Bab 2. Jadi Koki dalam semalam

1451 Words
Emily berbaring, dia sudah ingin tidur sejak satu jam yang lalu tapi matanya tak mau  tertutup memikirkan sekarang ini ada orang baru tinggal di rumahnya. Bagaimana jika lelaki itu melakukan sesuatu yang berbahaya? Bagaimana jika Diana di bohongi lelaki itu dengan tampilannya yang terlihat seperti anak baik-baik? bagaimana jika lelaki itu adalah orang jahat dan bagaimana--- bagaimana---? Berbagai pertanyaan muncul di pikiran Emily hingga membuatnya tak bisa tidur di saat jam digital di meja nakas menunjukkan angka 01:30am. Gadis itu duduk bersandar di kepala ranjang di dalam keremangan cahaya. Emily sengaja tidak menyalakan lampu karena kepalanya terlalu banyak berpikir mengenai siapa sebenarnya lelaki yang Diana bawa. “Asal usulnya saja dia lupa, apa itu hanya dalih saja?” gumam Emily saat teringat pertanyaan yang ia lontarkan untuk max. flashback “Jadi Max apa identitasmu?” Tanya Emily. Max menggeleng. “Kau lupa atau tidak ingin memberi tahuku?” tanya Emily lagi. Max terlihat menatapnya tapi jujur dari tatapan itu Emily tidak bisa mengartikan apapun hingga Max bersuara. “Aku tidak tau,” katanya datar. Saat itu kepala Emily langsung mulai terasa pusing, apa mungkin kejadian kecurian itu juga berpengaruh pada otaknya atau malah yang di curi itu justru adalah pikiran lelaki ini sendiri? Entahlah, namun apapun itu Emily harus waspada karena bagaimana pun juga lelaki ini adalah orang asing. “Ah sudahlah aku tidak peduli yang pasti sekarang kau tinggal di sini dan itu di sana kamarmu tapi ingat hanya itu kamarmu selain itu kau tidak moleh masuk ke kamar lain atau menyentuh barang barang di sini,” Max kembali mengangguk. Emily memijit kepalanya, meringis menyadari manusia macam apa yang Diana titipkan di rumahnya ini. Flashback Off Dan kini karena ulahnya yang dengan mudahnya mengiyakan permintaan Diana, ia tidak bisa tidur karena terus memikirkan apa yang sedang Max lakukan. Lelaki itu sedang tidur atau sedang melakukan kejahatannya? Untuk memastikan hal itu Emily keluar dari kamarnya melihat setiap penjuru apartemennya yang ternyata sepi hanya satu ruangan yang tertutup di mana sekarang Max ada di dalam sana. Mungkin Emily terlalu paranoid hingga membuatnya berpikir buruk dengan apa yang Max lakukan. Semoga setelah ini ia bisa tidur dengan tenang tanpa harus memikirkan Max yang akan melakukan hal berbahaya atau semacamnya. Tapi berbeda dengan apa yang Emily pikirkan tentang Max yang sedang istirahat di dalam kamarnya. Lelaki itu kini justru berdiri tanpa mengenakan baju di mana di bagian punggungnya sebuah kabel tertancap di salah satu sumber listrik. Max melakukan itu untuk mengisi daya cadangan esok hari. Tidak hanya itu, kepalanya juga memproses beberapa data yang dia dapatkan hari ini secara otomatis tanpa perintah dari pusat, hal itu adalah salah satu keistimewaan Humanoid, meskipun dia adalah mesin tapi dia juga dapat berpikir dan menyimpan data-data apa yang sudah ia lihat sama seperti manusia hanya saja bedanya terletak pada ruang penyimpanan, untuk ingatan Humanoid saat ini masih terbatas kemungkinan para teknisi akan memperpanjang sistemnya jika percobaannya kali ini berhasil. ‘Sistem terperbaharui 100% Selesai’ Sebuah tulisan yang hanya bisa Max lihat muncul di layar sensor matanya. Max mengedipkan matanya beberapa kali dengan perlahan sebelum ada data yang masuk kembali, kali ini langsung dari pusat yang mengirimkan beberapa perintah untuk apa yang harus ia lakukan esok hari. Max mengolah semua informasi mengenai dunia secara perlahan lewat sistem pencarian yang tertanam di kepalanya, dia dapat menjangkau segala hal, hal itu bisa di samakan dengan google di lihat betapa cepat datanya memberikan informasi. Hingga saat cahaya matahari mulai muncul di langit Max menyudahi pembelajarannya dia melepaskan kabel yang menancap ke sumber listrik sebelum bagian punggungnya kembali tertutup dengan keren nya sampai tak terlihat jika itu adalah kulit buatan. Max kembali seperti manusia pada umumnya. Dengan mengikuti pelajaran mengenai aktifitas yang sering manusia lakukan, Max mendapatkan jika saat pagi para manusia akan makan kemudian di lanjutkan saat siang lalu malam. Manusia akan makan dalam tiga waktu itu. Max melihat ke arah kamar Emily pasti perempuan itu belum bangun apalagi waktu masih pukul setengah enam pagi. Max memutuskan melakukan apa yang sudah ia pelajari dengan membuatkan sarapan pagi untuk Emily. ____ Riiiinnngggg......... Riiiiiiiinnnnnggg....... “Ah kamu berisik sekali padahal aku masih ingin tidur.” Emily menggerutu berusaha meraih jam yang mengganggu tidurnya kemudian dengan mata sedikit menyipit ia beranjak duduk memakai sandal kuning berkepala spongebob besar. Hidungnya kemudian mengendus sesuatu. “Hmm harum sekali sepertinya Diana sudah kembali tapi sejak kapan dia pintar memasak?” dengan langkah gontai kakinya melangkah ke arah dapur mengabaikan jika saat itu tampilannya sangat kacau yang tidak bisa di jelaskan. “Diana, sejak kapan kau bisa masak?” “Kamu sudah bangun ya tapi kenapa tampilanmu jelek sekali.” ucap Max dan tepat saat itu mata Emily terbuka lebar. Suara pria? Ah s**t! Emily lupa jika sekarang ia tidak tinggal sendirian. “Hei kamu belum sarapan!” seru Max saat melihat Emily berlari ke arah kamarnya kembali. “Aku tidak mengerti dengan apa yang manusia pikirkan.” ucap Max sambil menyusun masakannya di atas meja. Emily menormalkan deru nafasnya saat sudah berhasil masuk ke kamarnya lagi, kakinya menuju ke arah cermin melihat penampilannya yang membuat dirinya sendiri meringis. “Oh my god! Katakan jika yang ada di cermin itu bukan aku?” Emily berbalik sembari mengacak rambutnya sendiri. “Astaga. astaga. astaga. apa barusan aku keluar dengan tampilan seperti ini di depan lelaki itu? AH MEMALUKAN SEKALI!” teriak Emily frustasi. Sekali lagi ia menatap pantulan dirinya di cermin kemudian meringis. Lipatan bantal di wajah, rambut seperti rambut singa, mata yang belum di bersihkan kemudian baju tidur dengan gambar spongebob. Tidak ada hal paling memalukan dari ini selama Emily hidup. Hans saja yang sudah bersamanya selama lima tahun tidak pernah melihatnya sekacau ini. Dan apa yang max katakan tadi “Tampilanmu jelek sekali?” rasanya saat mendengar hal itu Emily ingin menjambak Max dengan segala kekuatannya tapi mau bagaimana lagi jika apa yang max katakan ternyata benar. Sialan. Emily mengumpat kemudian bergegas memperbaiki penampilannya dan saat dia keluar dengan tampilan yang lebih baik, Max terlihat sudah duduk dengan aneka jenis makanan yang menggiurkan tersaji di atas meja. Bohong jika Emily mengatakan tidak tergiur dengan para makanan enak itu. “Kau tidak memasukkan racun ke dalamnya kan?” tanya nya was was. Max menggeleng. “Aku berusaha membuatnya sesuai dengan yang ku pelajari,” jawab Max. Sebenarnya Emily sangat ingin segera menyantap makanan itu, tapi hatinya ragu terlebih dengan ke hadiran Max yang tiba-tiba. Emily mencoba menahan egonya untuk mencicipi masakan Max, satu suapan masuk ke mulut dan mengunyahnya perlahan dengan mata terpejam. ‘Ini gila! Aku belum pernah memakan masakan yang begitu enak, bahkan masakanku sendiri tidak pernah seenak ini.’ batin nya kemudian melanjutkan makan dengan lebih lahap. Max hanya memandangi Emily mencoba memindai tiap perubahan raut wajah yang Emily punya yang kadang marah, senang, bahagia, sedih. Tapi sekarang yang Max dapat baru dua yaitu poin marah dan senang. Karena sensor yang bisa Max dapatkan senang dan bahagia adalah dua kategori yang berbeda tapi mirip, namun untuk membedakannya Max menjadikan kedua poin itu berbeda. “Ah aku sangat suka masakanmu, dari mana kau mempelajarinya?” tanya Emily begitu selesai menghabiskan semuanya, ya semuanya tanpa sisa sedikitpun. “Internet.” Jawab Max. Emily memukul meja sedangkan kedua bola matanya melotot. “Internet?!” seru nya memastikan, Max mengangguk tapi Emily tidak percaya, “Kau bohong kan? Kau pasti kursus masak atau sejenisnya hingga membuatmu sangat pintar meracik makanan dengan bahan yang benar?” Max menggeleng, “Aku mempelajarinya di internet semalam.” “Semalam!” tanpa sadar Emily memekik, tapi dia segera berdehem untuk menormalkan keterkejutannya. ‘Aku bahkan belajar masak sejak umur sepuluh tahun tapi tidak pernah masak seenak ini, tapi Max hanya belajar dengan melihat internet lalu mempraktekannya dan hasilnya luar biasa itu pun mempelajarinya hanya dalam waktu semalam? Sulit di percaya pasti dia bohong’ “Aku akan memasak setiap hari jika kamu mau,” ucap Max. “Ah tidak usah itu pasti akan merepotkanmu,” Sahut Emily dengan tangan yang segaja di gerakkan di depan tanda ia menolak tapi hatinya justru berkata ‘memasaklah seumur hidupmu untukku’ “Tapi kamu pasti akan suka jika aku memasak lagi untukmu kan?” Tanya Max yang tentu membuat Emily mendadak merasa dapat jackpot. “Baiklah baiklah jika kamu memaksa.” dalam hati Emily bersorak girang karena itu artinya ia tidak perlu harus ke rostoran mahal hanya untuk menikmati makanan yang enak kan? ‘Wah ternyata Diana memberikanku seorang koki yang handal. Masa bodoh jika Max hanya mempelajari cara memasaknya lewat internet dalam semalam, yang aku tau sekarang aku punya seorang koki yang profesional,’ Batin Emily, mungkin jika Max tidak disini Emily akan melompat lompat karena begitu senangnya. “Ekhm! Jadi karena kamu sudah memasak yang enak untukku hari ini aku akan menemanimu berbelanja.” katanya kemudian. ____ Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD