Reason #2

1651 Words
Teruntuk sang waktu. Mengapa kau senang sekali mempermainkanku. Kau hadirkan dia dalam hidupku tapi dalam sekejap saja kau lenyapkan dia dari sisiku. Dan kini, dia kembali. Tapi, masihkah cintanya hanya untukku? 〰〰 Berkali-kali Sisi menengok ke arah daun pintu ruangan Cindy. Tapi tak ada tanda-tanda wanita itu akan keluar dari ruangannya. Sisi semakin gelisah dan berjalan mondar-mandir, mencoba menghilangkan kegalauannya. Hari ini Sisi ingin memastikan bahwa apa yang dilihatnya malam itu adalah kenyataan. Axel bersama atasannya. "Lo kenapa, Si?" tanya Rita yang baru saja membersihkan beberapa rak tempat roti. "Bu Cindy kok nggak keluar-keluar ya, Rit?" tanya Sisi balik. Pandangan matanya masih saja menatap daun pintu putih itu. "Tumben nyariin Bu Cindy. Ada apaan?" Sisi mengalihkan pandangannya, menatap Rita yang berdiri di sebelahnya. "Lo pasti nggak percaya sama apa yang bakalan gue ceritain!" "Soal apa?" tanya Rita antusias. Sisi menarik nafas panjang dan membuangnya dengan cepat. Sebelumnya ia menyisir belahan rambutnya ke belakang. "Gue ketemu Axel!" Kening Rita seketika mengernyit. "Axel?" cicitnya. Sisi mengangguk dengan mantab. "Buk---bukannya Axel udah----" "Gue yakin itu Axel, Rit!" potong Sisi cepat. "Malam itu gue liat Axel jalan sama Bu Cindy!" Penjelasan Sisi semakin membuat Rita bingung. Ia hanya terkekeh pelan menanggapinya. "Lo yakin, Si? Apa lo nggak salah liat?" Sisi menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Gue yakin itu Axel. Gue kenal banget sama Axel dan gue yakin, gue nggak salah orang!" Mata Sisi yang sedikit berair membuat Rita tak tega. Ia mencoba menenangkan Sisi dengan mengajak gadis itu duduk di salah satu kursi. "Duduk dulu, Si. Gue nggak tau mesti ngomong apa tapi gue punya satu pertanyaan buat lo!" "Apa?" sahut Sisi lirih. "Kalo emang dia Axel, kenapa dia nggak nyamperin lo?" Sisi seketika diam. Benar juga apa yang dikatakan Rita. Kejadian malam itu begitu cepat dan mungkin saja Axel tidak melihatnya. "Mungkin---mungkin aja dia nggak tau ada gue di situ, Rit!" Rita menganggukkan kepalanya beberapa kali dan alasan Sisi sedikit masuk akal. Tapi yang membuat Rita tidak percaya adalah sosok Axel yang tiba-tiba muncul setelah ia dinyatakan meninggal setahun yang lalu. "Kalaupun Axel meninggal, tim SAR kenapa nggak bisa nemuin jasadnya?" lirih Sisi. Kali ini airmatanya mengalir deras. Sisi menyekanya dengan kasar dan mencoba mengeluarkan semua kegundahan hatinya. "Hati gue yakin banget kalo Axel masih hidup, Rit!" "Sssshhhh. Tenang, Si. Lo nggak boleh gegabah soal ini. Bisa aja orang itu mukanya mirip sama Axel---" "ITU AXEL, RIT. MATA GUE NGGAK BUTA!!" potong Sisi sambil berteriak histeris. "Sssshhhhh!" Rita mencoba menenangkan Sisi yang mulai terisak. Ia merangkul wanita itu dan mengusap lembut punggung Sisi. "Gue tau, Si. Gue tau lo pasti punya pikiran kayak gitu. Tapi kita nggak bisa gegabah. Kalopun lo percaya itu adalah Axel, lo harus cari informasi dulu." Sisi menganggukkan kepalanya dan melepaskan diri dari rengkuhan tangan Rita lalu kembali menyeka kedua pipinya. "Gue seneng banget waktu liat Axel malem itu tapi gue sedih. Kenapa dia nggak ngabarin gue kalo masih hidup!" Rita membuang nafas pelan dan meraih jemari Sisi, menggenggamnya. "Lo yang sabar ya. Allah pasti kasih jalan kalopun itu beneran Axel---eh kenapa kita nggak kasih tau keluarganya Axel aja?" tawar Rita. Kepala Sisi menggeleng kuat. "Jangan dulu, Rit. Gue bakalan selidiki sendiri. Dan kalo ternyata beneran itu Axel, gue pasti kabarin Daddy sama Mommy secepatnya!" "Oke!" Rita mengangguk mengerti. "Itu terserah lo. Pesen gue, jangan bertindak gegabah. Oke?" "Oke---" BLAM!! Dentuman pintu ruangan Cindy yang tertutup membuat kepala Sisi dan Rita menoleh serempak. "Pagi, Bu Cindy!" sapa Rita sambil menganggukkan kepalanya sedikit. "Eh, pagi juga Rita. Ada apaan ini? Kok----?" Cindy tidak melanjutkan ucapannya saat melihat tangan Sisi berusaha mengeringkan sisa-sisa airmatanya. "Nggak pa-pa kok, Bu. Biasa, lagi dateng bulan. Bawaanya emosi terus!" jelas Rita dan hanya diangguki oleh Sisi. "Ooh saya kira ada masalah apa. Oh iya, Si. Nanti siang ikut saya sebentar bisa, kan?" tanya Cindy sambil menatap wajah sendu Sisi. Sisi mengangguk pelan kemudian menjawab. "Bisa, Bu!" sahutnya singkat. "Rita, siang nanti kamu handle toko sama yang lain ya!" pesan Cindy. "Baik, Bu!" sahut Rita cepat. "Oke. Selamat bekerja ya. Semoga hari ini lancar!" "Aamiin!!" Cindy memutar tubuhnya dengan anggun dan kembali masuk ke dalam ruangannya. Sisi dan Rita saling lempar pandang setelah kepergian Cindy. "Bu Cindy ngajakin lo kemana, Si?" Sisi hanya mengendikkan kedua bahunya dan kembali ke tempatnya. Mengambil selembar kain lap untuk membersihkan meja. 〰〰 Cindy dan Sisi kini duduk berhadapan di salah satu cafe. Sisi masih belum tau kenapa Cindy membawanya ke tempat ini. Sisi hanya diam tanpa melakukan kegiatan apapun sementara Cindy terlihat cemas. Ia melihat layar ponselnya berkali-kali dan kadang melemparkan pandangannya pada pintu masuk cafe. Sepertinya Cindy sedang menunggu seseorang. Getaran didalam saku celananya membuat Sisi langsung meraih benda pipih itu. Kak Alex calling... "Maaf, Bu. Saya permisi sebentar. Ada telpon!" pamit Sisi. "Iya, Si. Tapi jangan jauh-jauh ya!" pesan Cindy. Sisi mengangguk dan beranjak dari tempat duduknya dan menjawab panggilan dari Alex. "Ya, Kak!" sapa Sisi pelan. Terdengar helaan nafas berat dari seberang sana sebelum suara Alex terdengar. "Si, lo sengaja ngindarin gue? Kenapa akhir-akhir ini gue susah banget buat ketemu sama lo? Lo marah sama gue?" Sisi menghela nafas kecil mendapat serangan pertanyaan dari Alex. "Aku nggak marah kok, Kak. Aku cuman lagi suntuk aja dan butuh sendiri!" "Kenapa lo nggak bilang? Gimana kalo minggu besok kita keluar kota? Ke pantai mungkin?" Sisi menggeleng pelan. "Maaf, Kak. Kayaknya aku nggak bisa. Aku bener-bener pengen sendiri---" "Lo marah soal kemarin, Si? Gue minta maaf." sela Alex. "Nggak, Kak. Beneran aku nggak marah sama Kakak tapi aku bener-bener nggak pengen ketemu sama siapapun, Kak!" "Daddy sama Mommy nanyain lo terus!" nada suara Alex sedikit memelan. Sisi tak bisa langsung menjawab. Kalau menyangkut soal Arlan dan Binar, Sisi selalu kalah. "Minggu besok aku ke rumah, Kak!" putus Sisi pada akhirnya. "Oke. Gue tunggu. Oh iya ntar pulangnya gue jemput---" "Nggak usah, Kak. Aku lagi keluar sama Bos aku dan nanti pulanganya dianterin!" potong Sisi. "Bos lo? Cowok apa cewek?" selidik Alex. "Cewek lah, Kak!" jawab Sisi gemas. "Oke. Ntar kabari kalo udah sampe rumah!" "Iya, Kak. Udah dulu ya, nggak enak sama atasan!" "Oke. Ati-ati ya kalo kerja!" "Makasih, Kak!" Setelah mematikan panggilan dari Alex, Sisi kembali duduk ditempatnya semula. "Maaf, Bu. Lama!" Cindy mengumbar senyum manisnya sambil menggeleng pelan. "Nggak apa-apa kok, Si. Itu tadi pacar kamu yang telpon? Romantis banget ya, kabar-kabarin terus. Saya aja boro-boro ditanyain. Calon saya orangnya dingin banget, Si. Mana pernah sms atau telpon buat sekedar tanya kabar? Ketemu aja juga diem!" Sisi hanya meringis kecil mendengar curhatan Cindy. Ia jadi teringat akan sosok Axel, hampir mirip dengan cerita Cindy. "Kok saya jadi curhat ya?" canda Cindy. "Nggak apa-apa kok, Bu. Kadang kita juga perlu berbagi saat hati tak sanggup menyimpan perih!" Kedua mata Cindy langsung berbinar. "Wow! Puitis banget sih kamu. Ngena banget quotesnya. Pernah patah hati ya?" tebak Cindy. Sisi hanya mengangguk. Entah sudah berapa kali ia patah hati dan semuanya karena Axel. "Ali!!" seruan Cindy membuat kepala Sisi refleks menoleh ke belakang. Melihat siapa yang datang. Mata Sisi membulat sempurna kala menatap makhluk yang tengah berjalan pelan menghampirinya. Mata itu, hidung itu, bibir itu. Sisi hafal betul siapa laki-laki yang kini ada di depan matanya. Axel. Dialah Axelio Vilandra. Laki-laki yang hilang setahun yang lalu. Sisi berdiri dari kursinya. Benda kayu itu menimbulkan suara deritan yang membuat Cindy sedikit bingung. Sisi menatap tak percaya wajah Axel yang begitu dekat. "A--Ax?" seru Sisi pelan. Kedua matanya sudah merah dan berair. Laki-laki di depannya ini terlihat bingung dan menatap ke arah Cindy. Cindy ikut bangkit dan langsung merangkul lengan laki-laki yang dipanggilnya dengan nama Ali itu. "Si, kamu kenal sama Ali?" tanya Cindy. "Ali?" cicit Sisi. Cindy mengangguk pelan. "Namanya Aliansyah. Dia calon suami saya. Kalian saling kenal?" tatapan mata Sisi beralih menatap ke arah Ali. Laki-laki itu meneliti wajah Sisi dan beberapa detik kemudian menggeleng. Saat itu juga airmata Sisi jatuh berderai. Kalopun lo percaya itu adalah Axel, lo harus cari informasi dulu. Ucapan Rita beberapa jam yang lalu tiba-tiba terlintas dalam benak Sisi. Sisi kembali menatap wajah laki-laki itu. Ingin sekali ia meraba pipi chubby Ali dan merengkuh tubuh tegap itu tapi Sisi mencoba menahannya dengan segala kekuatan yang ia miliki. "Ma--maaf. Saya kira---dia Axel, teman saya yang sudah meninggal setahun yang lalu!" ucap Sisi sambil menyeka airmatanya. Tapi nyatanya airmata itu tak bisa berhenti mengalir. Cindy melepaskan kaitan tangannya pada lengan Ali dan beralih merangkul Sisi. "Yang sabar ya!" Sisi mengangguk dan duduk kembali dengan perasaan tak menentu. Hati kecilnya meyakini jika laki-laki di depannya ini adalah Axel tapi Sisi sendiri tidak ada hak untuk memaksakan hal itu. Yang harus ia lakukan adalah mencari informasi tentang Ali. "Oh iya, titip ini untuk teman kerja yang lain ya!" Cindy menyodorkan beberapa kertas berwarna-warni dengan aroma harum yang langsung tercium oleh hidung Sisi. "Apa ini, Bu?" tanya Sisi pelan sambil mengambil tumpukan kertas dari tangan Cindy. "Undangan, Si. 2 minggu lagi saya mau nikah. Kamu senior di tempat saya dan udah saya anggap keluarga sendiri. Makanya saya bawa kamu kesini buat saya kenalin ke calon suami saya!" Calon suami? Ulang Sisi dalam hati. Matanya menatap wajah Ali yang begitu datar tanpa ekspresi. Dan seketika kenangan-kenangan tentang Axel dan dirinya berputar dalam benaknya. Laki-laki yang begitu ia rindukan kini harus menjadi milik orang lain. Dada Sisi terasa begitu sesak menerima kenyataan pahit ini. Airmatanya tak mau berhenti kala menatap wajah Ali. Dan dalam sedetik saja, tubuh mungil itu linglung. Untung saja Ali begitu sigap menangkap tubuh Sisi. "Hei!" panggilnya saat tubuh Sisi sudah berada dalam dekapannya. "Loh, Si? Kamu kenapa?" Cindy juga terlihat panik. "Siapin mobil. Bawa dia kerumah kamu aja!" putus Ali. Cindy mengangguk dan beranjak dari kursinya. Ia berjalan cepat keluar cafe, mengambil mobilnya. Sementara Ali tampak menggendong tubuh lemas Sisi. Ali menatap lurus wajah sendu itu. Entah kenapa dadanya terasa sesak kala melihat bolamata Sisi yang memancarkan penuh luka. Dan dadanya semakin nyeri saat melihat kelopak mata itu menyembunyikan bolamata hazel milik Sisi. 〰〰 Surabaya, 13 januari 2020 ayastoria
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD