ingin Ramadhan menjadi menantunya. Sehingga ia berniat akan melamar pemuda itu untuk dijadikan suami oleh Reni. Walaupun Rama tidak tampan dan berkulit coklat, tidak menghambat para gadis untuk jatuh cinta kepadanya. Saking banyaknya yang ingin menjadi istri Rama, hingga kini usianya nyaris menyentuh angka tiga puluh sembilan tahun, Rama belum menemukan gadis yang tepat untuk dijadikan istri. Alasannya, Rama terlalu bingung memilih siapa wanita yang layak menjadi istrinya. Tentu saja wanita tersebut harus bisa menerima segala kekurangan yang ia miliki. Termasuk materi tentunya. Apa yang di takutkan oleh Imah terjadi. Baru setengah hari mencangkul di sawah, hujan deras telah turun. Segera ia berlari ke dalam pondok, yang terletak di tepi jalan utama kampung tersebut. Di sana Rama menuggu hujan berhenti, seraya beristirahat. Namun, hingga senja menjelang, tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Karena kondisi tubuhnya yang kurang enak, Rama memutuskan untuk pulang saat hujan benar-benar telah berhenti. Saat Rama ingin mengambil wudhu untuk melaksanakan sholat Maghrib, ia dikejutkan dengan berhentinya sebuah mobil pick up. Yang ingin menanyakan rumah kepala desa. Sudah menjadi rutinitas setiap tahun, ibu kepala desa akan memesan banyak pakaian dari Jakarta, untuk bersiap menyambut bulan Suci Ramadhan. Karena mereka tinggal di desa terpencil, maka di sana tidak ada toko yang menjual pakaian baru. Bahkan untuk mencari sinyal saja, mereka harus memanjat tebing yang cukup tinggi. Setelah menunjukkan jalan kepada supir pick up tersebut, Rama kembali ke tujuan awal. Untuk mengambil wudhu di samping pondok. Namun, saat ia ingin kembali ke dalam pondok untuk sholat, Rama dikejutkan dengan kehadiran seorang gadis yang berpakaian cukup minim. Gadis tersebut adalah Cahaya. Ia nekad turun dari mobil pick up yang tadi ditumpangi. Kini tubuhnya telah basah kuyup, karena sepanjang jalan hujan deras. Terpal plastik yang ada tidak bisa melindungi tubuhnya dari derasnya air hujan. Kondisi Cahaya kini bukan hanya kedinginan saja. Akan tetapi, ia juga kelaparan dan sedikit demam. Tubuhnya sudah mulai lemah karena satu hari ini belum makan apa-apa. "Ka-kamu siapa?" tanya Rama. Ia cukup takut melihat Cahaya yang duduk seraya menunduk. Rambut gadis itu juga tergerai menutupi wajahnya. Kulitnya yang putih mulus, malah membuat Cahaya terlihat menyeramkan di mata Rama. Suara Rama yang cukup tinggi, membuat Cahaya ketakutan. Pikiran buruk juga segera menghantuinya. Bagaimana tidak. Kini ia berada di dalam sebuah pondok dengan seorang pria asing. Di daerah antah berantah pula. "Maaf, Om. Saya jangan di apa-apain. Sungguh, saya hanya ingin menumpang berteduh," lirihnya. Suara Cahaya terdengar serak. "Astaga … kamu orang beneran, kan?" Rama mendekat. "Saya orang sungguhan, Om …," isak Cahaya. Wajahnya yang pucat terangkat. "Kamu sakit?" Rama langsung panik melihat bibir Cahaya yang pucat dan bergetar. Gadis itu kini benar-benar terlihat sangat buruk. Cahaya mengagguk lemah. "Saya nggak kuat lagi, Om. Tubuh saya dingin dan lapar," lirihnya. "Ya, sudah. Kamu ganti baju dulu." Rama menyerahkan kain sarung yang menggantung di sudut pondok. Dengan tangan yang bergetar, Cahaya meraih kain sarung tersebut. Sedangkan Rama segera memanaskan air dan memasukkan ubi ke dalam tungku. Untuk saat ini, hanya itu yang bisa ia berikan kepada Cahaya. "Kamu siapa? Kenapa kamu berada di dalam pondok ini? Ini lagi, kamu hanya menggunakan kain sarung saja!" sergah seorang pria. "Sa-saya … saya …" Cahaya memilih mundur. "Om … tolong saya!" pekiknya. Saat beberapa orang pria semakin mendekat padanya. Suara ribut di luar pondok, menarik Rama keluar dari belakang. Segera ia menemui Cahaya, karena gadis itu terdengar menangis histeris. "Roland! Kau apakan dia?" sergah Rama. Kepada seorang pemuda yang sedang menarik paksa sarung yang dikenakan oleh Cahaya. "Om, aku takut!" Cahaya segera bersembunyi di balik punggung Rama. "Wah, wah, coba lihat. Pemuda yang terkenal alim, ternyata berbuat maksiat disini. Benar-benar tidak bisa dibiarkan!" sembur pria yang bernama Roland. Memanasi teman-temannya yang lain. Sehingga mereka semua terpancing emosi, dan menarik paksa Cahaya dan Rama keluar dari pondok. Padahal kondisi mereka berdua dalam keadaan kurang sehat. Di luar pondok pun sedang hujan deras. Tidak ingin para pemuda itu menyakiti Cahaya, Rama memeluk tubuh mungil gadis itu. Biarlah. Ia rela dipukuli asal Cahaya tidak terluka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD