DUA

1574 Words
CANDY   “Kemana saja kamu, Candy?” Suara itu lagi. Aku benci tiap mendengar suara mama tiriku. Dia tidak pernah mau mengerti diriku. Dia tidak pernah berusaha mengerti keadaanku. Yang dilakukannya hanyalah menekanku dan membuatku sekarat diam-diam. Aku membencinya. Rasa kebencianku mengalir deras sampai denyut nadiku, hingga bisa kurasakan derasnya darahku yang mendidih menyembur ke atas kepalaku. “Sehari nggak usah ikut campur urusan saya bisa nggak sih?” balasku dingin. “Candy!” Dan satu lagi anak kesayangannya, Nada. Dia datang menghampiri kami. Ditatapnya aku dengan tatapan marah telah membentak ibunya. Tapi peduli apa aku? Aku bahkan menganggap mereka bukanlah siapa-siapa di sini selain perusak kebahagiaan orang. “Bicara sopan dikit kenapa. Dia Mama kamu,” lanjutnya kembali. “Kamu bilang apa? Mamaku udah meninggal! Dan wanita itu bukan mamaku!” Aku melemparkan tatapan benci sekaligus muak, dan menunjuk Mama Rosa dengan jari telunjukku. “Kamu bisa nggak sih hargain perasaan Mama? Sekarang kita keluarga baru kamu! Dan kamu harus bisa belajar menerima kita di kehidupan kamu! Mau nggak mau kamu bakal hidup selamanya dengan kami!” Nada ikutan naik pitam. Mama Rosa berusaha menenangkan Nada. Kemudian beralih menatapku. Entah apa yang akan dikatakannya kali ini. Aku bosan tiap kali dia menguliahiku. “Candy, kamu nggak boleh bicara kasar seperti itu—”  “Kalian selalu pengen aku yang ngehargain kalian. Tapi kalian sendiri nggak pernah hargai perasaanku!” Secepatnya aku melenggang pergi. Kuhentakkan kakiku kasar menuju ke lantai atas. Ingin rasanya kutumpahkan tangisku sendirian. Sudah menjadi kebiasaanku menyendiri di dalam kamar sampai pagi tiap kami terlibat pertikaian. Bahkan aku sering tidak makan karena malas satu meja dengan mereka. Membanting pintu dan tasku ke sembarang tempat, aku duduk di balik pintu kamarku, bersandar sambil berusaha menenangkan diriku, kendati air mata telah lulur membasahi pipiku. Kupeluk lututku, meredam tangisku sebisanya. Baru kusadari kalau aku memang benar-benar sendiri di sini. Aku membutuhkan Dirga, aku butuh dia menenangkanku. Tapi aku sadar diri, hal itu justru mengganggu kehidupannya yang sempurna. Aku tidak bisa mengganggu waktunya karena ia hidup bukan untuk mengurusku. Kesenyapan tertelan bersama dengan suara isak tangisku. Aku sadar aku kesepian.   *   Untunglah kalau setelah kejadian tadi aku bisa melarikan diri dari rentetan pertanyaan di rumah. Aku tidak peduli. Sebisanya kujejalkan headphoneku dengan suara musik yang keras. Papa berusaha menggedor-gedor pintu kamarku, tapi aku pura-pura tidak mendengar. Justru volume Zune-ku semakin kukeraskan. Aku diam membisu, menempelkan pipiku pada meja belajar dengan pandangan kosong. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kupikirkan. Lebih tepatnya pikiranku sedang kosong. Mataku masih terpaku pada sebuah boneka pemberian Dirga saat ulang tahunku yang kesepuluh. Aku seakan merasakan ada sesuatu yang aneh dari boneka itu. Seakan-akan pikiranku mulai tidak waras dengan membayangkan kalau boneka itu ingin mengajakku bicara. Aku masih diam mematung, tidak memedulikan suara beberapa orang di luar. Bahkan suara mama Rosa ikutan membujukku untuk makan malam. “Candy, ayo makan malam dulu,” suara Papa masih menggema di luar. Namun aku tetap bergeming. Aku berkedip beberapa kali, melihat ke arah pintu, dan kembali lagi menatap boneka itu. Rasanya malas kalau beranjak dari tempatku saat ini, seolah kakiku dibelenggu oleh rantai baja. “Nanti aja biar bibi yang masuk nganterin makanan.” Kalau aku susah makan, memang sudah menjadi kebiasaan kalau bibi yang mengantarkan makanan ke kamarku. Karena dia tidak akan berbasa-basi menanyaiku. Aku lebih suka makan di kamar daripada ikut bersama mereka. Keadaan berubah total semenjak kehadiran wanita itu. Dia penyebab Mama meninggal. Saat itu aku masih kecil, tentu saja masih belum paham atas apa yang sudah terjadi di antara kedua orangtuaku. Tetapi untuk saat ini aku sudah paham bagaimana terpuruknya Mama saat itu. Aku masih ingat saat-saat mereka bertengkar dan aku dapat mendengar bunyi-bunyi benda dibanting atau teriakan melengking. Sebisanya aku menutup telingaku agar tidak mendengar kemarahan dan kebencian di antara mereka. Aku yang masih kecil duduk dengan gelisah dan penuh rasa takut. Sampai akhirnya Mama membawaku pergi untuk sementara waktu. Waktu itu aku belum tahu apa artinya perceraian, dan aku hanya berpikir keadaan akan membaik jika Mama sudah tidak emosi lagi. Namun Mama memberitahuku, kalau Papa sudah memiliki orang lain yang menggantikan posisi Mama. Tapi aku tidak mengerti apa yang dimaksud Mama saat itu. Dan aku kehilangan Mama saat usiaku delapan tahun. Mama ditemukan dalam keadaan over dosis di kamarnya. Aku yang menemukannya. Bisakah kalian bayangkan, aku yang masih kecil, menemukan ibuku di dalam kamar dengan obat-obatan berhamburan di meja dan lantai dengan mulut berbusa? Terkadang aku berpikir, mengapa hidup ini tidak pernah adil. Setiap waktu aku ingin mati. Semakin lama berdiam, semakin pula aku mengantuk. Perutku masih kosong karena sedari siang aku belum makan. Tapi mau diberi makanan apapun aku tidak akan berselera saat ini. Aku hanya ingin menenangkan pikiranku sejenak. Toh nantinya aku juga pasti makan kalau memang lapar.   *   Sekolah menjadi tempat paling menyebalkan bagiku di urutan kedua—rumah menduduki peringkat pertama di daftarku. Semua anak mulai bertingkah memuakkan denga melemparkan guyonan-guyonan murahan. Dan selalu aku yang menjadi sasarannya. Mereka sering mengolokku gila seperti Mama. Padahal aku tidak seperti itu. Dan Mamaku tidak gila. Sering juga aku membungkam mulut mereka dengan cara kasar dan berakhir di kantor BK. Mereka mengamatiku sambil berbisik-bisik saat aku lewat. Rasanya memang tidak nyaman. Tapi masa bodohlah, aku tak akan menghiraukan mereka kali ini. Sedang berbaik hati, aku melenggang acuh. Sampai satu kerikil mengenai dahiku. “Aduh…” pekikku kesakitan. Begitu mencari pelakunya sambil menyentuh dahiku yang berdarah, tidak ada satu pun tanda-tanda keberadaan pelaku tersebut. Aku menggeram menahan marah. “Ngaku siapa yang ngelempar tadi!” Semua anak hanya membisu, berusaha menutupi ekspresi mereka. Bahkan ada yang diam-diam menghindar. Aku masih berusaha mencari tahu pelakunya. Kuambil batu yang digunakan untuk melemparku tadi saat akhirnya kutemukan pelakunya. Mudah sekali menebaknya dari gestur mereka. Derek tidak hanya satu-dua kali mencar gara-gara denganku. Dia akan terus menjahiliku. Yang ada di otaknya hanyalah bagaimana caranya agar kami terlibat pertengkaran. Sebenarnya Dirga sudah berusaha untuk menahan emosiku. Tapi Derek yang mulai duluan, dan aku paling anti diam kalau sudah dikerasi. “Heh, banci!” Aku berseru kearah Derek. Tidak terima kupanggil banci, Derek bergerak mendekat. “Ada masalah?” tanyanya, tidak menghilangkan ekspresi memuakkannya. “Beraninya lempar batu sembunyi tangan.” Aku melemparkan senyuman mengejek. “Dasar banci.” “Oh… ngajak berantem ya?” Derek menggertakkan tangannya. Belum sempat tinjunya sampai di wajahku, Dirga datang tiba-tiba dan menahan tangan Derek. “Masa kamu berani sama cewek sih? Nggak malu apa? Ini lingkungan sekolah, bukan arena tinju,” kata Dirga. Diliriknya aku sebentar sebelum akhirnya tatapannya terpaku pada Derek. “Daripada kamu kena masalah sama guru, mending kamu pergi deh.” Derek melepas cengkeraman Dirga. Dia menatapku tajam. Dari tatapan itu aku sudah bisa menebak kalau dia akan membalasku. Sebelah alisku tertarik ke atas menantangnya. Aku tidak pernah takut dengan gang-nya. Padahal Dirga sudah memperingatkan kalau gang Derek tidak pernah main-main. Siapapun, biarpun itu perempuan, bila sudah mengusiknya akan dilibas. “Kita ke UKS dulu yuk. Lihat tuh dahi kamu berdarah.” Dirga menatapku prihatin. Akhirnya kuturuti juga perintahnya. Aku berjalan mendahului seperti biasanya dan Dirga mencoba menyusulku. Berulang kali dia menanyakan bagaimana kronologisnya sampai dahiku berdarah. Aku masih belum menjawab pertanyaannya karena emosi sudah berada di puncak kepalaku. UKS pagi-pagi masih sepi. Dirga mencoba mengobati luka pada dahiku. Dia kelihatan sangat berhati-hati saat mendaratkan tangannya untuk mengobatiku. Aku merasa biasa saja, tidak menjerit kesakitan atau apa. “Nggak sakit, emang?” tanyanya. “Udah biasa kok,” balasku acuh. Yang sakit bukan dahiku, tambahku dalam hati. Masih sibuk dengan lukaku, Dirga sempat-sempatnya bertanya lagi bagaimana aku bisa bertengkar dengan Derek. Aku bercerita sekenanya saja. Singkat seperti biasanya. Dirga memang sudah paham betul, jadi dia tidak akan bertanya untuk yang kesekian kalinya. “Heran deh. Baru kali ini loh aku nemuin orang kayak kamu.” Dirga berhenti. Matanya terpaku padaku, seakan-akan berusaha membuat mataku terjun bertatapan dengannya. Entah mengapa jantungku berdegup sedikit lebih kencang saat mata kami bertemu. Karena tidak ingin terlalu berpikiran jauh, secepatnya kualihkan pandanganku. Kutatap sepatuku, walaupun sebenarnya tidak ada yang menarik dari sepatuku dibandingkan dengan matanya yang bagaikan kejora itu. “Sebenernya kamu ngerasain sakit nggak sih kalau lagi berdarah-darah kayak gini?” “Kan udah aku bilang, aku udah terbiasa.” Memang benar. Dan dia tidak pernah tahu kalau aku lebih sering berdarah-darah daripada yang diketahuinya. Aku sudah terbiasa akan hal itu. Seolah tubuhku kebal akan rasa sakit. Seakan-akan aku sudah mati rasa. Aku tidak bisa merasakan rasa sakit pada tubuhku saat aku terluka. Dirga meraih tanganku. Sebisanya aku menarik tanganku darinya namun tangannya lebih kuat. “Mau apa kamu?” tanyaku. “Ini kenapa, Can?” Dirga tampak terkejut melihat tanganku yang penuh dengan goresan samar. Secepatnya aku menarik tanganku darinya. Kutatap dia sejenak, entah kenapa aku justru ingin menangis tiap melihat pandangan intensnya yang seolah mengasihaniku. “Aku nggak butuh dikasihani,” kataku kemudian. Secepatnya kuraih tasku dan beranjak pergi. Untunglah Dirga tidak menyusulku, mungkin dia masih tertegun akan sesuatu yang dilihatnya tadi. Aku berjalan cepat, bukan ke kelas, melainkan ke kamar mandi. Keadaan sekolah sudah sepi karena bel masuk sudah lama berbunyi. Aku ingin bolos untuk jam pertama. Hukuman biar kutanggung belakangan. Yang penting aku bisa menghindar sebentar dari Dirga karena kelas kami kebetulan sama. Aku berhenti di depan cermin, mematut bayanganku. Mataku terlihat sangat sembab, wajahku pucat, dan rambutku acak-acakan. Kulirik dahiku, yang sudah diberi plester Dirga tadi. Tanganku bergerak untuk menyentuh dahiku yang terluka tadi. Aku tak bisa memungkiri bahwa aku merindukan saat-saat dimana aku mulai diperhatikan seperti itu. Aku sungguh merindukan saat-saat itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD