Chapter 2

1463 Words
Ia merasa sangat senang ketika melihat Tadashi Hamada. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir bertemu dengannya di Seoul, lebih dari setahun lalu. Laki-laki itu tak banyak berubah kecuali bertambah tinggi. Secara fisik Tadashi sama sekali tak mirip orang asia. Ia keturunan Jepang dan New York. Ia juga masih menyebalkan. Untuk sesaat Yoon menyadari kesedihannya terlupakan. Memandang mata hijau Tadashi yang bersinar cerah membuatnya merasa lebih baik. Dan secara keseluruhan kehadiran laki-laki itu sungguh membuatnya merasa terselamatkan. Ia tak akan mati kelaparan tentu saja. Yoon juga baru menyadari kenapa ia tak kepikiran sama sekali untuk meminta bantuan pada Tadashi. Yah, sejauh yang ia ingat juga, laki-laki itu selalu sibuk dengan pekerjaannya, ia bahkan nyaris tak pernah menjawab telepon darinya. Meski mengatakan tak ingin Yoon menginap di apartemennya. Kenyataannya sudah ada bantal dan selimut di sofa, juga steak enak yang tinggal dipanaskan. Tentu Tadashi tahu itu adalah makanan favorit Yoon. Lucu jika Tadashi menyebut semua itu kebetulan. Yang Yoon tahu Tadashi sengaja menyiapkan segalanya untuk dirinya dan ia sama sekali tidak keberatan. Semalaman ia bisa tidur nyenyak dengan perasaan cukup menyenangkan. Meski esok paginya ia kembali pada kenyataan betapa ia merasa sendirian. Tadashi sudah pergi ketika ia bangun. Dan pesan balasan yang serasa mulai membunuhnya belum muncul. Hanya sandwich buatan Tadashi pagi itu yang membuat ia merasa lebih baik dan sedikit bersemangat. Setelahnya, Yoon benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia mondar-mandir dalam apartemen kecil itu. Berusaha mengalihkan perhatiannya dari ponsel. Berusaha melakukan hal lain selain menunggu pesan balasan. Ia duduk di kursi piano, menyentuh beberapa tuts tanpa tahu cara memainkan benda itu. Membayangkan Tadashi duduk di sini, bermain piano sambil menyanyikan sebuah lagu. Namun ia masih gelisah. Lantas Yoon bangkit dan membuka pintu kaca geser menuju balkon kecil yang menghadap West River. Menerka-nerka di mana apartemennya berada jauh di seberang. Mungkin nanti ia bisa memperhatikan Tadashi dari sana, walau terdengar mustahil tentu saja. Yoon menunduk dan menyadari sebuah bantal duduk di sudut. Ia menjatuhkan dirinya di sana dan melempar pandangan ke Manhattan. Dua hari lalu ia memutuskan untuk ke sini. Bukan tanpa alasan. Ia berharap dengan mendapat suasana baru bisa membuat perasaannya yang kacau menjadi lebih baik. Dan hal itu sama sekali tak berarti ia mengharapkan kehilangan kabar dari Benedict Carl, kekasihnya. Ia tahu pasti Ben sangat sibuk dengan pekerjaannya akhir-akhir ini. Terlebih pembukaan cabang baru restorannya di Manhattan yang kurang dari dua minggu lagi. Sejujurnya, hal itu juga yang membuat Yoon memilih New York untuk menenangkan diri. Karena Ben juga akan ke sini. Laki-laki itu juga menyiapkan apartemen untuk mereka tinggali. Ia tentu sudah beberapa kali mengunjungi New York. Ngomong-ngomong soal menenangkan diri. Yoon menyesal karena hal itu sama sekali tak ia dapatkan. Ini adalah kunjungan pertamanya ke New York. Sejauh informasi yang ia tahu, New York adalah kota sibuk yang tak pernah tidur. Cocok untuk dirinya yang takut sepi. Kau tahu, perasaan semacam kau bisa sekarat jika sendirian. Itu yang selalu ia rasakan belakangan ini. Entah disebabkan karena perubahan sikap Ben yang membuatnya merasa tetap sendirian meski berada di sisi laki-laki itu atau apa. Ia tidak tahu. Yang ia tahu hanya, ketika ia sadar banyak hal telah berubah. Dan ia tahu benar bahwa ia merindukan sosok Ben yang pertama kali dikenalnya. Yoon menggeliat tak nyaman hingga akhirnya memutuskan untuk bangkit. Seakan ia bisa tenggalam ke dalam kesengsaraan jika terus duduk di sana, namun begitu tetap saja ia tak bisa menghindari pemikiran bahwa, Ben sudah tak lagi mencintainya. Atau barangkali perasaannya telah berubah. Pintu apartemen terbuka tiba-tiba. Yoon sendiri heran mendapati dirinya tak terkejut. "Kau belum pergi," kata Tadashi tanpa memandangnya. Ia melepas sepatu dan memakai sandal rumah berwarna abu-abu. Lalu berjalan cepat menuju dapur. Meletakan plastik besar di meja dan nampaknya, bersiap-siap untuk memasak sesuatu. "Yah," Yoon mengangkat bahu. Berjalan lunglai ke dapur dan duduk di balik konter. Ia mengangkat wajah memandang punggung Tadashi. Mendadak laki-laki itu berbalik. Menyodorkan secangkir white tea ke hadapannya. Asap mengepul dari cangkir putih itu. Aroma lembut khas white tea sayangnya tak mampu membuatnya merasa lebih baik saat ini. "Ada sesuatu?" Tanpa mengangkat wajah Yoon menggelengkan kepala. Sebisa mungkin ia menghindari percakapan tentang Ben. Bukan tanpa alasan, sejauh yang ia ingat. Setiap kali ia menceritakan Ben pada Tadashi, ia selalu menangis. Tepat ketika ia menginjakkan kaki di bandara internasional Seoul, ia bertekad tak akan ada air mata selama ia berada di New York. Meski saat itu ia sendiri tak yakin bisa bertemu Tadashi atau tidak. Ia bertekad tak ingin lebih jauh mengganggu kehidupan Tadashi dengan kisah cintanya yang menyedihkan. Tanpa sadar Yoon tersenyum getir. Sebelum setitik air mata nyaris jatuh dari matanya, ia segera meraih cangkir white tea dan meneguk sebagian isinya. Mendongakkan kepala dan mengerjap-ngerjap cepat. "Kau ada masalah?" Entah hanya perasaannya atau memang suara Tadashi terdengar berbeda. Dan hal itu seketika membuat seluruh tekad Yoon goyah. Rasanya ia ingin menangis keras dan menumpahkan seluruh keraguan, kekecewaan dan pedih yang ia sembunyikan sendirian selama ini. Tetapi di detik terakhir ketika mulutnya siap menyebut nama Ben, "Apa kau baik-baik saja?" Kali ini Tadashi berbalik, menatap langsung mata Yoon. Ia bergeming. Ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali seseorang menanyakan pertanyaan yang sama. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, Yoon merasa begitu senang. Ia pikir tak ada seorang pun yang peduli pada dirinya. Dan Tadashi berdiri di sana dan menunjukkan kepedulian padanya. Itu sangguh berarti. Bahkan Yoon ingin berterima kasih atas pertanyaan sederhana itu. Tetapi mendadak ia merasa sedih begitu kembali teringat Ben. Di saat-saat tersedih dalam hidupnya, tak seorang pun menanyakan apa ia baik-baik saja. Rasanya seperti tak seorang pun memikirkan perasaanmu. Seolah kau bukan sesuatu yang penting. Sesuatu yang pantas dipedulikan. Mengingat Benedict Carl adalah seseorang yang paling ia cintai di dunia, ia tak menepis kenyataan bahwa ia berharap laki-laki itu bertanya padanya. Namun Ben tak pernah melakukannya. Apa laki-laki itu bahkan memedulikan perasaannya? Yoon kembali mengangkat wajah. Memandang mata hijau Tadashi yang memberikan kenyamanan tersendiri untuk dilihat. Ia meminta maaf pada diri sendiri karena tak bisa bertahan sendirian memendam semua rasa menyakitkan ini. Kedua tangannya terkepal. Lalu menggelengkan kepala dan berkata dengan suara yang nyaris terdengar seperti bisikan. "Tidak," ada jeda yang tak dapat ia jelaskan pada jawaban singkat itu. Dan Tadashi juga menantinya tanpa memberi isyarat atau memaksanya untuk bercerita. "Aku tidak baik-baik saja," Yoon menyadari suaranya bergetar. Tenggorokannya sakit sekali dan air mata mulai berjatuhan, namun ia membiarkannya. Saat itu ia memutuskan untuk jujur pada dirinya sendiri bahwa ia memang sedih dan ingin menangis. "Ben," butuh kekuatan besar untuk menyebut nama itu. Yoon menghela napas panjang dan memutar otak. Ia tak tahu harus bercerita dari mana. Ia tak benar-benar yakin kapan Ben mulai berubah. Yang jelas saat ini ia merasa tak lagi dicintai. Dan masalahnya ia sangat mencintai Ben dan tak mau kehilangan laki-laki itu. "Aku tahu, kau sangat mencintainya." Yoon langsung menyadari bahwa Tadashi masih berdiri di sana. Sesaat tadi seolah jiwanya pergi. Ia memandang mata hijau itu lagi. Tak ada senyuman di wajah Tadashi. Ia sendiri tak memahami apa ungkapan dari raut wajah itu. Hening lagi di antara mereka. Yoon mengerjap. Memejamkan mata sesaat dan mengembuskan napas perlahan. Ia tak akan bisa mengatakan apa pun jika terus menangis. Detik berlalu, akhirnya Yoon memutuskan memulai ceritanya ketika ia pertama kali berpikir Ben sudah tidak mencintainya lagi. "Lalu apa keputusanmu?" Tanya Tadashi setelah Yoon berhenti bercerita. Satu hal yang membuat Yoon suka bercerita pada Tadashi, adalah karena laki-laki itu tak banyak memberikan komentar atau nasihat yang tak perlu. Ia lebih banyak mendengar dan hal itulah yang paling Yoon butuhkan. "Beberapa kali aku berpikir untuk berhenti," ia menunduk memandang cangkir yang tak lagi mengepulkan asap. "Aku mengatakan pada diriku, ketika pada akhirnya aku berhenti, itu berarti karena aku tahu dia tidak lagi mencintaiku. Tetapi setiap kali aku berada di titik itu, aku selalu kembali bisa memaafkannya. Aku tak bisa tanpanya." Entah untuk kesekian kalinya ia menghela napas panjang. Berusaha untuk tetap tenang dan menstabilkan emosi dalam suaranya. "Kau tahu pasti, aku tak pernah memiliki pekerjaan apa pun semenjak kita lulus. Aku merasa hidup tapi mati. Lalu seperti biasanya, Ben datang dan ia menjadi duniaku, ya, aku menyadarinya," imbuh Yoon cepat. "Lalu, apakah kau sudah mengambil keputusan?" Tanya Tadashi tanpa merubah posisi tubuhnya sedikit pun, seolah ia telah terpaku ke dalam lantai yang ia pijak. Ia nyaris tak bergerak. Yoon sama sekali tak menyadari Tadashi menannyakan pertanyaan yang sama. Pikirannya terlalu sibuk memikirkan Ben. Kali ini, ada jeda cukup lama bagi Yoon untuk menjawab pertanyaan itu. "Saat seseorang telah menjadi duniamu, tak akan mudah untuk melepaskannya. Aku memang benci setiap kali Ben mengabaikanku. Aku benci sikapnya yang ka-" ia cepat menyadari apa yang hampir ia katakan lalu menggeleng keras. "Tetapi tetap saja, sekali pun ada begitu banyak hal yang menyakitkan, berpisah dengannya adalah hal yang paling menyakitkan. Dan kurasa," Yoon menunduk, suaranya melemah. "Berpisah dengannya adalah hal yang paling aku takutkan di dunia."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD