Eps 3

1516 Words
Bulan menyesap coklat hangat yang setengah jam lalu ia pesan. Kembali meletakkan cangkir putih itu pelan diata meja. Menunduk, menatap meja kaca berwarna hitam yang menampilkan wajahnya sendiri. Matanya mengembun, ada ribuan paku yang menancap dihati. Dia memang tak melihat bukti apa-apa. Hanya sebuah tanda merah yang ia tau bahwa itu bekas bibir seseorang. Cepat tangan itu mengusap mata, tak ingin membiarkan bulirnya jatuh menyentuh pipi. Kembali ia menyesap minuman. ‘Apa yang kak Andra lakukan semalam? Dengan siapa dia melakukan itu?’ ‘Benarkah dia menikahiku karna sebuah tanggung jawab akan janjinya pada bunda? Atau karna om Bobby?’ Tak tahan lagi, Bulan menunduk dalam, kembali mata itu berair. Menangisi nasibnya yang begitu tak beruntung. Dari kecil ia tak pernah merasakan kasih sayang orang tua. Hanya bunda Yessi yang ia punya dan menyayanginya. Begitu bahagia bisa dekat dan mempunyai hubungan baik dengan Vasco, tapi tak menyangka, jika akhirnya cintanya harus bertepuk sebelah tangan. Dan untuk kali ini, ia telah bertekat untuk menyerahkan seluruh cinta dan sisa hidupnya pada Andra. Lelaki yang ia pilih menjadi pendamping hidupnya. Lelaki yang sekarang telah resmi menjadi suaminya. ‘Tapi ... ya tuhan, ini apa? Kenapa seakan Engkau tak mengijinkan aku untuk disayangi?’ “Lan,” Panggilan seseorang membuatnya dengan cepat menghapus air mata. Mendongak, menatap Vasco yang berdiri dihadapannya, berhalang meja bulat yang ada dicaffe hotel. Vasco menatap jam yang melingkar. “Masih jam lima pagi, kamu ngapain udah disini?” tanyanya, lalu menarik kursi, duduk didepan Bulan. “Uumm ... ini, aku pen minum coklat hangat.” Memaksa senyum, lalu meraih gelas dan meneguknya sedikit. Vasco tak begitu memperhatikan Bulan, ia sibuk mengusap layar ponsel. “Andra dimana?” tanyanya tanpa beralih tatap. Bulan menjatuhkan tubuh ke sandaran kursi, menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar. “Masih tidur, keknya kecapekan.” Vasco terkekeh, melirik Bulan sebentar. “Semalam berapa kali? bisa sampai kecapekan gitu?” Bulan terlihat salah tingkah, memilih menatap kelain arah. Tak mau menatap Vasco yang tersenyum untuk menggodanya. “Zuco belum bangun?” mengalihkan tema, tak ingin mengingat semalam yang membuatnya tak tidur sama sekali. “Udah, dia nggak bisa tidur nyenyak kalau nggak dirumah. Bentar lagi juga kesini, nungguin Sherina selesai beresin pakaian.” “Mau langsung cek out?” tanya Bulan. Vasco ngangguk. “Mau ngapain lama-lama disini? Zuco udah minta pulang dari semalam.” Tak begitu lama, pesanan Vasco datang, barengan dengan Sherina dan zuco, lalu bergabung di meja yang Bulan dan Vasco tempati. Bulan memilih undur diri untuk kembali ke kamar. alasan ingin membangunkan Andra untuk sarapan pagi. Zuco merengek meminta ingin bertemu Andra, karna bocah tiga tahun itu begitu dekat dengan Andra. Bisa dibilang lebih banyak menghabiskan waktu dengan Andra dari pada Vasco. sesuai ngidamnya Vasco dulu yang inginnya dekat sama Andra, bahkan apa-apa harus seperti Andra. ** Sesampainya dikamar, rasa perih kembali hinggap. Terlebih melihat wajah lelap Andra yang terlihat sangat lelah. Menahan untuk tak menangis, ia menepuk pelan lengan Andra. “Kak,” panggilnya lembut. “Bangun, kak. Ini udah siang.” “Eegghh ....” hanya erangan kecil, Andra sedikit beringsut tanpa membuka mata. “Bentar lagi, sayang. Aku masih capek.” Mata yang menahan untuk tak menangis itu terbelalak. Berharap sekali jika ia salah dengar. Karna selama mengenal, belum pernah sekali pun Andra memanggilnya dengan panggilan seperti itu. Lalu ... apa tadi katanya? Capek? Capek ngapain? Bulan beringsut, duduk membelakangi Andra. Menutup wajah dengan kedua tangan. Menangis dalam diam. Menit berlalu, matahari sudah mulai ada diatas, tapi Andra tak juga membuka mata. Bulan memilih untuk pergi lebih dulu. Ia tau, harus pulang kemana. Kehadirannya sebagai seorang istri benar-benar terlihat sangat tak diharapkan. Pelan ia menyeret kopernya, memesan taxol dan memilih untuk kembali pulang di panti. Ya, karna hanya tempat itu yang bersedia menerimanya tanpa harus ada alasan. ** Menyendiri, duduk ditepi ranjang kamar yang sejak kecil ia tempati. Bunda Keyla tak banyak bertanya, kenapa ia pulang sendirian, kenapa ia tak pulang ke rumah suami yang rencana memang akan mereka berdua tempati. Penasaran, tapi memilih untuk tak bertanya. Ya, seperti yang dikatakan Andra. Lelaki tampan itu sudah membeli rumah untuk ditempati setelah menikah. Tapi ... jika kenyataannya seperti ini, dia memilih diam. Diam menunggu penjelasan dari Andra tanpa harus bertanya sebuah untuk sebuah alasan. Pukul 2.00pm Bunda Keyla masuk kekamar Bulan. Mengelus lembut lengan Bulan, membuat Bulan sedikit beringsut. Lalu bangun, memaksa senyum untuk menatap Bunda Keyla. “Nak, kamu kenapa?” tanyanya dengan sangat lembut. Suaranya tak beda jauh dari Bunda Yessi, karna mereka memang sahabat sejak lama. Keduanya menjadi biarawati, tak menikah, tak mengenal lelaki sampai menua. Bulan menggeleng, hanya tersenyum tipis dengan menjapit hidung. “Andra ... tak memperlakukanmu dengan baik?” Kembali Bulan menggeleng. Bahkan mereka belum memulai hidup berdua dalam serumah. Gimana dia bisa mengatakan jika Andra tak baik padanya? “Aku nggak apa-apa, bund.” Jawabnya lemah. Bunda Keyla menatap iba, tangannya bergerak naik turun dilengan Bulan. “Di depan ada nak Andra. Dia datang untuk menjemputmu.” Sontak, Bulan mengangkat wajah, menatap bunda Keyla yang sangat santai dengan tatapan yang selalu membuatnya tenang. Bulan mengalihkan tatapan, kembali membuang nafas kasar untuk membuang rasa sesak didada. “Sayang, kamu bisa pulang kesini, kamu bisa membagi semuanya sama bunda.” Ya, bunda tau, ada yang Bulan sembunyikan. Akhirnya kristal bening itu menetes membasahi pipi. “Boleh peluk bunda?” “Tentu, sayang.” Cepat Bulan berhambur, menumpahkan tangis yang sejak tadi ia pendam didekapan hangat bunda Keyla. Tak bertanya apa pun, bunda hanya mengelus lembut kepala Bulan. Mencium rambut Bulan dengan hati yang ikut perih. Memang tak mengetahui apa masalahnya, tapi sebagai orang tua yang membesarkan, dia tau jika Bulan sangat tak baik-baik saja. Setelah merasa sedikit tenang, Bulan mengurai pelukan. Mengusap wajahnya yang dipenuhi air mata dan ingus. Bunda mengambilkan tissu, masih menatap wajah Bulan yang kacau. “Apa sudah lega?” Bulan kembali tersenyum. “Makasih, bund.” “Sebenarnya, bunda nggak tega kamu pergi dengan luka yang seperti ini. Tapi ... statusmu adalah seorang istri. Nggak mungkin bunda akan mengajarimu tak berbakti pada suami.” Ucapnya lembut. “Aku nggak apa, bund. Aku akan pulang ke rumah yang udah disiapin sama kak Andra.” Bulan beranjak, mengambil koper yang dari datang tetap pada tempatnya. sama sekali tak berubah. ** Andra berdiri dari duduk saat bunda Keyla dan Bulan mulai terlihat dipintu. Ada banyak pertanyaan didalam kepala yang ingin segera ia tanyakan ke Bulan. Berpamitan pada Bunda sebelum akhirnya mengajak Bulan pergi dari panti. Mobil warna silver milik Andra pribadi berjalan pelan meninggalkan area panti. Keduanya sama-sama diam dengan pikirannya masing-masing. Bulan memilih menatap keluar pintu, terlalu sakit untuk menatap wajah suami. “Lan,” panggil Andra dengan melirik istrinya sebentar. Tak ada jawaban, Bulan hanya sedikit menoleh. “Kenapa pergi nggak bilang?” tanya Andra yang memang nggak tau. Bulan kembali menatap keluar kaca. “Nggak apa. Jenuh aja di hotel.” “Kan bisa bangunin.” Sahut Andra cepat. “Tadi udah.” “Kok aku nggak kerasa.” “kakak terlalu kecapekkan, makannya tidurnya nyenyak banget.” Andra menoleh, menatap Bulan yang masih saja tak menatapnya. “Kok kamu tau kalau aku kecapekan.” “Kan kakak yang bilang.” Kini menoleh, menatap Andra yang fokus dengan jalan. Andra terlihat diam, mencoba mengingat. Tapi sama sekali tak ingat apa pun. Kembli menatap Bulan yang kini menatap lurus kejalanan depan. Tak mengatakan apa pun, memilih diam dengan rasa santainya. Dua puluh menit, mereka berdua sampai dihalaman rumah yang tak terlalu luas. Rumah minimalis tak begitu besar, tapi terlihat cukup mewah. Bulan membuka pintu setelah Andra keluar dari mobil. Menatap rumah yang akan mereka tempati. Bagian luar masih kosong, tak ada tanaman dan sejenisnya. Bahkan kursi untuk duduk diteras depan pun belum ada. “Ayo masuk.” ajak Andra yang sudah menyeret koper milik Bulan. Mengekor, matanya awas meneliti setiap sudut rumah yang semua adalah barang baru. Kursi, meja, dan lampu pun terlihat baru. Andra berjalan lurus, menaruh koper milik Bulan kekamar yang akan mereka berdua tempati. Bulan masih menelisih bagian ruang makan, ruang teve berada didekat pintu kamar yang tadi Andra masuki. “Simpan bajumu dilemari.” Suruh Andra yang keluar dari kamar itu. Tak menjawab, Bulan hanya menoleh ke Andra, lalu ngangguk. “Udah ada bahan dan gas, kalau kamu mau masak.” Lanjutnya, kembali masuk kedalam kamar, menjatuhkan tubuh diatas kasur. Sepertinya dia akan melanjutkan tidur. Bulan membuka lemari, masih kosong. Menoleh, menatap Andra yang sudah memegang ponsel. “Kak,” Panggilan yang membuat Andra bangun, menaruh ponsel dan menatap kearah Bulan. “Lemarinya masih kosong. Baju kakak dimana?” “Oh, masih dibagasi. Belum kuambil.” Menaruh ponsel, lalu beranjak keluar dari kamar untuk mengambil kopernya. Klunting! Ponsel yang masih menyala itu berbunyi, menandakan jika ada chat yang masuk. Rasa penasaran menuntun Bulan untuk meraih ponsel bersoftcase hitam milik suami. Menoleh kearah pintu, cepat ia meraih ponsel sebelum tertutup oleh sandi. Lalu berlari menutup pintu dan menguncinya dari dalam. [aku baru bangun. Capek, semalam kamu mintanya sampai tiga kali] Mulutnya mengaga lebar membaca pesan yang baru masuk. ponsel yang ia genggam hampir jatuh kalau saja ia tak langsung menjatuhkan p****t ke tepi ranjang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD