Sean marah karena Ana menolak bodyguard yang dia kirimkan.
“Mengatasi satu wanita saja tidak becus.” Membentak Freddy.
Freddy menunduk. “I’am sorry sir.”
Wajah Sean mengeras, sorot mata menggelap, kedua tangan mengepal erat hingga buku-buku jari memutih. “Apakah penolakanmu ini gara-gara laki-laki bernama Nick itu Ana?” Geramnya.
“Sir, Anda harus tahu Miss Ross tidak suka di kawal.”
Menatap tajam Freddy. “Dia itu super model. Kalau tidak di kawal. Kapan saja keselamatannya bisa terancam.”
“Saya minta maaf, Sir. Saya tidak bisa memaksakan kehendak pada, Miss Ross.”
“Siapkan penerbanganku ke Roma siang ini juga.” Perintahnya pada Freddy. Tidak ada yang bisa mengatasi sikap keras kepala Ana. Aku harus turun tangan sendiri. Lanjutnya dalam hati.
“Baik, Sir. Saya permisi.”
“Freddy, tunggu.”
Freddy bergegas memutar tubuh. “Ada lagi yang ingin Anda sampaikan?”
“Apabila Mr. Drawis, atau Mr. Grimess menanyakan keberaan saya. Jangan memberitahu mereka bahwa saya berada di Roma, mengerti?”
Freddy mengangguk-angguk tanda mengerti.
“Pergilah.”
Freddy membungkuk lalu pergi.
--
Fashion show hari ini menjadi malapetaka bagi Ana. Penyebabnya adalah Caitlin, yang mensabotase bagian ujung heels milik Ana. Ana terpeleset dan kaki sebelah kanan cedera.
Luna sedang menatap lekat Ana. “Seharusnya kau langsung turun panggung. Kakimu saja cedera, tapi kau paksa tetap melakukan fashion show.” Menatap Ana tak percaya.” Yerin, juga sudah menawarkan bantuan, tapi kau menolak.” Dasar keras kepala. Lanjutnya dalam hati.
Menoleh pada Luna. Tatapannya sinis. “Terpeleset saja sudah membuatku sangat malu. Apakah aku harus menanggung malu lebih dalam lagi akibat tidak professional dalam bekerja, hah?” Mengembus napas lelah lalu menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa. “Selama menjadi model. Inilah pertama kalinya aku cacat panggung.”
“Professional ok, tapi lihat-” menguncikan tatapanya pada kaki sebelah kanan yang mengembung bagai bola pingpong. “Kakimu cedera dan terlihat-” menatap sendu wajah cantik. “Tak terlihat cantik lagi, Ana.”
“Kau tidak perlu mengucapkannya secara terang-terangan, Luna.” Menolehkan wajahnya ke arah lain. “Memuakkan.”
“Ana, Ana.”
“Diam kau.”
Luna terdiam. Ia sedang mengamati Ana yang mencoba menggerakkan kakinya.
“Auch, sakit sekali.”
“Jangan di gerakkan dulu.” Luna pergi. Setelah beberapa saat ia kembali membawa baskom berisi air hangat juga handuk yang tersampir pada lengan sebelah kanan.
“Apa yang mau kau lakukan?” Ana bertanya dengan sikap penuh antisipasi.
“Kakimu harus di kompres. Jika tidak akan semakin membengkak. Artinya kau tidak bisa lagi berjalan di atas catwalk.” Meraih kaki Ana hendak meletakkannya ke atas pangkuan. Namun, Ana merintih kesakitan.
“Sorry, aku tidak bermaksud menyakitimu.”
“Teori dari mana kaki membengkak apabila di kompres akan mengempes, huh?”
“Dari internet.” Bohong Luna. Ia hanya mengikuti instingnya saja. “Sekarang, selonjorkan kakimu.” Mencelupkan handuk ke dalam air hangat, akan tetapi Ana menolak. “Aku tidak mau kau semakin memperparah kakiku, Luna.” Beranjak dari duduknya dengan berpegangan pada lengan sofa.
“Kau mau ke mana?” Luna bertanya.
“Ke kamar.”
“Ana, kalau kau paksa berjalan dengan menyeret kakimu seperti itu. Kondisi kakimu akan semakin parah.”
Mengabaikan apa pun yang Luna katakan. Ana masuk ke dalam kamar. Tak lupa membanting pintu di belakangnya dengan sangat keras.
Luna menggeleng-gelengkan kepala. “Dasar kepala batu.” Meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. “Sebaiknya, kuhubungi saja dr. James.”
Sial, Luna salah memencet nomor ponsel. Yang dia hubungi bukan dr. James, tapi James rekan model Ana.
“Hello, Luna. Tumben menghubungiku. Ada apa? Apakah Ana merindukanku, tapi dia gengsi sehingga memintamu yang menghubungiku, hm?”
Luna yakin James sedang tersenyum jenaka.
“Sayangnya tidak, James.”
Wajah James berubah sedih. “Kalau begitu untuk apa kau menghubungiku?” Suaranya dingin menggelitik pendengaran Luna.
“Sorry, aku salah nomor. Bye, James.”
“Tunggu, Luna.”
“Ya, ada apa?”
“Kau sedang bersama Ana, kan?”
“Ya, dia sedang di kamarnya.”
“Ada hal penting yang ingin kukatakan padanya. Bisakah kau memberikan ponselmu padanya. Aku janji hanya sebentar.” Yang penting sudah mendengarkan suaranya. Itu saja sudah membuatku merasa sangat bahagia.
“Ana, sedang istirahat. Jika kau ingin berbicara dengannya. Besok saja, ok?”
“Ini penting, Luna.”
“Bye, James.” Luna menghela napas kesal. Ganteng, tapi songong. Gerutunya.
Luna segera menghubungi dr. James, dan memintanya ke apartement Ana sekarang.
James menangkap sesuatu dari suara Luna. “Apakah terjadi sesuatu dengan Ana?”
“Kakinya mengalami cedera saat sedang catwalk.”
Luna tahu James khawatir. Hal itu di perkuat dari suaranya.
“Apakah kau bisa datang sekarang, dr. James? Karena aku tidak tega melihatnya kesakitan. Dia terus menerus menangis.” Bohongnya.
“Ok, sekarang juga aku ke sana.”
“Terima kasih, dr. James.”
“Sampaikan kepada Ana supaya bersabar menunggu.”
Seulas senyum terukir di bibir Luna. “Ok.”
--
Luna sedang menunggu kedatangan dr. James. Ia bersantai di sofa sembari main game. Tiba-tiba terdengar bel apartement.
Dengan segera membuka pintunya. “Dr. James, masu-” kalimatnya menggantung di suguhi lelaki tampan bertubuh tegap sedang menatapnya. “Miss Ross, ada di dalam, kan?”
Luna tergagap, terpesona oleh lelaki di hadapannya. “A-ada.”
Bibir kokoh menyungging senyum lega. “Bisakah Anda mempertemukan saya dengan, Miss Ross?”
“Siapa Anda dan apa tujuan Anda ingin bertemu dengan Ana?”
“Luna, siapa yang datang?” Ana bertanya dari dalam kamar.
Sepasang manik dark brown menyipit. “Suara Miss Ross terdengar kesakitan.” Sorot mata menajam pada Luna. “Apakah Miss Ross sakit?”
“Kakinya terkilir waktu fashion show.”
Lelaki tersebut langsung menerobos masuk menuju kamar Ana. Ana terkesiap. “Kau ... siapa yang mengizinkanmu masuk ke kamarku, hah?” Bentaknya. Ana paling tidak suka kamarnya di masuki pria asing.
“Kenapa kau tidak memberitahu bahwa kakimu terkilir?” Membungkuk lalu merengkuh tubuh Ana. Dalam sekejap tubuh Ana sudah berada dalam gendongan.
“Mr. Benedic, turunkan aku.” Suaranya bergetar. Sungguh bersentuhan dengan Sean menimbulkan debaran kuat. Sama seperti debaran 2 tahun lalu yang ia rasakan pada Harry.
Sean menggendongnya menuju lift. Luna mengejarnya. “Sir, Anda mau membawa Ana ke mana?”
“Ke Rumah Sakit.”
“Tapi saya sudah mengundang, dr. James.”
“Lalu di mana, dr James?”
“Dia sedang dalam perjalanan.”
“Sorry, Miss Luna. Saya tidak bisa menunggu selama itu dan membiarkan Miss Ross kesakitan.”
Pintu lift terbuka sempurna. Sean bergegas masuk. Luna hendak menyusul, akan tetapi terhalang oleh pengguna lain yang masuk dan lift sudah penuh. Otomatis ia tertinggal dan harus menunggu sampai lift tersebut naik kembali.
Banyak pasang mata menatap mereka horor. Ana menggeram kesal.
“Turunkan aku.”
Sean tidak merespon.
Ana mengembus napas berat yang di buang secara perlahan. “Turunkan aku, Mr. Benedic.”
Akibat banyaknya pengguna lift yang berdesak-desakan. Tubuh Ana terdorong hingga menempel erat pada Sean sampai hidungnya bertabrakan dengan d**a bidang. Ia memejamkan matanya rapat. “Aroma parfum ini sama persis seperti aroma parfum Harry.” Gumamnya.
Ting.
Pintu lift terbuka sempurna.
Sean bergegas menuju sedan hitam yang sudah menunggu dengan gagahnya. Sopir membukakan pintu samping. “Silakan, Sir.”
Dengan hati-hati mendudukkan Ana, lalu dia duduk di sebelahnya.
“Antarkan kami ke Rumah Sakit terdekat.” Perintahnya pada sopir.
Berulang kali melirik Ana. sorot matanya menyirat rasa khawatir. Ana tahu itu.