Chapter 3

2170 Words
"Apakah mencintai seseorang selalu semenyakitkan ini?" Ya, pikirnya. Tapi Tadashi tidak bisa menyuarakan jawaban itu. Lima tahun lamanya, mengetahui gadis yang dicintainya menjalin hubungan dengan orang lain memang begitu menyakitkan. Namun entah bagaimana, ia selalu bisa menemukan cara untuk menyembuh dengan sendirinya. Dan mungkin salah satunya adalah, ketika gadis itu kini bicara dan memandangnya seperti ini. Bahwa hanya dengan kehadiran Yoon mampu membuat ia melupakan rasa sakitnya dan menyembuh. Bahwa secara utuh, seorang Tadashi Hamada, tidak bisa mengabaikan gadis itu. Tadashi mengerti, bahkan menyetujui semua hal yang barusan Yoon katakan, karena ia sendiri juga begitu. Ia mengerti bagaimana sulitnya meninggalkan seseorang yang telah menjadi duniamu. Tadashi sendiri tahu benar betapa menyakitkannya menyaksikan Yoon bersama Ben. Dan meski ia tahu dan selalu merasakan sakit itu. Ia tetap setuju bahwa berpisah dengannya jauh lebih menyakitkan. Juga kenyataan berpisah dengan Yoon adalah hal yang paling ia takutkan di dunia. Bagi Tadashi, meski tak bisa memiliki gadis itu lebih dari seorang teman, setidaknya ia masih bisa terus bersamanya, menemaninya di saat-saat seperti ini. Walau ia sendiri mengaku dan merasa bersalah karena tak merasa cukup dengan hal itu. Ia tetap ingin melihat Yoon tersenyum dan menatapnya dengan cara yang tak pernah berubah. Meski terkadang, sekali saja dalam hidupnya. Ia ingin menjadi egois. Berharap Yoon tak lagi menganggapnya hanya sebagai teman. Terlebih bukan tanpa alasan ia benci pada Ben mengingat sudah berapa banyak laki-laki itu membuat Yoon menangis. Yoon yang selalu ia jaga dan sebisa mungkin ia bahagiakan, justru menangis karena laki-laki itu. Keputusan. Tadashi menjatuhkan pandangan. Teringat akan pertanyaannya sendiri, yang semata-mata karena keegoisan diri dengan harapan mengakhiri hubungannya dengan Ben lah yang ia dapatkan sebagai jawaban. Seketika itu Tadashi merasa bersalah. Ia tahu benar betapa Yoon mencintai laki-laki itu. Ia akui ia memang begitu egois mengharapkan hal itu demi keinginannya sendiri. Tetapi di lain sisi, ia juga tidak suka melihat Yoon terus dibuat menangis dan bersedih sepanjang waktu. Tak tahukah Ben betapa berharganya senyum gadis itu untuknya? Tadashi menghela napas lantas mengalihkan pandangan pada Yoon yang masih menangis. "Ya, terkadang memang semenyakitkan itu." Yoon tak bereaksi dengan jawaban Tadashi, entah karena Yoon mungkin tidak mendengarnya, karena Tadashi sendiri tak yakin suaranya bisa didengar dengan kekuatan selemah itu. Atau mungkin juga, sebenarnya ia bahkan tidak ingin memberinya jawaban. Pagi ini. Ia melihat Yoon tidur di sofanya. Seketika itu juga ia merasa lega. Jelas Yoon tak akan tiba-tiba pergi seperti yang ia takutkan. Setidaknya tidak hari ini. Dan pada saat itu juga, Tadashi berharap bisa menghabiskan waktu yang menyenangkan bersamanya. Terlebih saat ia pulang dan Yoon masih ada di sini. Meski akhirnya, entah sudah yang keberapa kali, kebahagiaan gadis itu dirusak lagi. Tadashi bergeming. Memandang menerawang melewati tubuh Yoon. Mungkin. Ia tak akan pernah memaafkan Benedict Carl. *** "Bunga matahari?" Yoon mengangkat wajah dari kertas dalam genggamannya. Tadashi mengangguk. Yoon mengerucutkan bibir, lalu mengembalikan pandangan pada gambar bunga matahari itu. Yah, kemampuan menggambar Tadashi memang hebat, tetapi kenapa bunga matahari yang identik dengan keceriaan justru digambar dengan kesan horor begini. Ia memiringkan kepala ke satu sisi, berpikir sejenak. Mungkin semua laki-laki di dunia memang tidak bisa menjaga meja kerjanya tetap rapi. Sejujurnya, sejak awal Yoon tidak tahan melihat meja kerja Tadashi ini. Jadi kini ia memutuskan untuk membereskan semua kekacauan itu setelah menghabiskan waktu yang cukup lama untuk menangis pagi ini. Yoon tersipu mengingat hal itu. Ia merasa bodoh. Jauh-jauh bertemu dengan Tadashi tapi tetap membebaninya dengan kesedihan. Rasanya tidak cukup adil. Meski selama tinggal di New York Tadashi nyaris tak pernah menghubunginya, bahkan jarang sekali menjawab telepon dari Yoon, bagaimana pun ia tetap menjadi salah satu orang paling berharga yang ia miliki. Ngomong-ngomong. Yoon berbalik dan menatap Tadashi sambil meyipitkan mata. Ia selalu bersikap sok sibuk tapi Yoon yakin Tadashi tidak memiliki pacar. Manusia yang satu ini memang terlalu dingin, kira-kira berapa banyak kesempatan yang sudah ia lewatkan dengan gadis-gadis cantik di kota ini. Gawat! Sahabatnya yang paling berharga di dunia bisa terancam hidup sendirian selamanya! "Tada-" "Apa?" Bukan hal baru Tadashi langsung mencurigainya begitu. Tetapi Yoon selalu memiliki reaksi yang sama, memasang wajah cemberut dengan bibir mengerucut. "Tadashi, aku tahu kau pasti tidak memiliki pacar, jadi kenapa selama ini kau jarang sekali menjawab telepon dariku?" Tadashi melipat kedua tangannya di d**a. "Kau tak ingat semalam berjanji tidak akan membahas perihal pacar padaku?" Yoon mendengus. "Kau terlihat seperti pemilik rumah yang akan mengusir penyewanya karena tidak sanggup membayar." Tadashi bergeming. Yoon mengerti tatapan Tadashi bisa diartikan sebagai jawaban ya. "Kau juga berjanji tidak akan menyentuh barang-barangku." Yoon mendecak. Lantas mengembalikan kertas dalam genggamannya dengan terpaksa ke meja kerja Tadashi. "Baiklah, aku akan membereskan ini." "Tidak, kau tak perlu lakukan itu, aku bisa-" "Ish, bisakah kau diam saja dan biarkan aku bekerja. Kau ini galak sekali." Tadashi sontak menutup mulut. "Kau tak sadar lebih galak dariku," ia mengambil sebuah buku sketsa dan laptopnya dari meja. Kemudian menyingkir ke sofa tempat Yoon tidur semalam. "Ada yang harus kukerjakan, lakukan sesukamu." Masih dengan wajah cemberut Yoon mengumpulkan kertas-kertas yang berserakan di meja. Tadashi memang dianugerahi tangan dewa. Semua gambarnya luar biasa. Tapi sikap anak itu menyebalkan sekali. Selesai mengumpulkan semua kertas itu Yoon membereskan beberapa buku sketsa, berbagai macam jenis pensil dan benda-benda lain lantas meletakkan di tempat seharusnya mereka berada. "Di mana aku bisa menyimpan semua gambar ini?" Ia menunjuk semua kertas yang sudah ia kumpulkan. "Buang saja, lagipula aku memang akan membuangnya nanti," sahut Tadashi acuh, begitu fokus pada layar laptop. Yoon melongo. Semua maha karya ini? Dibuang? "Kau gila," desisnya. Yoon berjalan memutar menuju koper. Mencari sesuatu untuk mengikat kertas-kertas itu menjadi satu. Tadashi tak bergeming. Hanya sesekali meliriknya lewat ujung mata. Ia menemukan sebuah pita dari salah satu gaunnya. Yoon mengambil itu dan mengikat semua kertas yang terkumpul menjadi satu, terakhir menaruhnya dalam ruang kosong di sudut meja. Ia tahu Tadashi memperhatikan, karenanya ia berseru. "Jika kau membuangnya aku akan memenggalmu. Aku akan membawa semua itu saat pulang ke Seoul nanti." Tadashi mengernyit. "Kapan kau akan pulang?" Yoon terkesiap dramatis. "Sebegitu inginnya kau aku pergi dari sini." "Memangnya kau benar-benar akan membawa semua itu? Kenapa?" "Tentu saja, aku tak pernah main-main dengan ucapanku." Tadashi tersenyum meremehkan. Yoon memberengut lagi. "Kau tahu, aku tidak mengerti kenapa kau akan membuangnya. Menurutku gambar-gambar itu bagus. Meski beberapa terkesan horor." "Kau tahu, semuanya menyiratkan kesedihan." "Eh?" Yoon melongo sesaat. "Tentu saja, aku tahu itu!" Ia merasa agak bodoh. Tapi... Kesedihan? "Kenapa kau sedih?" Kali ini Yoon mendudukan diri di hadapan Tadashi. Ia duduk di lantai beralaskan karpet bulu yang lembut, terhalang meja dan laptop membuat Tadashi mesti menunduk untuk menatapnya. "Aku tidak bersedih." Yoon seribu persen yakin jawaban yang sebenarnya adalah kebalikan dari itu. "Kenapa?" Tadashi menghela napas samar. "Aku menggambar semua itu di waktu senggang, jadi tidak ada artinya." "Otak nona Yoon yang tajam tidak bisa dibohongi. Kau sendiri yang mengatakan semua gambarnya menyiratkan kesedihan," ia memandang Tadashi lurus-lurus. Tepat di mata hijaunya yang indah itu. "Kapan kau akan pergi dari apartemenku?" "Ish," Yoon mendesis sebal. "Jangan mengalihkan perhatian!" "Aku tidak-" "Sebagai temanmu yang super baik ini tentu aku peduli jika sesuatu terjadi padamu." Hening sesaat. "Jadi apa tujuanmu yang sebenarnya datang ke sini?" "Tadashi..." Yoon mulai merengek. Tadashi tersenyum samar. "Terkadang, seseorang bisa menulis puisi jatuh cinta tanpa merasakan jatuh cinta." Yoon terdiam. "Mengerti?" "Tidak juga," Yoon menggelengkan kepala dan mengalihkan pandangan. Menumpu dagunya dengan sebelah tangan dan memainkan vas bunga kaca di meja itu. Yah, sebenarnya, bukan tidak mengerti tapi tidak mau mengerti. Entah kenapa perumpamaan Tadashi terdengar tak menyenangkan dan membuatnya berpikir negatif. Lagi-lagi Ben, kan? Cih. "Kau tahu, Tadashi. Jika kau benar-benar merasa sedih kau bisa menceritakannya padaku," kata Yoon sungguh-sungguh. "Tentu." Yoon mendecak. Bahkan ia tak menanggapinya dengan serius. "Ngomong-ngomong tujuanku datang itu untuk menenangkan diri." "Kau selalu memilih keputusan yang salah." "Kau ini tidak bisa membuatku tidak kesal, ya." Tadashi tertawa kecil, tapi masih terfokus pada laptopnya. "Dengarkan, aku serius sekarang." "Aku juga. Tempat ini bukan tempat yang cocok untuk menenangkan diri kurasa," senyum Tadashi melebar. Entah apa yang membuatnya merasa hal itu lucu untuk ditertawakan. "Baiklah, aku akan membuat bucket list," Yoon bangkit menuju meja kerja Tadashi. Mengambil sebuah buku sketsa kecil dan pulpen. Baru saja ia memutuskan untuk mengabaikan Tadashi. Kemudian ia menarik kursi dan duduk. Memainkan pulpen dengan jari-jarinya sambil berpikir. "Tadashi, kau tahu tempat-tempat menyenangkan untuk dikunjungi?" "Maksudmu untuk menenangkan diri?" Ia tertawa lagi. "Ah, Tadashi berhentilah atau aku tendang wajahmu." Tadashi mengangguk hikmat, masih tersenyum. "Brooklyn Bridge, di malam hari, bagaimana pendapatmu?" Yoon memutar kepala dan menyipitkan mata. "Kau bercanda lagi, kan?" "Tidak, aku serius Nona Yoon yang berotak tajam." "Baiklah," Yoon bersiap menulis sesuatu di buku itu. "Kau harus mentraktirku makan steak paling enak di New York karna sudah membuatku kesal. Yap, aku sudah selesai menulisnya, ini valid," ia menunjukan buku itu pada Tadashi. "Aku tak pernah menyetujuinya. Lagipula steak paling enak itu adalah steak masakanku, kau bahkan tak bisa membantahnya." "Nyenyenye," Yoon berbalik lagi. "Lalu selanjutnya..." "Tunggu, aku serius. Berjalan kaki saat malam hari di Brooklyn Bridge memang menyenangkan, asal tidak dilakukan setelah delapan jam perjalanan dengan pesawat." Yoon memutar otak sejenak. "Atau kau ingin menggunakan sepeda? Aku bisa saja memboncengmu." "Eh?" Yoon berbalik hingga mata mereka langsung bertemu. "Apa?" Wajah Tadashi seketika berubah datar lagi. "Sepertinya aku setuju," lantas ia menuliskan ide itu. Tadashi berhenti menutup laptopnya dan menghampiri Yoon. "Kau sungguh-sungguh membuat daftar hal-hal yang ingin kau lakukan di sini?" Yoon mengangguk semangat. "Kalau begitu kau akan menghabiskan waktu cukup lama di sini?" Tanpa mengalihkan pandangan dari buku dan kegiatannya menulis Yoon mengangguk lagi. "Tenang saja, sebenarnya Ben sudah menyiapkan apartemen untuk kami tinggali di Manhattan." Tubuh Tadashi membeku. Setelah keheningan yang cukup panjang barulah Tadashi bisa menguasi dirinya lagi. "Jadi dia akan datang?" "Mmm," Yoon mengangguk. Terlihat begitu sibuk menulis. "Oh, ya, Tadashi. Tempat mana yang sering kau kunjungi di sini?" Tadashi berbalik dan kembali duduk di sofa. "Kau akan mengunjungi tempat-tempat itu bersamanya?" Yoon mengernyit seolah itu pertanyaan yang aneh. Dan Tadashi sadar ia tidak seharusnya begitu. Memang apa yang ia harapkan? Sejak awal kedatangan Yoon memang bukan untuk dirinya. "Aku membuat bucket list ini untukmu." "Eh?" Tadashi memutar kepala cepat menangkap mata sipit Yoon yang membulat. Sejauh yang ia tahu, selama delapan tahun terakhir gadis itu selalu jujur dan bicara apa adanya. Kalau pun berbohong Tadashi akan langsung tahu. Yoon mengedikan bahu. "Yah, tidak sepenuhnya untukmu, sih. Dalam bucket list ini ada banyak hal yang harus kau lakukan untukku, mentraktir steak paling enak, mengantar dan menemaniku mengunjungi Central Park. Oh, ada banyak tempat yang ingin kukunjungi sebenarnya," jelasnya sambil memeriksa buku sketsa Tadashi di tangannya. Senyum Tadashi mengembang. "Katakan saja kau ingin menjadikanku sebagai sopir pribadimu." Yoon tersenyum simpul. "Seperti yang kau lihat, aku sangat sibuk dengan pekerjaanku." Yoon baru akan membuka mulut saat Tadashi mengangkat sebelah tangan. Menahannya bicara. "Tapi kurasa aku bisa mengaturnya. Berterima kasihlah pada Tuan Tadashi dan jadi anak baik." Yoon tersenyum penuh arti. Mendadak perasaan Tadashi jadi tidak enak. "Jangan lakukan hal aneh Yoon, aku memeringatkanmu." Yoon mengangguk, masih dengan senyuman itu. Mendadak suara dering ponsel memecah momen mengerikan itu. Yoon bangkit dan meraih ponselnya di meja. Dalam sesaat raut wajahnya menunjukkan berbagai macam ekspresi. Tadashi tahu, pasti Ben. "Sebentar." Yoon berjalan cepat menuju balkon. "Sebegitu sibuknya, kah?" Tadashi bergeming. Ia tidak bermaksud menguping. Tapi dalam apartemen kecil ini ia bisa mendengar semuanya. Dalam suara Yoon itu, Tadashi bisa menangkap kesedihan yang tertahan, juga amarah. "Aku mengerti," suara Yoon melemah. Menahan tangis. "Tapi aku sudah sampai sejak semalam." Tadashi menghela napas tanpa suara. Bertanya-tanya haruskah ia melakukan sesuatu? Sesuatu agar Yoon tidak mengira ia sedang menguping. Mungkin saja Yoon tidak ingin didengar ketika bertengkar langsung dengan Ben. "Ini memang rencanaku, sepenuhnya keputusanku sendiri. Aku tidak-" Tadashi menoleh, memandang punggung Yoon sekilas. Lantas bangkit dan memindahkan laptopnya di meja kerja. Ia mulai khawatir. "Aku tidak menuntut apa pun, Ben. Tapi setidaknya bisakah kau menghargaiku sedikit?" Yoon menekan suaranya dibagian menghargai. Pasti rasanya sakit sekali. Tadashi kembali duduk di sofa, mendongak memandang langit-langit. "Demi Tuhan, aku tahu, aku mengerti. Tapi kau tidak masuk akal." Akhirnya Yoon mengeluarkan amarahnya. Suaranya mulai bergetar. Tadashi tahu benar Yoon akan mulai menangis. Ia tipe orang yang akan langsung menangis saat marah. Hening begitu panjang. Mungkin Ben sudah memutus telepon. Ia memutar kepala sedikit memastikan keadaan Yoon. Gadis itu menunduk menatap layar ponsel. Tadashi tahu ia tengah menangis. Sebaiknya ia memberi Yoon waktu untuk sendiri dulu. Lima belas menit berlalu Yoon masih diam saja. Tadashi memutuskan untuk membuat cokelat hangat. Ia rasa itu cukup menenangkan. Begitu selesai dan akan memberikannya pada Yoon. Tiba-tiba Yoon menempelkan ponselnya ke telinga. Meski suaranya lemah Tadashi masih bisa mendengarnya. Tadashi merasa ini bukan pertama kalinya pertengkaran mereka berakhir dengan permintaan maaf dari Yoon. Tadashi jadi bertanya-tanya apa yang sudah Ben katakan. Tidakkah ia menyadari hubungan mereka mungkin sudah masuk ke dalam toxic relationship atau semacamnya. Yah, sebelum Yoon menyadari ia berdiri di belakangnya, Tadashi segera menyingkir dan duduk di sofa. Ia akan menunggu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD