TIGA

1606 Words
CANDY   “Kamu kemana aja, Dy?” tanya salah satu temanku saat aku masuk ke dalam kelas. Untung saja bel sudah berdentang beberapa menit yang lalu. Jadi aku tidak perlu menghadiri kelas pertama tadi pagi. “Nggak kemana-mana, hanya ke UKS kok,” jawabku dengan tatapan aneh. Secepatnya aku duduk di sebelah Gisha, temanku tadi. Dia menangkap ada tatapan janggal dariku. Aku berusaha menyembunyikan air mukaku darinya dengan berpura-pura sibuk membaca salah satu buku catatan. “Kamu sakit?” tanya Gisha lagi. Aku hanya menggeleng lemah. “Tapi kamu kelihatan pucat banget loh. Itu dahi kenapa?” Kutatap Gisha dan tersenyum, seolah aku sedang baik-baik saja seperti biasanya. Gisha tampak tidak sependapat dengan senyum yang kupaksakan, tapi aku tidak peduli. “Nggak apa, cuma kecapekan kok. Tadi Derek bikin ulah, ngelempar aku.” “Ya ampun, Dy… terus kamu nggak ngelapor ke guru” “Nggak usah. Udah nggak apa kok.” Sekali lagi kusunggingkan senyuman palsu untuk Gisha yang hanya berdecak. Aku tidak pernah bercerita apapun pada Gisha. Toh dia sama saja seperti temanku yang lain. Di belakangku, pernah kudengar ia menjelek-jelekkan aku. Menggosipkan keburukanku dengan teman-teman lain. Sedangkan saat bersamaku, dia memasang tampang bak malaikat yang memang didatangkan ke bumi untuk membantuku. Aku tak pernah memercayai pertemanan. Pertemanan hanyalah omong kosong. Itulah sebabnya aku tidak bisa akrab dengan orang lain. Aku selalu tak punya teman. Jika aku sedih, mereka tak akan peduli. Jika peduli pun hanya karena suatu hal lain.Mereka akan bertanya hanya karena penasaran, bukan peduli. Aku tak pernah percaya pada orang lain. Teman hanya nama lain dari kebutuhan. Sedari tadi aku menangkap lirikan penuh arti dari Dirga. Dia terlihat khawatir denganku. Mungkin benar, aku hari ini sedang pucat pasi karena aku sendiri merasa tidak enak badan.   *   Waktu istirahat kugunakan untuk mencari buku-buku di perpustakaan. Saat itu perpustakaan sedang dalam keadaan sepi, jadi aku merasa nyaman kalau membaca dalam keadaan sepi. Sepi sudah menjadi temanku. Kesendirian bagian dari hidupku. Aku lebih menyukai sepi dan menikmati kesendirian. Aku membenci keramaian. Selain bising, aku jengah mendengar obrolan sampah orang-orang di sekitarku. Membicarakan orang lain, misalnya. Dan yang lebih buruk, membicarakan teman sendiri. Keramaian hanya membuat kepala jadi pusing. “Jangan pergi sebelum aku tanya sesuatu sama kamu.” Seperti angin, secara mendadak Dirga sudah ada di sebelahku. Dia pura-pura membaca buku di depannya sambil mendekatkan kursinya ke sisiku. Aku menutup buku yang k****a, dan berusaha menghindar. Namun tangannya mencengkeram tanganku, otomatis aku menjerit sedikit. “Candy?” suara penjaga perpustakaan sudah terdengar sebagai dentuman ultimatum. Aku memberikan tatapan minta maaf padanya. “Maaf,” bisik Dirga. “Baru kali ini kamu ngerasa sakit padahal cuma aku sentuh. Cengkeramanku terlalu kuat ya?” Secepatnya kusembunyikan wajahku. Di bawah meja aku berusaha meredakan rasa nyeri pada tanganku. Sial. Ia tak boleh tahu. “Nggak, cuma…” “Kamu sedang nyembunyiin apa sih?” Dirga berusaha menarik tanganku keluar. “Lepasin.” Dirga menurut, tidak lagi memaksaku untuk mengeluarkan tanganku. Sebisanya aku berusaha menghindar darinya sedangkan dia sendiri masih tidak melepaskan tatapannya dariku. Aku mengamati sampul buku yang ada di depanku. Tidak ada yang menarik, tapi setidaknya bisa membuatku berhenti memikirkan Dirga sebentar. Aku berusaha untuk mengosongkan pikiran sekadar menenangkan diri. “Dy, kamu sakit?” tanya Dirga sekali lagi. “Kamu kelihatan pucat banget loh. Aku anter pulang aja, ya?” Dahinya berkerut dalam, memberi penegasan pada ucapannya. Ia memang kelihatan khawatir. Secepatnya aku menggelengkan kepala. Kupandang dia dan tak lupa memberikan senyuman kecil sebagai tanda bahwa aku baik-baik saja, meskipun senyum yang kukembangkan adalah senyuman palsu. “Aku cuma sedikit kecapekan kok. Nanti juga udah baikan.” Aku berdiri. Sebenarnya aku ingin mengatakan beberapa hal pada Dirga. Tapi entahlah, seolah hal itu mengasyikkan, aku hanya menyembunyikannya dalam pikiranku yang dikunci. Seakan ada sesuatu yang mengendalikanku, dan menyuruhku untuk tidak mengatakan apapun pada Dirga. Herannya aku menuruti pikiran asing itu. Aku jadi lebih tertutup dari sahabatku sendiri. Kulenggangkan kaki menuju keluar perpustakaan. Sejenak kutengok ke belakang, berharap kali ini Dirga memberiku waktu sebentar tanpa ekor matanya yang mengikutiku. Bersyukur, aku tidak melihatnya bergerak menyusulku karena dia hanya mengamatiku pergi meninggalkan perpustakaan. Aku mendesah pendek. Makin kupercepat langkah menghindari bisikan serta lirikan tajam orang-orang di sekeliling. Setiap orang memiliki rahasia, demikian juga denganku. Tapi rahasiaku bukanlah sebuah konsumsi umum. Aku sendiri terkadang ingin melepas semua rahasia itu pada seseorang. Tapi siapa? Bahkan berbagai pertanyaan sama yang dilemparkan oleh otakku tak ada yang menjawabnya. Semua yang ada dalam kehidupanku bagaikan hamparan tanah tandus. Mati, kering, dan tak bernyawa.   *   Masih jelas di benakku bagaimana rasanya ditinggalkan orang yang sangat penting dalam hidup. Rasanya seolah ada yang memaksaku menelan berbutir-butir pil pahit atau jarum runcing hingga berhasil masuk ke kerongkonganku dan menimbulkan rasa sakit ketika menelannya. Bagaimana tidak sakit? Jika orang yang selalu menemaniku justru pergi meninggalkanku, tanpa mengijinkanku ikut bersamanya. Apakah dia tega meninggalkanku dalam keterpurukan ini? Apakah memang dia sengaja? Tapi aku tidak bisa langsung menyalahkannya. Aku tahu setiap orang memiliki takdirnya sendiri. Mungkin saja dia sudah digariskan oleh Tuhan untuk segera bertatap muka dengan sang penciptanya. Tapi aku yakin dia tidak akan pernah melupakanku di sini. Tapi jujur saja, aku merindukan ibuku. Ketika tanganku masih sibuk dengan kotak musik di tanganku, dari kejauhan kudengar suara seseorang menjerit. Aku mengalihkan perhatianku ke belakang dan mendapati seseorang jatuh, tangannya meraba-raba seolah mencari sesuatu di atas tanah. Awalnya aku hanya memperhatikannya, namun lama-kelamaan merasa iba. Ketika kudekati, dia sudah berhasil menemukan benda yang dicarinya, yang ternyata adalah sebuah kacamata. Gadis bertubuh besar tersebut menengadah ketika menyadari keberadaanku. “Candy?” Dia berusaha berdiri dan terlihat ketakutan. Entah apa yang membuatnya takut. Apakah yang ada di pikirannya, aku sama gilanya seperti yang dikatakan orang-orang? “Lari sebisanya kalau kamu emang takut sama aku,” kataku. Namun dia hanya bergeming. Dia justru berusaha menutupi kegugupannya, masih berdiri di depanku sambil membenakan letak kacamatanya. Sebenarnya aku mengenal Farah, tapi tidak terlalu dekat dengannya. Kurasa, dia memang senasib denganku, menjadi korban bullying. Bedanya, aku mungkin lebih kuat jika dilihat dari luar. Seperti baja. Meskipun pada kenyataannya rapuh dari dalam. Seperti piring beling. “Kamu kenapa?” tanyaku, mengubah nadaku menjadi lebih santai. Aku hanya ingin mendengar apa yang sedang terjadi pada Farah. Belakangan ini nilainya memang anjlok, padahal dia sangat pintar di kelasku. “Ngg… Nggak apa kok, Dy,” balas Farah. Tidak pernah terpikirkan olehku untuk mencampuri urusan orang lain, tapi sepertinya gadis ini membutuhkan bantuan. Setahuku dia tidak pernah dekat dengan orang lain. Sama sepertiku, dia sendirian. Dan aku tergugah untuk mendengarnya bercerita. Aku akan sama jahatnya seperti mereka bila bertindak apatis padanya. “Kita bisa ngobrol kalau kamu mau,” kataku. “Kamu bisa kan cerita sama aku. Tenang aja aku bukan orang yang ember.” Farah terlihat ragu. Akan tetapi aku bisa menebak kalau dia memang membutuhkan seseorang yang bisa diajaknya berbagi. Percayalah, tidak memiliki orang yang bisa diajak bicara memang tak enak. Kalau tembok bisa bicara, kiranya ia akan mengeluh tiap hari mendengar ceritaku. Akhirnya Farah mau juga kuajak berbicara empat mata. Aku mengajaknya ke danau yang sering kukunjungi. Farah adalah orang asing yang pertama kali kuajak kemari. Seolah aku sudah mengenalnya dekat, aku pun mulai membuka percakapan. “Kamu bisa kok cerita sama aku.” Farah masih terlihat ragu, sebelum akhirnya membalas, “Aku... aku capek, Dy. Aku jengah dikerjain tiap hari.” Ia terisak-isak kecil, menyeka pelupuk matanya yang dibanjiri oleh air mata. Aku menghela napas panjang. “Kenapa nggak nyoba ngelawan?” “Aku nggak seberani itu, Dy. Kamu tau sendiri kan, aku tuh nggak berdaya. Aku capek dibully.” Nada suara Farah berubah pecah. Dia tampak menahan diri untuk tidak menangis di sebelahku. Meskipun aku terlihat apatis, nuraniku sebagai manusia berusaha berdamai dengan diriku dan memintaku membantunya agar lebih tenang. “Kamu bisa nangis kalau kamu mau.” “Makasih, Dy…” Farah terisak. Disekanya air mata dan menatapku sambil mengulaskan senyumnya yang lebar. “Aku pengen banget kayak orang kebanyakan, Dy.” Aku juga, batinku. “Aku pengen mereka diem. Aku salah apa sih sampe-sampe dibully? Aku nggak pernah minta sama Tuhan buat dilahirin seperti ini! Semua orang jahat!” Aku sedikit terhenyak mendengar kalimat Farah, sekaligus membenarkan kalimat terakhirnya. Semua orang jahat. Secepatnya kuralat kalimat itu karena aku tidak bisa menghakimi semua orang dengan mengatakan mereka jahat, sedangkan masih banyak yang tidak mengenalku. Lagipula Dirga bukan termasuk orang yang jahat. “Terus?” “Aku stres tahu nggak. Nilaiku jelek, aku dimarahin, aku dibully, aku pengen mati, Dy!” “Mati bukan cara yang baik buat ngelepasin masalah.” Haha! Sungguh munafik mengatakan hal semacam itu. Bukankah munafik namanya kalau aku mengatakan itu, sedangkan aku sendiri berusaha keras untuk mengakhiri hidupku? Rasanya aku seolah melempar kotoran ke mukaku sendiri. Betapa munafiknya aku. Hahahahahahaha! “Tapi aku udah capek. Capek… Beban batin, Dy.” “Kalau kamu diam aja, mereka justru lebih seneng ngerjain kamu.” “Aku nggak bisa bertindak kasar…” “Aku nggak nyuruh kamu kasar,” aku menginterupsi cepat. “Aku cuma mau kamu nggak hanya diam. Kamu harus bisa berdiri tegak, menganggap mereka hanya kumpulan sampah, dan buktikan kamu lebih hebat dari mereka.” Farah masih sesenggukan. Sementara aku membiarkannya menangis sebentar, mendadak aku mulai merenungi sesuatu... Sebenarnya, makhluk seperti apakah aku? Aku mengakui bahwa aku bukan orang yang baik, aku suka berkelahi, aku sering membuat masalah.Namun saat ini aku berpikir, apakah Farah sama kesepiannya denganku? Apakah dia merasa sama tersiksanya denganku? Tapi Farah bukan aku. Farah masih memiliki keluarga yang lengkap. Semirip-miripnya nasib kami, kurasa Farah bukanlah cerminanku. Dia masih bisa mencari kebahagiaannya dengan cara lain. Dan aku sendiri berharap bisa menemukan seseorang yang mampu mengendalikan emosiku, mengendalikan diriku, melebihi Dirga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD