Eps 5

1535 Words
Pukul satu dini hari, mobil Andra berhenti di basemen apartemen yang menjadi tempat tinggal Nanda. Ia turun, melangkah dengan santai menuju kamar yang sangat ia hafal. Ada plastik putih yang menggantung di tangan kanannya. Begitu sampai di depan pintu kamar milik Nanda, Andra memencet bel. Tak perlu menunggu lama, pintu itu terbuka, memperlihatkan seorang wanita cantik yang kini berdiri di depannya. Tanpa di persilakan, Andra langsung melangkah masuk dan membiarkan pintu itu menutup dengan sendirinya. Mengekor langkah kaki Nanda yang terus masuk, menuju ruang teve. “Aku beliin martabak. Tapi pakai telur ayam. Yang bebek habis.” Ucap Andra, menaruh plastik itu di atas meja. Nanda memeluk lelaki berstatus suami orang ini. Ia memejamkan mata, tersenyum dengan kedua mata yang menahan untuk tak menangis. Di perhatikan sampai sedetai ini, sampai Andra rela meninggalkan istri demi membelikannya makanan. Siapa sih, yang nggak bahagia? Andra menunduk, menatap kedua tangan yang melingkar di perut. Ia mengelus tangan itu, sedikit menoleh, menatap gadis yang memang begitu ia cintai. “Nan,” panggilnya, lembut. Ia melepaskan kedua tangan Nanda, menggenggam tangan itu lalu berbalik. Keduanya saling berhadapan. Tangan Andra mengusap lembut pipi Nanda, memperhatikan kaca yang menutupi kedua manik mata indah di depannya ini. “Kenapa, sayang?” Nanda tersenyum, membiarkan bulir itu lolos melewati kedua pipi. Berhambur, ngusel di d**a Andra, memeluk cowok itu lagi. Andra tersenyum, membalas pelukan kekasihnya. Lembut ia mengelus rambut panjang Nanda yang dibiarkan terurai. Lama mereka berpelukan, saling merasakan perasaan hangat yang sama, cinta yang sama, dan … detak jantung yang berdetak saling bersahutan. Detik berlalu, Nanda mengurai pelukan, mengusap pipinya yang basah. Tangannya ditarik saat akan melangkah ke dapur. Dengan tanpa ijin, Andra mendaratkan kecupan di sisi bibir Nanda. Senyum masih saja menghiasi bibirnya, jarinya mengusap bibir ranum yang menjadi candunya itu. Wajah cantik Nanda merona, ia menahan untuk tak tersenyum. “Aku lapar, mau cuci tangan dulu.” Hanya tersenyum, membiarkan gadis itu melangkah menuju ke wastafle. Dia sendiri memilih mendudukkan p****t di sofa depan teve. Mengambil remote, dan mulai mencari tanyangan yang bisa membuatnya menikmati. Tak begitu lama, Nanda menghampirinya, duduk di sebelah Andra dengan membawa piring berisi martabak yang tadi di bawa. Sedikit bergeser karna tangan Andra melingkar di pinggangnya, menarik tubuhnya untuk lebih dekat. “Enak nggak?” tanya Andra, memperhatikan Nanda yang menggigit martabak itu. Nanda menoleh, menyodorkan martabak bekas gigitannya itu ke mulut Andra. Dan tanpa ragu, Andra menyambutnya, menggigit makanan itu sedikit. “Enak, sih. Enakkan ini dari pada yang ada di depan kantor kamu itu.” Nanda tersenyum, memasukkan bekas gigitan Andra tadi ke mulut. Ia mengambil lagi, lalu menyodorkan lagi ke Andra. Tapi Andra menggeleng dengan kedua mata yang fokus menatap ke layar teve. “Katanya enak, kok nggak mau?” tanyanya, lalu menggigit martabak itu sendiri. “Tadi udah makan di rumah.” Ada yang terasa tercubit mendengar kalimat pedek itu. Nanda langsung menunduk, mengunyah makanannya pelan-pelan. Detik berlalu, keliatan banget kalau Andra tak menyadari perasaannya yang jadi merasa sedih. Menyadarkannya jika di rumahnya sana, Andra nggak sendirian seperti dulu. “Tadi sama Bulan beli makan apa?” tanyanya. Sakit, tetapi penasaran dan ingin tau perbandiangan dia dan Bulan. “Dia Cuma masak tumis kangkung sama ikan goreng, sih.” Jawab Andra, santai. Nanda menelan martabak dengan sedikit kesusahan. “Bulan bisa masak?” Andra menoleh, lalu ngangguk. “Di panti dulu, dia sering banget masak.” Nanda membuang nafas panjang. Beranjak pergi dengan membawa piring yang masih ada banyak potongan martabak. Ternyata dia tak sehebat Bulan. Bahkan memegang panci saja dia tidak pernah. Kesehariannya hanya bekerja. Urusan makan, dia cukup beli. Ya, dan itu adalah perbedaan dia yang menjadi wanita karir dan Bulan yang bukan wanita pekerja sepertinya. “Hey,” Andra menghampiri, memeluknya dari belakang. Mengecup pipi Nanda dari samping. “Nangis kenapa, sih?” Nanda menunduk, tangannya mengusap kedua mata. “Aku rasa, lama kelamaan kamu pasti akan lupain aku.” Kening Andra mengeryit. Beneran nggak paham sama wanita. Tadi pas di rumah, Bulan juga nangis. Eh, sampai di sini Nanda juga nangis. Ribet bener, yak! “Kok ngomongnya gitu? Kenapa lagi, sih?” Andra mengelus wajah Nanda, memaksakan gadisnya untuk menoleh, hingga bibirnya mendarat di bibir ranum itu. Nanda menarik diri. “Aku nggak bisa masak seperti Bulan, Ndra.” Mendengar itu, Andra terkekeh. “Aku suka sama kamu bukan karna soal perut, sayang. Tapi aku ini suka sama semua dan apa pun yang ada di diri kamu.” Seneng banget mendengar kalimat panjang Andra ini. Sampai kedua pipi Nanda sedikit merah, lalu tangannya melingkar di leher Andra. Detik kemudian, kedua bibir itu telah menyatu lagi. ** Pukul 4.00am Andra mematikan mesin mobil. Menarik kunci dan membuka pintu. Menutup mulut yang menguap, ia sudah sangat ngantuk. Sangat beruntung cuti yang ia ambil cukup lama. Jadi dia bisa tidur sampai besok pagi. “Bulan,” serunya saat melihat istrinya duduk di sofa ruang tamu. Tak menjawab, Bulan hanya diam menatap wajah lelahnya. Kedua mata yang bengkak dan memerah, membuat siapa saja tau jika gadis ini terlalu lama menangis. Andra melangkah mendekat. “Kenapa udah bangun?” Bulan menelan ludah, mengusap hidungnya yang meler. “Kakak dari mana?” Kening Andra berlipat. Ia menaruh kunci mobil di atas meja. Jongkok di samping kaki istrinya. Meraih kedua tangan Bulan, lalu menatap wajah Bulan yang sangat polos, belum pernah tersentuh cream atau produk kecantikan apa pun. “Kamu kebangun karna nyari aku?” Kedua alis Bulan saling bertaut. Sungguh, sepertinya 'bersabar' itu bukan pilihan yang bagus. Tapi, ia tau, di dalam hati Andra, belum ada namanya. Mengomel, memaki dan marah-marah, semua itu hanya akan membuat cowok ini membenci, bukan luluh. Memilih menahan semuanya, kedua sudut bibir melengkung ke atas, membentuk senyuman palsu. Balas menggenggam tangan itu, “Kak, umm … kakak liburnya masih lama, kan?” Salu alis Andra terangkat, cowok tampan itu memberinya anggukan. “Pergi liburan, mau nggak, kak?” ajaknya. Yang sangat berharap suaminya ini mau. Hingga mereka bisa menghabiskan waktu berdua saja. Tanpa adanya wanita lain yang selalu menyita waktu Andra untuknya. Andra menyunggingkan senyum. “Kamu pengen bulan madu?” Senyum palsu itu terlihat seperti nyata. Sungguh, sebenarnya menghabiskan waktu berdua di dalam rumah ini pun, sudah cukup. Tetapi, jika setiap waktu luang Andra selalu saja meninggalkannya, ia tak akan bisa. Bukankah sabar itu ada masa lelahnya juga? Bulan menarik nafas dalam, melepaskan tangan Andra yang ada di genggaman. “Kalau kakak nggak mau, nggak apa-apa kok. Uumm … aku Cuma ingin ngisi waktu cuti kakak aja dengan jalan-jalan, liburan dan cari hiburan.” Bulan kembali tersenyum, benar-benar senyuman yang getir, menyimpan luka. “Yaudah, aku mau tidur lagi.” Beranjak dari duduk, melangkah pergi menuju ke kamarnya. Tangannya mengusap embun yang tadi dengan susah payah ia tahan. “Oke, besok siang kita pergi liburan.” Jawaban Andra yang terdengar seperti mengiyakan keinginan Bulan semata, bukan termasuk keinginannya ini, membuat Bulan kembali menarik nafas dalam. Dan dengan cepat Bulan menghapus kedua pipi. “Kalau kakak sibuk, kita nggak usah pergi, nggak apa-apa. Cukup di rumah aja.” Andra mengambil ponsel yang ada di saku celana. Menaruhnya di atas meja, lalu merebahkan tubuh di atas kasur. Cowok itu tersenyum menatap Bulan yang masih terpaku. Satu tangan terentang, menyuruh Bulan untuk ikut berbaring di sampingnya. “Sini, kita tidur sampai siang.” Untuk sekarang, menjadi bodoh adalah pilihan terbaik. Karna menjadi seseorang yang mencintai dan berjuang sendirian itu sama sekali nggak mudah. Menurut, Bulan naik ke atas tempat tidur, masuk ke dalam selimut yang sama. Andra langsung menarik tubuh Bulan, mengungkung gadis itu. Tangannya melingkar dengan posesif di bagian perut. “Kak,” jarak yang begitu dekat, membuat Bulan bisa memperhatikan wajah Andra dengan sangat jelas. Astaga … wajar, kan, kalau dia pengen di cium? Terlebih, bibir Andra yang sedikit menghitam itu terlihat sangat menggoda. Andra menjentik hidung Bulan. “Aku udah ngantuk banget. Ayok tidur.” Setelahnya, cowok itu memejamkan mata. Tak ingin jika Andra tak nyaman, ia memilih menurut lagi. Sedikit melorot, lalu ngusel di d**a Andra. Menginginkan tidur dalam dekapan lelaki yang begitu ia cintai. Namun, dengan cepat Bulan berpindah posisi, membelakangi Andra. Parfum yang nempel di kaos Andra, adalah parfum yang sama dengan malam kemarin. Parfum wanita bernama Nada dalam kontak ponsel Andra. Bulan mencengkram erat guling yang kini berada dalam pelukan. Ia mengangkat tangan Andra, melepaskan pelukan cowok itu. Sedikit bergeser, hingga mereka cukup berjarak. Kembali pula, air mata menetes tanpa permisi. ‘Tuhan, apa aku sanggup? Ini belum ada seminggu aku hidup bersamanya. Tapi kenapa rasanya seperih ini? Sampai kapan aku harus bertahan? Apa aku bisa? Dalam kitab-Mu menjelaskan jika tak akan ada perpisahan kecuali kematian. Jadi … apa aku harus mati dulu, agar perih ini tak terasa lagi?’ Tidur kembali? Itu hanya palsu juga. Bulan memilih beranjak, keluar dari kamar dan duduk diam di sofa depan teve. Ingin melupakan sejenak semua masalah yang sedang terjadi. Bulan memilih mengambil ponsel dan masuk ke aplikasi biru. Membaca postingan teman-temannya. Bibirnya sedikit mengulas senyum saat melihat postingan Vasco—Kevin—sekitar jam tujuh malam. Namun, detik kemudian bulir justru kembali terpupuk di kedua mata. ‘Bahagia banget kak Sherina dan kak Kevin. Zuco adalah bukti cinta mereka yang emang nyata.’ Bulan menerawang, menatap ke arah lampu di atas sana. ‘Apa aku bisa seperti mereka?’        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD