Malam ini, Ana tidak bisa tidur. Matanya enggan memejam, pikirannya melayang memikirkan Sean.
“Apakah dia masih di depan apartement-ku?” Tanyanya pada diri sendiri.
Seharusnya ia tidak peduli pada lelaki misterius yang baru di kenalnya dalam beberapa hari terakhir semenjak mendapuknya menjadi brand ambassador Sapphire & iRhone. Nyatanya, yang ia lakukan sebaliknya.
Jalannya saja tertatih, akan tetapi tetap memaksa menuju pintu utama. “Shittt, kaki ini benar-benar menyulitkanku.” Geramnya karena tidak bisa berjalan cepat.
Betapa terkejutnya ketika mengintip di balik interkom. Seseorang berdiri dengan menyandarkan tubuhnya ke dinding. Meskipun tidak begitu jelas. Keyakinannya mengarah pada Sean.
“Dasar keras kepala.” Gerutunya beriringan dengan langkah kaki menuju kamar.
Masa bodoh dengan Sean yang keras kepala. Ana membaringkan tubuhnya di kasur empuk. Meski begitu sulit baginya menggapai alam mimpi.
Keberadaan Sean di apartement nya membuatnya gelisah. Namun, juga ada rasa damai menyapa. Bahkan jiwa yang lama kosong pun kembali menghangat.
Ana sendiri di buat bingung dengan perasaan tak menentu setelah pertemuannya dengan lelaki misterius Sean Ell Benedic.
--
Sapuan hangat sang mentari terasa menyilaukan memaksa sepasang manik biru bening terbuka sempurna.
Di saat bersamaan terdengar suara bel apartement. “Lord, siapa yang datang sepagi ini?” Di iringi embusan napas lelah.
Tanpa sengaja menangkap jarum jam yang di letakkan di atas nakas. Dengan segera menegakkan duduknya. “Astaga sudah pukul 07.00.”
Ada panggilan masuk dari Luna. “Hello.” Khas suara bangun tidur.
“Pasti kau baru bangun. Iya, kan?”
“Hm, ada apa menghubungiku sepagi ini?”
“Kakiku kesemutan, Ana. Cepat buka apartement-mu.”
Ana terkesiap. “Memangnya kau di mana?”
“Pertanyaan konyol. Tentu saja di depan apartement-mu.” Suaranya meninggi.
Dengan segera melenggang menuju pintu utama lalu membukanya. “Masuklah.” Memiringkan tubuhnya memberi ruang bagi Luna memasuki aparetement nya.
Ekor mata melirik ke luar. “Di mana dia?” Gumamnya.
“Oh iya, Ana. Sewaktu aku tiba di sini, ada lelaki tampan berdiri di depan apartement-mu. Penampilannya cukup misterius dan-”
“Apakah dia masih ada di depan?” Ana pura-pura bertanya.
“Sewaktu aku datang, dia langsung pergi.” Menyelidik wajah Ana. Ana tak suka di tatap seperti itu sehingga balik menghunjam Luna dengan tatapan peringatan.
“Dengarkan aku, Ana. Penampilan lelaki tersebut sangat misterius. Dia menyembunyikan wajahnya di balik masker, kaca hitam dan topi. Saranku pakai saja jasa bodyguard.”
Membuang pandangannya ke arah lain. “Omong kosong.”
“Jangan mempertaruhkan keselamatanmu demi mempertahankan egomu yang setinggi langit itu.” Maki Luna.
Situasi seperti ini memuakkan bagi Ana. “Apa tujuanmu datang ke sini? Cepat katakan.”
“Oh My God, Ana, tentu saja mengunjungimu.” Melirik pada kaki sebelah kanan. “Bagaimana kondisi kakimu?”
“Sudah membaik.”
Tiba-tiba teringat dengan kejadian tadi malam. Wajahnya berubah serius. “Ana, siapa lelaki yang membawamu pergi dan semalam dia membawamu ke mana?”
Pertanyaan juga tatapan menuntut membuatnya merasa tak nyaman. “Dia orang suruhan, Luke.”
“Berarti laki-laki yang aku jumpai di depan tadi juga orang yang sama? Anak buah, Mr. Luke? Tetapi, kenapa penampilannya misterius sekali?”
Sial, aku salah bicara. Gerutu Ana.
“Ana, jangan diam saja. Katakan sesuatu.”
“Mengatakan apa?”
“Tebakanku benar, kan?”
“Berpikirlah sesukamu, Luna.” Sinisnya lalu beranjak dari duduknya hendak ke kamar. Sial, langkah kaki terhenti oleh suara bel apartement.
“Shittt, siapa lagi yang datang?”
“Biar aku saja.”
“Tidak perlu.”
“Tapi kaki-” kalimatnya terjeda karena Ana sudah membuka pintunya.
Luna tak tertarik mengetahui siapa tamu tersebut. Ia sibuk memanjakan mata pada layar ponsel lalu menggesernya ke atas dan ke bawah. Akan tetapi, ketegangan yang terjadi memaksanya menyusul Ana.
“Kau lagi, kau lagi. Kenapa kau datang lagi ke sini, hah?” Bentak Ana.
“Bukankah sudah kukatakan bahwa aku bodyguard-mu. Jadi aku akan mengawalmu selama 24 jam.”
“Aku, Anastasia Ross, tidak sudi di kawal olehmu, Mr. Benedic.”
Sean menangkap kedatangan Luna. Dia mengakhiri perdebatannya dengan Ana, dan bersikap hormat. “Ini menu sarapan Anda, Miss Ross.”
“Ana, siapa yang datang?” Luna bertanya dari arah belakang.
“Pengantar makanan.” Jawab Ana ketus lalu membanting keras pintunya.
“Kapan kau memesannya?”
“Sebelum kau datang. Aku mau mandi dulu. Kalau kau lapar, makan saja ini.” Menyerahkan bungkusan berlabel restaurant mewah.
“Lalu kau?”
“Makanan dari restaurant ini membuat berat badanku naik. Aku tidak mau memakannya.”
Mengernyit. “Kalau begitu untuk apa memesannya?”
“Untukmu.”
Ana pergi ke kamarnya.
Luna merasa ada yang aneh, akan tetapi masa bodoh. Ia sangat lapar dan menu sarapan dari restaurant mewah ini tidak boleh diabaikan begitu saja.
“Lord, ini enak sekali.” Ketika menyantap maritozzi ditemani segelas latte macchhiato.
Maritozzi [roti berukuran besar namun ringan, di dalamnya di isi dengan krim kocok.]
Latte macchiato [s**u panas di campur dengan espresso.]
Ana berdiri di belakang Luna memperhatikannya menyantap menu pavoritnya. Entah sudah berapa banyak air liur menetes. Berulang kali, menelan ludahnya.
“Dari mana dia tahu maritozzi dan latte macchhiato menu pavoritku? Apakah ini suatu kebetulan?” Gumamnya lalu ingatannya di putar pada makan malam bersama Luke, Andrew, Yerin, dan Celine. Saat itu Sean juga tahu menu pavoritnya yaitu cacio dan pepe.
Tidak mau terus menerus di hantui berbagai pertanyaan. Ana duduk di sofa lalu berselancar pada laman web mencari informasi mengenai dirinya sendiri. “Apakah makanan pavoritku juga di muat di profil? Ternyata tidak ada.” Memutar bola matanya. “Berarti ini bukan suatu kebetulan. Kalau begitu siapa, Mr. Benedic? Karena yang tahu mengenai hal-hal seperti ini hanya Harry, dan Mom.”
Dihadapkan pada kenyataan bahwa seorang Sean Ell Benedic mengetahui secuil tentang dirinya. Bulu romanya meremang. “Aku harus berhati-hati dengannya. Aku yakin di balik sikapnya yang dingin dan misterius menyimpan banyak rahasia.”
“Rahasia apa?”
Menolehkan wajahnya lalu tersenyum pada Luna. “Apakah kau sudah menyelesaikan sarapanmu?”
Luna mengeluh. “Maritozzi nya berukuran besar. Seharusnya bisa untuk kita berdua.”
“Itu untukmu Luna, habiskan saja.”
“Sudah masuk ke sini sampai aku kekenyangan.” Mengusap-usap perutnya. “Sekarang, aku mengantuk.” Membanting tubuhnya ke sofa.
“Tidur saja di kamar tamu.”
Ingin rasanya tidur sebentar, akan tetapi Julian Crack selaku CEO Crack Agency Of Roma, tempat Ana bernaung sedang menunggu kedatangannya.
“Oh My God, mataku lengket sekali.” Memijat kedua alis di antara pangkal hidung.”
“Kamar tamu tidak aku kunci. Tidurlah sebentar supaya kantukmu hilang.”
“Tidak, tidak. Pagi ini, aku ada janji dengan, Mr. Julian.”
“Dia tahu aku sedang sakit. Seharusnya tidak mengadakan pertemuan.”
“Dia itu CEO, Ana. Dia bebas melakukan apa pun yang dia suka. Kau tidak bisa mengendalikannya.”
“Untuk itulah aku tidak suka padanya.”
“Ana, Ana. Setiap laki-laki tidak kau sukai. Bahkan CEO sekeren Luke saja kau abaikan.” Melirik tajam Ana. “Kau tidak berbelok arah, kan?”
“Aku normal, Luna.” Suaranya sinis.
“Ok, ok. Kalau begitu beritahu aku. Laki-laki seperti apa yang bisa menarik perhatianmu, hum?” Mengangkat kedua alisnya. Bagi Ana, itu menyebalkan.
Anastasia Ross, tidak sudi jatuh cinta apalagi pada seorang CEO. Mereka itu tidak berhati nurani, berbelas kasih dan sangat kejam hingga tega meninggalkanku di pesta pertunangan. Dan sekarang kau bertanya laki-laki seperti apa yang aku suka, hah? Tidak ada satu pun laki-laki yang aku suka di Dunia ini karena hatiku di penuhi dengan kebencian.
Luna yakin Ana sedang melamun. Ia menjentikkan jemari ke depan wajah. Refleks Ana terkesiap. “Kau mengagetkanku saja.” Kesalnya.
“Salahmu sendiri melamun di pagi hari.” Meraih tas kesayangan yang di letakkan di sofa. “Sebaiknya aku berangkat sekarang saja.”
Mencekal lengan Luna. Luna menolehkan wajahnya. “Apa?”
“Hal penting apa yang ingin dia bahas denganmu?”
“Aku tidak tahu. Aku saja belum bertemu dengannya.”
Ana menangkap kilatan tak nyaman menggeliat dari mata Luna. “Rahasia apa yang kau sembunyikan dariku?”
“Jangan asal menuduh.”
Mengukir senyum sinis. “Apakah Julian mengatakan sesuatu yang buruk?”
“Tidak, hanya saja aku merasa sedikit was-was.”
“Mengenai?”
“Mr. Enrico Boselli, CEO dari Boselli Company ingin mengadakan meeting denganmu.”
Ana mengernyit. “Meeting?”
“Ya, dari berita yang kudapatkan. Mr. Boselli, ingin menjadikanmu brand ambassador dari Salvatore.”
“Begitu ya?” Memutar bola matanya jengah. “Beritahu dia bahwa Anastasia Ross tidak bersedia menghadiri meeting.”
“Kenapa kau tidak seantusias seperti biasanya? Ini aneh.”
“Salvatore bukan merk besar seperti yang dimiliki Enstein Group juga saingan terbesarnya Aeli. Aku yakin Salvatore tidak berani memberi komisi bernilai fantastis.”
“Belajarlah dari senior mu. Mereka mengambil setiap kesempatan, tidak peduli merk tersebut besar atau kecil. Di tangan mereka merk yang tadinya tidak terkenal mengalami perkembangan luar biasa dan terkenal di seluruh Dunia. Aku ingin kau melakukan hal yang sama supaya image mu tidak buruk.”
“Kau ingin aku bekerja keras untuk merk kecil, hah?” Bentak Ana. Matanya berkilat-kilat emosi.
“Tanpa kerja keras, kau tidak akan sampai pada puncak karir sebagai super model.” Melirik jam di pergelangan tangan. “Aku harus pergi. Pikirkan kembali perkataanku dan jangan biarkan kesempatan tersebut jatuh di tangan Caitlin. Karena Mr. Boselli rela mengeluarkan dana besar demi kesuksesan Salvatore.”
“Kapan pertemuan meeting dengan, Mr. Boselli?”
Pertanyaan Ana menghentikan pergerakan Luna membuka handle pintu. Ia menoleh pada pemilik manik seindah lautan biru. “Akan segera aku kabari. Setelah meeting dengan Mr. Julian selesai. Bye, Ana.”
Ketika Luna membuka pintu. Sean sudah berdiri di hadapannya. Refleks ia terkejut. “Siapa kau?”
“Miss Ross, ada di dalam, kan?” Tanyanya sopan.
“Katakan dulu siapa kau dan apa tujuanmu bertemu Ana?”
“Perkenalkan saya Ell, bodyguard nya, Miss Ross.” Entah apa yang Sean rencanakan hingga menyembunyikan identitasnya dari Luna selaku manager Ana.
“Tunggu di sini, sebentar.”
Sean mengangguk.
Ana terkesiap ketika Luna kembali menemuinya. Bibirnya baru saja terbuka, akan tetapi terpatahkan oleh informasi yang menggelitik pendengaran.
“Aku tidak membuat janji dengan siapa pun. Memangnya siapa yang ingin bertemu denganku?”
“Mr. Ell, bodyguard-mu.”
Ana yakin yang Luna maksud adalah Sean. “Suruh saja dia pergi.”
“Miss Ross, ada hal penting yang ingin saya bahas dengan Anda. Apakah Anda memiliki sedikit waktu bersama saya?”
Kelancangan Sean yang menerobos masuk. Ana murka.
Plakkk.
Itulah hadiah akibat kelancangannya.
Luna membungkam mulutnya dengan telapak tangan. Sementara Sean mengusap pipi bekas tamparan dengan tatapan tak lepas dari mata biru bening itu.
Hari ini kau boleh menamparku Ana. Besok-besok bersiaplah menggantinya dengan ciuman panas.