4 - Mimpi Buruk

2433 Words
MALAM begitu kelam. Meskipun langit dipenuhi bintang dan rembulan kian terang. Namun dinginnya masih menusuk. Entah mengapa Khalisa gelisah. Malam memang selalu membuatnya resah akan hari esok. Apakah ia akan bertemu lagi dengan mentari? Apakah senja sudi bermain lagi? Atau apakah ia masih bisa menikmati hari bersama Key? Kamar berukuran lima kali enam meter itu tampak begitu sunyi, seperti tak berpenghuni. Lampu tak menyala. Hanya cahaya bulan yang menemani. Tubuh langsing itu berdiri menghadap ke jendela. Jendelanya masih terbuka, memberi izin pada semilir angin malam yang ingin menyapa. Sesekali gorden dibawa terbang karenanya. Tempat tidur terlihat begitu rapi. Tak ada satu barang pun yang tergeletak tidak pada tempatnya. “Kau belum tidur?” Pertanyaan itu berhasil membuyarkan lamunan Khalisa yang telah membumbung tinggi yang saat ini telah meluncur jatuh ke dasar bumi. Ia sangat mengenal suara itu dan begitu merindukannya. Ia tersenyum dan menoleh ke belakang. Netranya langsung menemukan sang ibu yang sedang berjalan, menghampirinya. Khalisa cemberut. “Kenapa tidak mengetuk pintu dulu, sih, Mom?” Maya tersenyum, lalu memeluk putri semata wayangnya itu. Lalu, menatap wajah cantik Khalisa. “Momi sudah mengetuk pintu dari tadi, tapi kau tidak menyahut. Apa kau sedang memikirkan Key sampai-sampai tidak mendengar kedatangan Momi?” godanya. “Ya ampun, maaf, Mom. Aku tidak mendengarnya.” Khalisa mengatupkan kedua tangannya di depan d**a, membuat sang ibu tersenyum. Maya mencubit hidung mancung Khalisa dengan gemas. Lalu, berdiri di samping gadis itu sambil menatap langit malam di angkasa. Ia mengirup lekat udara malam dan mengembuskannya perlahan. Setelah itu, ia menoleh ke arah putrinya. “Apa kau sudah bertemu dengan Key, Sayang?” Khalisa menyandarkan punggungnya di belakang kaca jendela. Ia pun mengangguk. “Hmm … dan Key semakin tampan,” ungkapnya berbinar. Maya tertegun. “Benarkah?” tanyanya. Ia pun menatap Khalisa. Netra gadis itu memancarkan kebahagiaan yang membuat dadanya terasa hangat. Ya, baginya kebahagiaan putrinya itu juga merupakan kebahagiaan di keluarga ini. Maya berdesis. Lalu, menempelkan jari telunjuk di dagu dengan pandangan tak beralih sedikit pun dari binar mata milik Khalisa. “Momi lihat sepertinya kau semakin mencintai Key,” katanya. Khalisa tersenyum. Ia pun mengangguk dan langsung menarik pinggang sang ibu, lalu memeluknya dengan manja dengan menyandarkan kepala di d**a. “Tentu saja. Kau tahu, aku mencintai Key sama seperti aku mencintai momi dan papi.” Maya terkekeh. Ia menggeleng kecil mendengar jawaban dari Khalisa. Putrinya itu terkenal begitu polos dan manja. Kendati begitu, Khalisa merupakan penerang di keluarga ini. Oleh sebab itu, Maya bersyukur putrinya itu bisa mengenal Key yang ia kenal adalah lelaki yang baik. Itu karena Maya sudah berteman lama dengan Innara—ibu Key—sejak 10 tahun yang lalu hingga tahu akan sifat Key. “Mau Momi ceritakan sesuatu?” Khalisa mendongak. Ia pun mengangguk antusia. “Apa itu, Mom?” tanyanya penasaran. “Key itu laki-laki yang baik. Kau tahu, saat kalian duduk di bangku TK dulu, Momi dan Innara sudah membuat perjanjian untuk menjodohkan kalian.” Khalisa tertegun, hingga netranya kian berbinar. “Benarkah?” Maya melenggut. “Awalnya kami berdua hanya bercanda mengatakan itu. Tapi, siapa yang akan menyangka jika sekarang kalian menjadi sepasang kekasih.” Maya melepaskan dekapan Khalisa. Ia pun menangkupkan kedua tangannya di pipi putrinya. “Apa kau tidak ingin menikah saja dengan Key, Sayang? Ibu lihat hubungan kalian berdua semakin dekat,” paparnya kemudian. Khalisa terkekeh. Ia menggamit tangan ibunya dari kedua pipi, lalu menggenggamnya. “Momi … aku baru saja pulang ke Indonesia. Tapi, kenapa Momi malah ingin aku menikah dengan Key.” Khalisa menjeda ucapannya. Ia pun membalikkan tubuh kembali menghadap ke arah cahaya rembulan. “aku masih ingin menjadi kekasih Key, Mom.” Ia tersenyum menatap indahnya cakrawala di angkasa. “aku ingin fokus dulu dengan kuliahku. Lagipula aku percaya jika Key tidak akan pernah meninggalkanku,” terangnya penjang lebar. Maya tertegun. Ia pun tak segan mencubit pipi mulus Khalisa, membuat gadis itu cemberut. “Ternyata anak momi sudah dewasa,” cetusnya. Maya tersenyum. Cahaya rembulan berhasil menyinari senyum yang tertampang pada putrinya. Sejenak ia termangu menatap wajah polos itu. Ya, putri kecilnya itu kini telah tumbuh menjadi seorang gadis dewasa. Di mana akan tiba masanya Khalisa meninggalkan Maya untuk hidup bahagia dengan suaminya. Sebelum saat itu tiba, ia ingin menghabiskan waktunya di sisi Khalisa yang begitu polos dan manja ini. ••••••••• Ciiittt ! Sebuah mobil mini cooper yang dikendarai oleh seorang laki-laki tampak hilang kendali. Mobilnya berbelok ke kanan dan ke kiri tanpa arah yang pasti. Tubuh Kay hanya bisa membeku menyaksikan pemandangan yang begitu mengerikan itu di depannya. Namun, detik setelahnya netra Kay membeliak ketika mobil itu tanpa diduga terguling ke arah kanan dan terseret beberapa meter ke arah tepi jalan. Dan tepat di hadapannya, sebuah tiang listrik dengan diameter yang cukup besar tampak siap menghadangnya. “AWAAASSS!” pekik Kay kencang. Namun nahas. Mobil itu sudah lebih dulu menghantam tiang listrik tersebut. BRAAKKK! “KEY!” Peluh membasahi seluruh tubuh Kay saat terbangun dari mimpi buruknya. Perlahan ia mengatur irama napas dan mengusap pelan keningnya yang berkeringat. Lalu, beranjak ke luar kamar dan melangkahkan kedua kaki menuju ke dapur untuk mengambil segelas air minum. “Kau baik-baik saja, Kay?” Suara Ibu mengejutkannya. Kay menoleh sekilas lalu mengangguk pelan sambil melangkah menuju ke kamar lagi. Namun, sebelum membuka pintu kamar. Ibu sudah lebih dulu menghadang Kay dengan pertanyaannya, “Apa kau bermimpi tentang Key?” tanyanya. Membuat Kay terdiam dan terpaku di tempat. “Ternyata sejauh apapun jarak kami, aku masih bisa merasakan sakitnya dia saat mengalami kecelakaan itu, Bu,” jawab Kay akhirnya setelah kami terdiam. Kay berbalik dan mendapatkan Ibu tengah menatapnya dengan raut terkejut. “Apa dia mengenalku?” Ibu tak menjawab, akan tetapi Kay bisa menangkap sebuah jawaban dari raut wajahnya. “Baiklah, kau harus kembali ke kamarmu, Ibu,” ucapnya dingin sambil mengontrol emosi dan masuk ke dalam kamar. Kay menghempaskan tubuh di atas kasur dan mencoba terlelap lagi. Namun sialnya, bayangan kecelakaan itu masih terbayang yang bahkan saat ini seakan berputar dan berkelindan dengan cepat di kepalanya. Ia memilih untuk membuka mata. Lalu, terduduk di atas ranjang. “Apa kau tidak mengenalku selama ini Key?” tanyanya lirih dan hampir terdengar seperti bisikan. Tanpa terasa kristal bening itu mengalir begitu saja. Terlalu sesak ketika mendapat kenyataan bahwa saudara kembarnya sendiri bahkan tak mengenali Kay. “Lalu apa gunaku dilahirkan?” ucapnya. Bermonolog dengan sepi. Isak tangisnya mulai terdengar, tetapi ia menahannya agar ibu atau siapapun tidak mendengarkannya. Kay menelungkupkan kepala ke bantal dan mengeluarkan semua tangis di sana. Menghabiskan malam yang indah dengan sebuah tangisan tidak berharga. ••••••• “Ini untukmu. Dan ini untukmu, Tika.” Hari ini adalah hari pertama Khalisa datang ke kampus setelah kepulangannya dari Jepang. Ia pun tak lupa membagikan oleh-oleh kepada teman sekelasnya. Sebelum pulang ke negeri tercinta ini, ia sengaja membeli banyak kue ataupun permen untuk dibagikan kepada teman-temannya. “Wah … oishisou ne (kelihatannya enak, ya?) Arigatou, (terima kasih) Khalisa chan,” ungkap Cantika. Gadis itu pun memeluk Khalisa. Khalisa berdehem. “Aku tidak bisa bernapas, Tik,” akunya dengan berusaha kuat melepaskan dekapan gadis itu. Sementara Cantika hanya terkekeh dan segera melepaskan pelukannya. “Gomenne.” (Maaf, ya.) Khalisa mengembuskan napas leganya. Ia pun tersenyum menatap gadis berparas manis di hadapannya. “Cepat kau habiskan. Dijamin kau akan ketagihan, Tik.” Ponsel Khalisa bergetar. Ia pun segera mengambil benda pipih itu di dalam tasnya. Senyum di bibirnya seketika terbit ketika melihat nama Key terpampang pada layar. Buru-buru ia menggulir layar ponselnya untuk membaca pesan yang diberikan kekasihnya itu untuknya. From Key: Khalie, aku sudah di depan kampus untuk menjemputmu. Khalisa kembali memasukkan ponselnya itu ke dalam tas. Lalu bergegas bangkit untuk menemui Key. “Aku pulang duluan ya, Tik,” pamitnya. Cantika pun mengangguk seraya memakan permen yang diberikan Khalisa. “Ki wo tsukete ne,” (hati-hati di jalan) katanya yang hanya dianggukan oleh Khalisa dan lambaian tangan gadis itu. Khalisa berjalan menyusuri koridor kampus yang sudah mulai sepi oleh para mahasiswanya yang telah meninggalkan kampus atau mungkin masih ada yang memiliki kelas tambahan. Namun, langkahnya surut perlahan ketika manik hitamnya menemukan tiga orang lelaki di mana salah satu di antara mereka tengah tersenyum dan berjalan ke arahnya. "Lisa, kau sudah pulang dari Jepang? Astaga, satu tahun kita tidak bertemu kau semakin cantik." Khalisa mendengkus kesal dan menepis kedua tangan lelaki itu yang akan memeluknya. "Jangan pernah menyentuhku, Rio," tuturnya sinis. Lelaki yang dipanggil Rio itu pun terkekeh. "Ah, kenapa kau menolak untuk kupeluk, Lisa? Aku sangat merindukanmu." Tak pantang menyerah, Rio kembali merentangkan kedua tangannya untuk memeluk gadis yang dicintainya itu. "Rio! Lepaskan!" Khalisa meronta saat tubuh mungilnya jatuh ke dalam dekapan lelaki keturunan Indonesia-Jepang itu yang begitu di gila-gilai oleh para gadis di kampusnya ini. "Sudah kukatakan berkali-kali kalau aku sudah memiliki kekasih," katanya dengan masih berusaha melepaskan dekapan Rio yang malah terasa kian erat. "Ayolah, Lisa. Sebentar saja. Biar aku menyalurkan semua rasa rinduku dengan cara memelukmu seperti ini." "Lepaskan!" Kali ini Khalisa memukul bahu kekar lelaki itu. Akan tetapi, sepertinya sia-sia saja. Rio mendekatkan wajah ke arah pipi gadis itu. "Lisa, aku suka aroma tubuhmu," ungkapnya saat aroma vanilla berhasil merebak masuk ke dalam rongga hidungnya. "Lepaskan aku, Rio! Atau aku akan teriak!" ancam Khalisa yang tak diindahkan oleh lelaki itu. Bahkan saat ini Rio dan dua temannya yang sedang menonton terkekeh mendengar ancaman itu. "Silakan saja! Tidak akan ada yang berani melarangku melakuakan apapun di kampus ini. Karena kampus ini milik kakekku." Khalisa terus meronta. Ia mengangguk. Baiklah, jika itu maumu! Geramnya di dalam hati. Khalisa pun mengambil napas dalam untuk berteriak kencang. "AAARRGGGHHHH!" Di lain tempat, di depan sebuah gerbang pintu kampus, Kay menyapu peluh keringat yang perlahan mulai merebak di dahi. Ternyata, cuaca di Jakarta terasa begitu panas jika di siang hari seperti ini. Ah, bukankah bulan ini saatnya memasuki musim penghujan? Tetapi, kenapa hari ini begitu terik? Entahlah. Kay masih menunggu Khalisa keluar dari kampusnya. Hari ini hari pertamanya Khalisa kuliah setelah satu tahun magang di Jepang. Dan sebagai kekasih yang baik Kay harus menjemputnya, kan? “Argh! Apa seperti ini rasanya punya kekasih?” umpat Kay sambil menendang kerikil di aspal. Ia mengumpat bukan karena tidak suka memiliki kekasih, tapi jika harus menunggu seperti ini tentu saja lama kelamaan merasa malas juga. Kay melirik ke arah jam tangannya. Sudah setengah jam yang lalu seharusnya mata kuliah Khalisa telah selesai, tetapi kenapa gadis itu belum juga menampakkan batang hidungnya? Kay mengacak rambutnya sendiri, gemas menunggu Khalisa keluar hingga pada akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam kampus dan mencarinya. Sebab, entah kenapa perasaannya tidak enak. Kay berkeliling, menyusuri koridor kampus yang cukup panjang. Sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri mencari Khalisa. “JANNGGANN!” Langkah Kay terhenti. Ia mendengar teriakan Khalisa menggema di lorong ini. Sungguh, perasaannya makin tidak enak. Ia berlari kalut mencarinya, mengikuti suara yang terdengar ketakutan itu. Di mana Khalisa? “Pergi!” suara Khalisa kembali terdengar. Kay kian mempercepat langkahnya. Kay berbelok ke tikungan koridor dan menemukan sosok Khalisa tengah dikelilingi oleh tiga orang laki-laki. Kay berteriak memanggil, dan membuat ketiganya menoleh ke belakang. Kay mengatur irama napas dan perlahan mendekat. “Jangan ganggu kekasihku,” ujar Kay masih bersikap ramah. Salah satu dari mereka tampak maju, mendekatkan jaraknya dengan Kay. “Jadi dia kekasihmu? Bagaimana kalau kamu melepaskannya untukku saja?” tanyanya penuh kesinisan. Membuat perut Kay mual mendengarnya. Kay mendengus kesal. “Kalian berani bayar berapa?” tanyanya membuat mata Khalisa membulat. “Berapa pun yang kau mau,” jawab Rio kemudian. Kay merasakan gejolak amarahnya kian memuncak. Apalagi saat laki-laki berkulit putih itu tiba-tiba saja menyentuh wajah Khalisa dan mendekatkan wajahnya, hingga membuat yang lain tertawa. Kay mendengus kasar. Tidak bisa dibiarkan terus seperti itu. BUK! Sebuah pukulan keras Kay arahkan pada laki-laki dihadapannya. Pukulan ringan dan tanpa tenaga itu membuat orang itu tersungkur jauh. Dua dari mereka yang melihat kejadian itu maju dan siap meninju wajah Kay. Namun, bukan Kay Raditya namanya jika ia sampai ikut tersungkur seperti temannya itu. Kay menghantam mereka dengan tinju yang lebih keras. Percuma belajar karate selama 6 tahun akan tetapi tidak membuahkan hasil sama sekali. Ketiganya tersungkur sambil mengerang kesakitan. Seringai kecil terbit di bibir Kay melihat mereka seperti itu. Tanpa buang waktu, ia segera menghampiri Khalisa. “Kau tidak terluka?” tanya Kay cemas. Sementara Khalisa hanya menggeleng sambil menggigit bibir bawahnya menahan tangis. Kay pun merangkul gadis itu dan berjalan menjauh dari tempat kejadian. “Jangan pernah kalian ganggu kekasihku lagi,” ucap Kay pada ketiganya sebelum menjauh dari mereka. “Key,” panggil Khalisa dengan suara bergetar. Kay mengeratkan rangkulan tangannya pada pundak Khalisa. “Tenanglah, mereka tidak akan mengganggumu lagi,” ucapnya berusaha menenangkan gadis itu. “Mereka sebenarnya ingin apa darimu?” tanya Kay saat keduanya keluar dari gerbang kampus. Khalisa tampak menggeleng, Kay tahu Khalisa masih ketakutan. Oleh sebab itu, ia memilih untuk tidak menanyai lagi dan cepat-cepat membawa gadis itu pulang. •••••••••• “Key, apa sakit?” tanya Khalisa saat mereka turun di taman yang ‘katanya’ selalu menjadi tempat pertemuan mereka. Kay memandang Khalisa yang tengah menunjuk tangan kanannya yang membiru sejak insiden di kampus siang tadi. Ia pun menekuk tangan yang berwarna biru itu dan mengangkatnya sejajar dengan wajah. “Tidak, sudah biasa,” jawab Kay sambil tersenyum menatap gadis itu. Namun, kali ini Khalisa tidak membalas senyuman Kay. “Tatapan matamu tadi…” Khalisa menghentikan ucapannya. Sementara Kay menanti kalimat selanjutnya. “Tidak seperti dirimu yang biasanya, Key,” lanjut Khalisa kemudian. Kay terhenyak. Oh, astaga, karena kesal ia melupakan sisinya sebagai Key. Kay membuang mukanya. Sungguh ia tidak berani lagi menatap gadis itu. Masih sunyi di antara keduanya, hanya desir angin pelan yang menemani. “Aku merasa ada sedikit yang berubah padamu, Key.” Kay menelan air liurnya sendiri dengan susah payah. Apa ia akan ketahuan sekarang? “Key, Maaf kalau aku mengatakan hal yang tidak-tidak,” kata Khalisa lagi membuat Kay menoleh. Gadis itu tampak menunduk dan memainkan kedua jari telunjuknya. “Aku tidak suka kau memainkan telunjukmu itu,” ucap Kay membuat kepala Khalisa terangkat. “Berhentilah memikirkan hal itu, aku masih Key yang sama.” Kali ini Kay berusaha untuk menghibur gadis itu. Namun, tak ada senyum yang terkembang diwajah polos itu. Kay mendesah pelan. “Kalaupun aku berubah, aku tidak akan berhenti mencintaimu,” ucapnya lagi. Kedua bola mata Khalisa menatap mata Kay lekat-lekat, mencari kejujuran di sana. “Benarkah?” Kay mengangguk yakin, berusaha supaya gadis itu tidak curiga. Sementara Khalisa mulai tersenyum lalu memeluk sang kekasih dengan erat. Key, maafkan aku ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD