09. Tak Sengaja Berciuman

1388 Words
Saat ini Ana sedang dalam pemeriksaan dan Sean setia menemani. Dia berdiri di sisi ranjang, mengamati wajah Ana yang ketakutan. Sean mendekatkan wajahnya membisikkan kata-kata menenangkan. “Semuanya akan baik-baik saja.” Ana menolehkan wajahnya, beradu tatap dengan sepasang manik dark brown. Kilau hangatnya terasa mendamaikan jiwa. Di saat bersamaan sang dokter mulai memijat kakinya. Ana menjerit kesakitan. Sean memeluknya erat. Tangan kanannya mengusap lembut surai panjang. Kembali memeluk tubuh ramping yang selama ini menyiksanya dalam kerinduan. Uhm, ini terasa mendamaikan jiwa yang terpenjara dalam masa kelam selama 2 tahun lamanya. Manik dark brown memejam rapat menikmati keintiman yang terjalin sampai tidak menyadari bahwa pijatan sudah selesai. Dan suara dehemanlah yang membuatnya terkesiap. Buru-buru melepaskan pelukan. “Sorry.” Lirihnya. Ana menangkap kilatan berbeda di matanya. “Kau membuatku hampir sesak napas.” Sinisnya. Meskipun pada kenyataannya pelukan Sean membuat jiwa yang selama ini kosong kembali menghangat. Ia tidak mau mengakuinya. “Saya sarankan jangan di gerakkan dulu sampai kaki Anda benar-benar pulih.” Saran sang dokter. “Dokter, saya tidak lumpuh. Kaki saya masih bisa di gunakan untuk berjalan. Kalau di diamkan. Kapan bisa kembali normal, hah?” Suaranya meninggi. “Dengarkan saya, Miss Ross. Semakin Anda paksakan berjalan. Hal itu akan berakibat-” “Selam masih bisa saya gerakkan. Saya tidak mau diam.” Menajamkan tatapannya. “Anda harus tahu. Itu membosankan.” Sinisnya. Sean memilih diam. Dia mengamati Ana sembari bersedekap d**a. “Sifat kepala batunya tidak pernah berubah.” Suaranya lirih, akan tetapi Ana mendengarnya. Meskipun ya samar-samar. Kilatan sinis terlempar padanya. “Anda mengatakan sesuatu, Sir?” “Tidak, Miss Ross.” Suaranya melembut. Pun dengan tatapannya. “Mari saya bantu turun dari ranjang.” “Saya bisa sendiri.” Sial, kaki sebelah kanan masih terasa sakit ketika dibuat berjalan. “Auch ... “ rintihnya berulang kali. Sang dokter bergegas menghampir. “Miss Ross, mari saya bantu.” Gerakan sang dokter tertangguhkan oleh tangan kekar. “Biar saya saja yang membantu kekasih saya.” “Kekasih? Apakah kau sudah gila, hah?” Geramnya. Kekehan kecil mengiringi pergerakan bibir kokoh. Ana muak melihatnya. Ingin rasanya menonjoknya sampai babak belur. “Aku melindungimu dari gangguan lelaki lain. Seharusnya kau berterima kasih padaku, bukan menghadiahiku dengan tatapan sinis.” “Aku tidak butuh perlindungan.” Bantah Ana. Sean menghela napas panjang, membimbingnya menuju kursi. Kursi tersebut berada di depan meja sang dokter. “Aku bisa sendiri. Lepaskan tanganmu.” Sayangnya, rengkuhan pada pinggang ramping terasa semakin erat. Akhirnya Ana menyerah dan pasrah. “Duduklah di sini, honey.” Dengan hati-hati membantunya duduk. Ana melotot sampai bola matanya hampir jatuh ke lantai. “Kau sudah menciptakan masalah besar, Mr. Benedic.” “Jaga bola matamu, Miss Ross. Jangan sampai melompat keluar.” Bisiknya di telinga Ana. Kali ini Ana benar-benar kesal. Ingin mengamuk saja rasanya. “Mana resep obatnya? Segera berikan pada saya.” Supaya aku bisa pergi dari sini dan melepaskan diri dari lelaki songong ini. Lanjutnya dalam hati. Sang dokter tersenyum pada Ana. Sebagai sesama lelaki Sean tahu arti dari senyuman tersebut. Dengan sengaja melingkarkan tangannya ke pinggang ramping. Tatapan mata tak lepas dari sang dokter. Jangan menatap kekasihku atau kedua bola matamu jadi jaminannya! ucapnya tanpa bersuara. “Di sini sudah saya tuliskan resep. Silakan tebus obatnya di apotek.” Suaranya bergetar. Jujur dia takut pada Sean. Tatapannya membuat jantungnya serasa berhenti berdetak. Senyum menawan terukir di bibir ranum. “Terima kasih, dokter.” “Sama-sama, Miss Ross.” Sean menggeram. Ingin rasanya membungkam bibir ranum dengan ciuman karena sudah berani tersenyum pada lelaki lain. Tidak mau memberi kesempatan pada sang dokter berlama-lama mengagumi kecantikan Anastasia Ross. Dia segera mengajak Ana pergi. “Ayo, honey.” Melingkarkan tangannya ke pinggang ramping. Ana kesulitan berjalan. Ia harus berpegangan pada dinding sementara Sean masih menebus obat di apotek. Ketika menolehkan wajahnya ke belakang. Betapa terkejutnya mendapati kursi Ana kosong. “Oh My God, Miss Ross, kemana?” Mengarahkan pandangannya ke arah kiri. Ana terlihat berjalan tertatih. Dia menggeleng-gelengkan kepala. “Dasar kepala batu.” “Sir, silakan ambil obat Anda.” Tutur seorang wanita yang berjaga di apotek. Sean mengejar Ana. “Apakah kau ingin kakimu yang cantik itu berubah mengembung, huh?” Suara yang datang dari arah belakang. Ana bergegas menolehkan wajahnya. Seketika beradu tatap dengan sepasang manik dark brown yang menatapnya dingin. Terlihat dari ekspresi di wajahnya menandakan lelaki tersebut sedang marah, tapi Ana masa bodoh. Ia ingin segera sampai di apartement dan membebaskan diri dari Sean Ell Benedic. Ana kembali berjalan. Tiba-tiba merasakan tubuhnya bagai melayang di udara. “Saya bisa jalan sendiri. Turunkan saya, Mr. Benedic.” Mengabaikan protes dari Ana. Langkah tegas terlihat lebar menuju sebuah sedan hitam yang sudah menunggu di halaman lobby. Tiba-tiba ada wartawan menghampiri. “Miss Ross, apa yang terjadi dengan kaki Anda dan apa hubungan Anda dengan laki-laki ini?” Dalam hitungan detik beberapa wartawan mengerubungi tubuh Sean. “Miss Ross, siapa laki-laki ini?” Wartawan berambut ikal menyahut. “Dia adalah, Mr. Benedic, CEO Enstein Group.” Wartawan bermata liar mengajukan pertanyaan. “Apakah kalian berpacaran?” “Sejak kapan kalian berpacaran?” Sahut wartawan lainnya. Di kerubuti para wartawan membuat Sean kesulitan mencapai mobil. Untungnya security dari rumah sakit tersebut mengambil tindakan tegas. Sean mengambil kesempatan tersebut. Dia setengah berlari mencapai badan mobil lalu mendudukkan Ana pada kursi penumpang. “Jalan.” Perintahnya pada sopir. Sedan hitam melaju dengan kecepatan tinggi. Sean menoleh ke belakang, matanya sibuk mengawasi para wartawan yang sedang di usir para security. Ana tahu Sean sedang mengembus napas lega. “Akhirnya ... ” mengalihkan pandangannya pada Ana. Ana menatapnya sinis. Sorot matanya menggeliat amarah. “Kau membuatku dalam masalah.” “Bukankah hal wajar super model sepertimu dikelilingi para wartawan, huh?” Tanyanya tanpa rasa bersalah sedikit pun. “Tapi berita kali ini beda.” “Bedanya di mana?” Matanya menahan mata Ana. Bibir ranum mengetat. “Berita murahan akan segera memenuhi laman gosip dan semua ini di sebabkan olehmu.” Mengunci mata Ana. “Artinya kau tidak pernah di gosipkan dengan lawan jenis, huh?” “Aku gadis normal. Jangan menatapku seperti itu.” Sean mendekatkan wajahnya. “Gadis?” Menyelidik wajah cantik. “Artinya belum ada satu pun benda tumpul yang memasuki mahkotamu itu, hm?” Pandangannya turun ke bawah. “Dasar mesum.” Maki Ana. Sean mengangkat sudut bibirnya. “Menurut penelitianku, tidak ada satu pun laki-laki di Dunia ini yang tidak m***m, Miss Ross.” Membuang pandangannya ke arah jendela. “Dasar songong.” Sean tak mau membuat wanita di sebelahnya ini menunjukkan taringnya lalu mencakarnya dan mencabik-cabik tubuhnya. Oh, no! Itu mengerikan. Dia menggeser duduknya pada pintu. Matanya nampak sibuk pada layar ponsel juga jari jemari yang nampak sibuk mengetikkan sesuatu. Ana melirik sekilas. v tahu itu. “Managermu saja tidak mengenaliku, tapi kau tetap mengenaliku, Miss. Ross. Ini luar biasa.” “Sekali pun kau merubah penampilanmu, mengunduli rambutmu. Mata dan suaramu tidak bisa menipuku.” Kalau begitu kenapa kau tidak bisa mengenaliku sebagai- Sean pun tak mampu melanjutkan kalimat. Di embuskannya napas berat yang di buang secara perlahan. Kepala menyandar pada sandaran kursi, kedua mata memejam rapat. Kerutan di keningnya mempertegas bahwa dia sedang menanggung beban yang sangat berat. Entah apa yang menarik dari seorang Sean. Mata Ana tak bisa lepas darinya. “Apakah ini kebiasaan super model sepertimu, hm?” Membuka mata mengunci mata Ana. Ana malu tertangkap basah sedang mengagumi. Ah, tidak mengagumi. Lebih tepatnya suara, tatapan mata, bahkan ketika sedang memejam sekali pun. Garis tegas pada bibir kokoh mengingatkannya pada seseorang dari masa lalu. Sean mendekatkan wajahnya. Ana panik. “Apa yang mau kau lakukan?” “Ada kotoran di rambutmu.” Tiba-tiba mobil hilang kendali. Hal itu mengakibatkan tubuh Sean terdorong ke depan dan mencium bibir Ana. “Sorry.” Lirihnya lalu beranjak dari tubuh Ana. Setelah ciuman tersebut keduanya nampak canggung. Bersentuhan dengan bibir Sean mengingatkan Ana pada mantan kekasihnya, Harry. Berulang kali, ia memegangi bibirnya. Tidak mau tertangkap basah oleh Sean. Ia membuang pandangannya ke sisi jendela. Sean melirik ke arahnya. “Saya minta maaf atas-” “Tidak perlu di perpanjang, Mr. Benedic.” Menghunjamnya dengan tatapan tajam. “Kejadian ini biarlah menjadi rahasia kita.” Kau menginginkan ciuman tanpa sengaja ini menjadi rahasia kita. Sementara aku saja ingin mengumumkan pada Dunia bahwa Sean Ell Benedic kembali mencium Anastasia Ross, sama seperti dua tahun lalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD