2 - Absurd

1899 Words
KAY mematut diri di depan cermin. Tersenyum getir saat melihat penampilannya saat ini. Rambut hitam yang tersisir rapi dan juga setelan kaus berwarna merah yang dipadu padankan dengan jeans navy. Ia menggeleng lemah. Itu bukan dirinya! Sangat berbanding terbalik 180° dengan Kay yang sesungguhnya. Di mana ia lebih menyukai rambut yang sedikit panjang. Bahkan, pakaian yang sedikit lebih besar dari tubuhnya. Entah kenapa ada sesuatu yang berdesir ngilu di rongga d**a saat menatap wajah sendu itu. Sudah tidak ada lagi senyum cool yang biasa dikeluarkan. Karena saat ini Kay sedang mencoba menjadi sesosok orang lain yang sangat dibencinya. Kay bergegas menarik jaket hitam di lemari dan memakainya. Setelah itu melangkah ke luar kamar untuk bersiap menuju ke bandara. Menjemput seseorang. Kay tak henti berdecak kesal saat dua jam lamanya harus menunggu di depan pintu kedatangan bandara. Pasalnya, pesawat yang ditumpangi orang yang ditunggunya mengalami delay sehingga mau tak mau harus menunggu di sini. Sungguh, ia sangat benci menunggu lama seperti ini. Bukankah waktu adalah uang? Ya, ia bisa melakukan banyak hal yang lebih positif dibanding harus menunggu lama seperti ini. Tidur, misalnya. “Key!” seru seorang gadis yang baru saja keluar dari pintu kedatangan bandara. Kay menoleh, menatap sosok gadis yang berlari menghampiri dengan senyum bahagianya. Ia pun membalas senyum ceria gadis itu. Ah, dia sudah datang. “Senang bertemu denganmu,” ujar gadis itu sambil menghamburkan diri ke dalam pelukan Kay. Sesaat, Kay mematung di tempat. Irama degup jantungnya tiba-tiba saja meningkat. Apa yang harus dilakukan sekarang? Hingga akhirnya, ia memilih untuk tertawa. “Dasar manja,” ucapnya sambil mengusap rambut pendek sebahu gadis itu. Gadis itu melepaskan pelukan dan mengerucutkan bibirnya. “Harusnya kau mengatakan 'Senang bertemu denganmu' juga, Key,” kata Khalisa dengan manja. Kay tertawa seraya mengacak-acak rambut Khalisa. “Tidak perlu aku katakan, kau juga sudah tahu ‘kan?” tanyanya kemudian. Khalisa mengangguk sambil masih mengembangkan senyum diwajahnya. “Aku masih ingin memelukmu, Key,” tolaknya saat laki-laki itu mulai menarik kopernya. “Jangan di sini, Khalie.” Kay menggenggam tangan gadis itu dan memanggilnya dengan panggilan kesayangannya. Khalisa tertegun. “Kau masih ingat panggilan kecilku?” tanyanya senang sambil mengimbangi jalan dengan Key. Kay mengangguk. “Kamu ‘kan kekasihku, tentu saja aku mengingatnya.” “Setahun berlalu ternyata kau semakin tampan Key,” puji Khalisa yang membuat sang kekasih tersenyum. Kay membuka pintu bagasi mobil dan memasukkan koper berwarna pink milik Khalisa setelah sampai di parkiran. “Jadi aku yang dulu tidak terlalu tampan?” tanyanya hingga berhasil mengundang tawa gadis berkulit putih itu. Setelah itu, menutup bagasi lalu masuk ke dalam mobil. “Tentu saja tampan, tapi kau lebih tampan sekarang, Key,” puji Khalisa saat memasuki mobil. Kay menoleh ke arah Khalisa. “Kau juga semakin cantik sayang,” ungkapnya kemudian. Sementara Khalisa merasakan kedua pipinya terasa memanas. Ia pun buru-buru memalingkan wajah supaya kekasihnya itu tak melihat wajahnya yang mungkin sudah semerah tomat. Kay tersenyum kecil melihat rona kemerahan pada kedua pipi gadis itu. Kemudian, ia melajukan mobil untuk meninggalkan bandara. Sepanjang perjalanan keheningan sempat menyambut keduanya. Mereka fokus dengan aktivitas masing-masing. Kay yang fokus mengemudi sedangkan Khalisa terlihat senang memperhatikan jalan. Kay menoleh sekilas ke arahnya. Kemudian, mulai membuka suara, “Sejak kapan rambutmu pendek?” Khalisa menoleh. Ia mengernyit dan menatap heran. “Bukankah sebelum aku berangkat setahun yang lalu, aku sudah memotong pendek rambutku dan kau menyukainya, Key?” tanyanya dengan nada keheranan. Kay tercenung. Lalu, berdehem kecil dan melirik gadis itu sekilas. “Benarkah? Maaf, aku lupa Khalie, hehehe,” jawabnya sambil tertawa yang dipaksakan. Kay mengembuskan napas lega. Bahkan, ia mengelus d**a saat melihat Khalisa yang ikut tertawa. Mungkin menurutnya Kay benar-benar lupa padahal sebenarnya memang tidak tahu. Hei, jangan salahkan aku! Sebab, ibu memberikan foto saat rambut gadis itu masih terurai panjang sebelum berangkat ke bandara tadi. “Umurmu itu sebenarnya berapa, Key? Kenapa sudah pikun sih?” tanya Khalisa di tengah tawanya. Sementara Kay memilih tidak menjawab, hanya ikut tertawa bersamanya. Khalisa memegangi rambunya. “Apa perlu aku memanjangkan lagi rambutku?” tanyanya kemudian. Lagi-lagi Kay berdehem. “Ehm, begitu saja dulu kalau aku menyuruh panjangkan baru kau panjangkan ya,” ucapnya lembut sambil membelai kepala gadis itu yang dibalas dengan anggukan kepalanya. Kay tersenyum, betapa beruntungnya Key mendapatkan gadis seperti Khalisa. Khalisa menatap kekasihnya itu yang sedang berkonsentrasi dengan jalanan. “Kita pulang ke rumahmu dulu, ya, Key?” Kay hanya melenggut. Sebenarnya ia sedikit risih terus dipandang seperti itu oleh gadis itu. “Ibu dan ayah merindukanmu,” ucapnya lirih ketika menyebut mereka. Namun, Khalisa tidak menjawab. Netranya melirik sekilas ke samping dan menemukan gadis itu tengah memandang ke arah luar jendela lagi. ••••• Kay memarkirkan mobil mini cooper ini yang merupakan milik Key di garasi. Namun, ia tertegun saat Khalisa langsung turun begitu saja dari mobil tanpa menunggunya. Gadis itu berlari menghampiri ibu yang baru keluar dari rumah untuk menyambut kedatangannya. “IBU!” pekik Khalisa saat memasuki rumah orang tua Kay. Kay termangu menatap gadis itu. Khalisa terlihat begitu akrab dengan keluarganya hingga tak sungkan memeluk mereka. Apa memang seperti itu sifatnya? Arrgh! Ia merutuki diri sendiri. Bagaimana bisa ia memerankan diri sebagai Key jika dirinya saja tak tahu menahu tentang gadis itu? Entahlah. Kay mengembuskan napasnya dan memilih untuk keluar dari mobil dan menuju ke bagasi. Innara memeluk Khalisa dengan erat. “Ya ampun, kau tidak pernah berubah Lisa,” ucapnya sambil tersenyum hangat. Kay melihat sang ayah keluar dari rumah lalu menghampiri Khalisa. Ia hanya bisa menatap mereka bertiga dari jauh. Reuni keluarga bahagia. Batinnya seraya menarik koper milik gadis itu. “Key, kau mau ke mana?” tanya Innara lembut saat melihat putranya berjalan ke arah kamar. Kay menghentikan langkahnya sesaat. Lalu, menoleh, “Berganti baju sebentar, Ibu,” jawabnya kemudian dan kembali melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam kamar. Mati-matian ia berusaha mengatur caranya berbicara di depan Khalisa. Sebab, ia tak ingin jika gadis itu mencurigainya. Kay langsung menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Kemudian, merogoh kantung celana jeans dan menemukan secarik kertas yang berisi tulisan ibu tentang apa yang harus dilakukannya terhadap Khalisa. Mendadak gelora panas membekap d**a hingga Kay meremas kertas itu. Sungguh, ini semua bukan keinginannya. Tak seharusnya ia menuruti keinginan kedua orang tuanya itu. Kay mengembuskan napas. Lalu memejamkan netra sesaat dan menatap pigura foto Key yang berada di atas nakas. “Kau menyusahkanku, Key” gumamnya kemudian. Setelah itu Kay bangkit dari ranjang dan membuka kaus untuk menggantinya dengan yang lebih nyaman untuk dipakai saat di rumah. Kemudian, langkahnya surut perlahan ke arah pintu untuk membukanya. Namun, saat yang sama seseorang bahkan telah membuka pintu itu terlebih dahulu membuatnya terkejut setengah mati. Bagaimana tidak? Tiba-tiba saja wajah Khalisa melongok ke dalam, menatapnya. “Ah, kenapa aku tidak memergokimu sedang berganti pakaian,” ujar Khalisa lemas saat mengetahui kekasihnya itu sudah berganti pakaian. Ia pun melangkahkan kakinya memasuki kamar lebih dalam. Kay termangu hingga membuka sedikit bibirnya. Apa katanya? Aish, Kotor sekali pemikiran gadis ini. Ia pun mengacak-acak rambut gadis itu. “Kau ingin melihatku bertelanjang d**a? Baiklah aku akan—“ Khalisa tergemap. “JANGGAAAN!!” pekiknya saat sang kekasih akan membuka kausnya. Ia pun menutupi wajah dengan kedua tangannya. Kendati begitu, matanya terkadang mengintip dari celah jari-jemarinya untuk mencari tahu apa laki-laki itu benar-benar membuka pakaiannya. Kay tertawa. Bukankah tadi gadis itu sendiri yang ingin melihatnya? Namun, sekarang kenapa Khalisa pula yang mencegah dirinya? Dasar gadis aneh! Netra Key masih menemukan posisi gadis itu yang masih sama seperti tadi. Bahkan, tak berubah sedikitpun dan sesentipun. Ia pun memilih untuk mendekatinya, menjauhkan kedua tangan gadus itu dari dari wajahnya yang cantik. “Aku tidak membuka bajuku, sayang,” ucapnya saat melihat wajah gadis itu yang terlihat, tetapi matanya masih tertutup. Khalisa membuka sebelah netranya untuk membuktikan kata-kata kekasihnya. Ia pun membuka kedua matanya setelah semua aman. “KEY! Kenapa kau mau membuka bajumu tadi?” ujarnya kesal sambil memukul lengan laki-laki itu. “Bukankah tadi kau mau melihatku berganti pakaian?” tanya Kay heran. Khalisa mengerucutkan bibirnya. “Aku hanya bercanda, Key,” gumamnya sambil menyembunyikan kedua tangan di punggung sambil menunduk. Kay terpegun. Ia tahu jika itu merupakan kebiasaan Khalisa saat salah tingkah. Ya, ibu menuliskannya dengan detail bagaimana sikap dan sifat gadis itu yang saat ini telah khatam dibacanya. Ia pun tertawa, betapa lucunya kekasih Key ini. Kay mengacak rambut Khalisa gemas. “Ya, ya. Ayo kita keluar.” ••••• "Aku pergi ke markas dulu ya, Mom?" pamit Ibib dengan mencium pipi ibunya. Ibu Ibib melenggut. "Hati-hati di jalan ya, Bib. Ingat pesan ibu! Jangan berkelahi!" peringatnya kepada putra semata wayangnya. "Oke, Mom," jawab Ibib dengan menyodorkan jari-jemari yang membentuk love layaknya aktris Korea. Ibu Ibib terkekeh melihat tingkah laku putranya. Kenapa juga laki-laki itu memanggilnya dengan sebutan 'Mom'? Bukankah biasanya Ibib menyebutnya dengan panggilan 'emak'? Kendati begitu, ia sangat bersyukur memiliki putra seperti Ibib. Walau tubuh laki-laki itu terlihat kekar dan sangar, tetapi percayalah jika Ibib merupakan seorang anak yang pekerja keras dan menyayangi keluarga. Laki-laki itu tak malu membantunya di pasar berjualan ikan seperti ini. "Bib, pulangnya jangan malam-malam, ya. Nanti kita makan malam bersama," sahut ayah Ibib yang tengah membuang bagian perut ikan dengan mata tertuju ke arah putranya itu. "Oke, Papi," sahut Ibib dengan masih dengan posisi yang sama. Sang ayah berdecak kecil melihat tingkah aneh sang anak hingga tak sungkan melemparinya dengan kotoran ikan yang ada di meja potong. Kendati demikian, terkadang sikap aneh Ibib itu bisa membuat semua beban yang ada dipikirannya dalam sekejap menghilang. Akhir-akhir ini, ia juga tahu jika Ibib memiliki sebuah komunitas atau geng yang bernama Wolf. Pada awalnya, ia takut jika sang anak akan menjadi brutal setelah masuk dalam komunitas tersebut. Namun, nyatanya komunitas itu mengajari Ibib hal yang positif, yaitu membantu anak-anak jalanan atau anak yatim. Ibib terkekeh dan langsung menghindar dari lemparan sang ayah. Tanpa buang waktu lagi, ia pun bergegas berlari keluar dari pasar untuk menuju ke parkiran motor. Setelah itu, tak lupa ia mengenakan jaket dengan gambar seekor serigala di bagian punggung dan helm sebelum melajukan motor bebeknya dengan santai. Ibib memarkirkan sepeda motornya di depan markas. Ia meletakkan helm di kaca spion dan turun dari motor serta melangkah masuk ke dalam. Netranya langsung mendapati delapan orang anak buahnya yang tengah bermain catur dan ada pula yang bermain mobile legend. Ia pun tersenyum saat mendapati Bongbong yang tengah fokus pada ponselnya. "Whats's up bro?" sapa Ibib kepada laki-laki berkulit putih itu. "Hei, yo!" Bongbong pun bangkit dan langsung menyambut b****g Ibib dengan menggunakan bokongnya. Kemudian, mereka berdua pun duduk di kursi masing-masing. Ibib langsung menyambar begitu saja minuman Bongbong yang ada di atas meja. Bahkan, hingga sampai dihabiskannya, membuat sang empu pemilik minuman air mineral di hadapannya hanya bisa berdesis kesal. "Apa kau sudah dapat kabar dari Kay, Cebong?" tanya Ibib memulai pembicaraan di antara keduanya. "Aiissh … jangan panggil aku dengan sebutan itu, Bib. Aku tidak suka. Mengerti?" Bongbong pun meninju pelan bahu Ibib karena lantaran tak suka dengan sebutan yang diberikan oleh ketua geng mereka. "Hahaha … baiklah. Baiklah. Galih Saputra alias Bongbong," ejek Ibib yang membuat Bongbong mendesah ringan. Kenapa pula laki-laki itu menyebut nama panjangnya? "Aku belum mendapat kabar dari Kay. Telepon dan pesanku tidak pernah diangkat atau dibalas olehnya," jawab Bongbong. Ibib berdesis. Ia pun menyangga dagu dengan tangan kanan seraya berpikir. "Ke mana anak itu pergi? Kenapa tiba-tiba saja dia menghilang dan menyuruhku untuk menjadi ketua komunitas?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD