Setelah menyelesaikan pekerjaannya di kantor, Klarybel berniat mengunjungi kediaman sahabatnya. Sudah lama rasanya dia tidak mampir ke sana, akhir-akhir ini permasalahan hidupnya banyak sekali. Ingin bercerita banyak, sampai lega dan merasa tenang lagi. "Mau ngapain kalian?" Klarybel menolak Gema dan Jo mengikutinya. Kedua pria itu langsung jaga jarak, menatap bingung pada Nonanya. "Jangan ikuti aku. Aku cuman mau ke rumah Gladis. Ini bakal menjadi sesi curhat anak perempuan. Kalian kalau merasa pria asli, nggak usah menguping. Kecuali kalian banci."
"Nona masuk saja ke rumah dan bertemu Nona Gladis. Kita berdua bisa nunggu di mobil atau di halaman sambil main capsa seperti biasanya kan? Jangan bersikap seolah kami tidak pernah mengenal Nona Gladis. Kita berempat teman lama, Nona Gladis selalu senang dengan kami berdua. Bisa dibilang saya dan Jo mood booster dia."
"Cih, sok-sokan banget. Pengen muntah aku dengernya!" Klarybel memutar bola mata malas. Lalu masuk ke dalam salah satu mobil mewah miliknya yang pernah mencuri perhatian orang-orang Jakarta. Koenigsegg CCXR Trevita black itu sangat memanjakan dan bernilai fantastis. "Aku mau mengemudi sendiri. Kalian kalau mau ikut pakai mobil yang lain. Dia kepunyaanku, hanya aku yang boleh mengemudikannya." Memeletkan lidah, lantas melaju begitu saja meninggalkan area parkir. Mobil hitam itu begitu gagah, melesat cepat membelah jalanan ibu kota Jakarta.
Jarak kediaman utama Klarybel dan Gladis lumayan jauh, sebab rumah mereka sama-sama berada di ujung perkotaan. Tapi kalau dari kediaman orangta Klarybel, cukup dekat. Letaknya ada di satu wilayah yang sama. Setiap kali melaju menuju kediaman Gladis dan melihat lapangan luas di sana ... kejadian tahun lalu menjadi mimpi buruk mereka. Kejadian tragis tahun lalu telah merenggut masa depan gadis itu dengan kejam. Dunia Gladis seolah berhenti di sana, hingga sekarang masih jalan di tempat tanpa perkembangan apa pun atas pemulihannya.
"Nona, ngapain berhenti di sini? Mau keliling lapangan dulu?" tanya Jo saat membuka kaca mobilnya, mengerutkan kening.
Klarybel menggeleng cepat. "Nggak mau ke sana lagi, sampai kapan pun!" tegasnya terdengar kesal, lalu kembali melajukan mobil memasuki area perumahan elit yang berada di sampingnya. Rumah Gladis berapa di paling ujung blok A, pagar hitam yang menjulang tinggi itu menyambut kedatangan Klarybel. "Selamat sore, Pak Aji. Apa kabar, udah lama aku nggak main ke sini, banyak kerjaan soalnya."
Pria yang dipanggil Pak Aji itu mengangguk ramah, membungkukkan sedikit badan untuk rasa hormatnya. "Selamat sore, Nona Klarybel. Kabar saya baik. Bagaimana dengan Nona? Apa semua kerjaan berjalan lancar?"
Klarybel mengangguk semangat. "Baik nggak baik, harus selalu baik kabarnya, Pak." Lalu terkikik geli. "Kerjaan di kantor sedikit rumit, tapi berhasil aku selesaikan dengan baik. Semua aman terkendali, banyak sekali orang-orang baik yang bekerja membantuku, Pak. Gladis ada di rumah kan?"
"Ada, Nona. Tadi pagi baru saja selesai terapi bersama Tuan. Biasanya jam segini Nona Gladis ada di taman, melihat perkembangan bunganya yang mulai bermekaran."
"Oke, aku langsung masuk, Pak. Terima kasih banyak, semoga Tuhan selalu melindungi Pak Aji yang sudah baik dan sopan sekali." Pak Aji kembali tersenyum, membungkukkan badannya mempersilakan Klarybel melajukan mobil hingga ke halaman depan. "Minta tolong rapikan mobilnya, Pak. Terima kasih banyak." Klarybel memberikan kuncinya pada salah seorang pengawal keamanan yang ada di sana, merapikan mobil seperti biasanya. Nanti ketika pulang, Klarybel tinggal melajukan mobilnya tanpa harus memutar baliknya terlebih dahulu.
"Gema, Jo, kalian tunggu di sini aja. Aku mau ketemu Gladis di taman. Jangan menguping, aku nggak bakal macam-macam!" Memperingati dengan tegas, tidak senang jika kedua pria itu menguntitnya.
"Baik, Nona. Saya dan Gema akan menunggu sambil bermain catur di gazebo depan. Kalau terjadi sesuatu, bisa hubungi sama atau Gema secepatnya."
"Iya, aku masuk ke dalam dulu." Setelah itu Klarybel langsung masuk ke kediaman mewah orangtua Gladis. Disambut oleh asisten rumah tangga yang selalu memberikan senyuman lebar. "Selamat sore, Bibi Freya. Apa kabar?" Langsung ke dapur, menyapa wanita itu dengan ceria.
Jika mampir ke kediaman Petter, Klarybel berasa ada di rumah sendiri. Dia sudah terlalu nyaman dan kenal semua orang-orang di dalamnya. Tidak ada rasa malu dan canggung, dipersilakan main di ruangan mana pun yang Klarybel sukai. Biasanya dia dan Gladis senang berenang dan menghabiskan waktu di halaman kolam renang sambil membaca buku atau mengobrol ringan. Hanya saja kediaman ini terlihat lebih sepi setelah Nyonya Petter meninggal dunia dua tahun lalu.
Bibi Freya tersenyum lebar dengan mata berbinar. "Baik, Nona Klary. Terima kasih selalu memerhatikan keadaan saya. Nona sendiri, bagaimana kabarnya? Kenapa baru mampi ke sini? Berapa lama saya tidak melihat Nona ya, mungkin hampir dua minggu? Nona tidak sakit bukan?" cecarnya sampai ke akar. Bibi Freya memang banyak bicara, tapi percayalah jika wanita satu ini penuh kasih sayang kepada semua orang.
"Aku sehat, Bibi Freya. Keadaanku beginilah, selalu sibuk dengan kerjaan dan permasalahan hidup lainnya. Aku terlalu sibuk, lupa mengatur jadwal hingga semua tabrakan nggak keruan. Untung aku hebat, lancar ... tapi hampir gila sih ngerjainnya." Menaikkan bahu, lalu terkikik geli. Klarybel mengambil slider panggang isi ayam parmesan, memakannya dengan lahap. "Enak, camilan kesukaan aku nih. Bibi Freya selalu jago kalau masak, nggak beda jauh sama Bibi Giona, pas di lidah aku dan bikin nambah napsu makan."
Bibi Freya membungkukkan sedikit badannya, lalu senang mendapatkan pujian. "Terima kasih Nona Klarybel, emang paling jago kalau urusan memuji masakan saya."
"Gladis ada di mana, Bibi? Kata Pak Aji dia main ke taman. Beneran?"
"Sudah masuk ke kamar, Nona Klary. Nona Gladis lagi pilek, Tuan melarang terlalu lama main di luar rumah selama cuaca belum bersahabat kayak gini. Takutnya Nona Gladis makin sakit, kemarin juga sempat demam."
"Iyakah? Ya ampun kesiannya Gladis. Aku ke kamarnya dulu kalau gitu, Bi. Mau liat keadaan dia sekaligus bercerita beberapa hal. Aku lagi sedih, harus dibanyakin curhat biar lega." Meski sekatang Gladis tidak bisa memberinya solusi, setidaknya Klarybel memiliki tempat mengadu terbaik tentang permasalahannya dengan Leon. Dia perlu teman, tapi keadaan Gladis sudah tidak seperti dulu.
"Baik, Nona Klary. Ini camilannya bisa dibawa sekalian, siapa tahu Nona Gladis juga pengin." Klarybel mengangguk, membawa satu piring slider panggang dan air dingin untuknya.
"Gladis, aku datang. Masuk ya ...?" Klarybel menutup kembali pintu kamar Gladis, melihat jika gadis itu sedang berada di depan jendela, melihat ke arah luar. "Bosan di kamar terus ya? Cuaca belum bersahabat, nanti kalau udah bagus udaranya ... kamu boleh sering-sering main ke luar. Mau slider panggang nggak? Enak nih, Bibi Freya yang bikin. Masih hangat juga." Klarybel memberikan slider yang sudah dipotong menjadi dua bagian, menyuapi Gladis.
"Maaf baru bisa main ke sini, aku sibuk kerja dan kebanyakan pikiran sampai rasanya stress. Lagi nyesek, kelakuan Leon makin menjadi-jadi setiap harinya. Aku harus gimana ya, Dis? Sedih banget, aku kalah telak sama cinta yang membodohi ini. Kemarin Leon mabuk lagi, pulang sama wanita club. Entah sejauh apa kelakuan Leon di luar sana, aku belum mau mencari tahu semuanya. Aku belum siap sakit hati lebih daripada ini. Aku mencintai Leon, masih mengalah dengan bersikap bodoh dan iya-iya aja meski tahu kelakuannya tidak bisa dimaafkan dengan mudah."
"Dia ketahuan berselingkuh dan mengakuinya tanpa merasa berdosa sedikit pun. Tapi Leon senang bikin aku sakit hati, katanya memang itu yang dia mau selama ini. Menurut kamu, Leon sayang aku nggak sih? Kenapa dia berubah banget setelah kami nikah ya?"
Gladis hanya mendengarkan, tatapan matanya mengerjap beberapa kali menyimak curhatan Klaybel. Andai dia bisa bicara, mungkin sudah mengatakan banyak hal untuk menangkan sahabatnya.
Hampir satu tahun yang lalu, Gladis mengalami kecelakaan tunggal saat belajar mengemudi. Dia menabrak salah satu bangunan yang ada di lapangan, menyebabkan Gladis lumpuh dan bisu. Kaki dan tangannya tidak bisa digerakkan terlalu banyak, sangat kaku dan sakit sekali jika dipaksakan. Gladis rutin melakukan terapi, tapi belum terlihat perkembangan kesembuhannya sejauh ini. Semoga Tuhan segera mengangkat rasa sakit yang selama ini menjadi penghalang kebahagiaan Gladis. Dia memiliki cita-cita dan list masa depan yang sudah direncanakan. Harus segera diwujudkan.
Saat Gladis kecelakaan, Klarybel pun ada di tempat kejadian. Hanya saja dia tidak berada di mobil itu, menunggu di ujung jalan sambil memakan camilan. Gladis dilarang Papanya mengemudi, makanya nekat belajar sendiri dan tanpa sepengetahuan Tuan Petter. Ternyata nasib gadis itu begitu naas, dia langsung kecelakaan setelah melakukan dua kali pertemuan belajar mengemudi bersama Klarybel. Awalnya baik-baik saja, gadis itu cepat tanggap dan lumayan bagus mengemudinya. Tapi entah bagaimana kejadian sebenarnya waktu itu ... tiba-tiba saja mobil Gladis melaju begitu cepat dan banting setir hingga menabrak bangunan.
Padahal setelah pihak kepolisian memeriksa mobil Klarybel, rem pun berfungsi dengan baik. Tidak ada kecelakaan yang disengaja, atau hasil olah tangan manusia sebelumnya. Sampai sekarang penyebab kecelakaan itu belum menemukan titik terangnya, kecuali Gladis bisa bicara dan menjelaskan semuanya.
"Mungkin nggak sih pernikahan aku dan Leon bakal gagal di tengah jalan? Aku sedih, tapi kalau lama-lama kayak gini aku juga nggak tahan sama kelakuan dia, Dis. Aku harus gimana? Jujur, aku takut Daddy tahu gimana cara Leon memperlakukan aku. Nggak mau sampai ada perang di antara mereka. Kamu tahu sendiri kan gimana Daddy kalau marah--dia tidak segan menghabisi nyawa seseorang, dan Leon pun sama. Aku nggak mau kehilangan Daddy, nggak mau juga Leon yang kalah dan harus meregang nyawa. Aku menyayangi kedua pria ini, Dis. Nggak mau memilih salah satunya."
Klarybel mengusap air matanya, lalu menghela napas kasar. "Daddy dan Mommy udah nanyain cucu, sementara keadaan aku dan Leon berantakan gini. Kalau kelamaan saling bermusuhan sama Leon, Daddy atau Mommy bakal curiga. Masa udah setengah tahun gini aku belum hamil kan? Janjinya tahun depan ... tapi kalau nanti nggak ada perkembangan juga gimana? Aku harus beralasan apa lagi?"
"Leon keterlaluan banget, aku masih belum paham kenapa dia setega itu sama aku. Tapi kemarin pas mabuk, dia kayak sayang banget juga sama aku, Dis. Cuman kalau sadar dan akal sehatnya kembali, dia berubah lagi. Aneh, tapi aku bisa rasain kalau sebenarnya Leon nggak bener-bener benci aku. Menurut kamu iya juga kan?" Klarybel melipat kedua tangannya pada paha Gladis, terisak di sana menyuarakan isi hatinya yang lagi pilu. "Aku nggak ada teman curhat selain kamu. Masalah ini aku tanggung sendirian sampai rasanya kepala aku mau meledak. Aku punya Gema dan Jo, tapi aku nggak bisa terlalu terbuka sama mereka. Nanti kalau Leon udah keterlaluan, salah seorang di antara mereka pasti nekat ngasih tau Daddy."
Belum selesai bercerita, ponsel Klarybel berbunyi. Leon menghubunginya. Tumben!
"Halo, Leon?"
"Pulang sekarang!" Setelah itu teleponnya terputus, Klarybel menganga dengan mata melotot sempurna. Bisa-bisanya Leon menghubunginya hanya untuk membentak menyuruh pulang ke rumah.
Klarybel tersenyum lemah. "Kamu tahu aku kuat dan sekeras kepala itu kan? Tapi aku nggak bisa membolongi kepala Leon. Pengin banget nembak dia pas bawa mainannya ke rumah, tapi pas liat mata dia ... aku tahu kalau aku mencintainya. Aku kayak nggak ada harganya di mata wanita yang Leon bawa ke rumah, seolah aku bukan istrinya, Dis. Aku harus gimana, huh? Aku udah bosan suasana kayak gini, pengin banget hidup bahagia seperti bayanganku dulu saat menikah dengan Leon."
"Kamu lihat sendiri, Leon baru aja membentakku kasar. Kayak gitulah setiap hari sikapnya sama aku. Padahal bisa ngomong baik-baik nyuruh aku pulang. Dia sudah berubah banyak. Aku merindukan Leon yang dulu, dia begitu menyayangiku sampai rasanya aku tenggelam dan melebur bersama cintanya."
Klarybel mengusap rambut Gladis, mengecup pipi gadis itu. "Kamu cepat sembuh. Aku kangen kamu marah dan memukul kepalaku kalau aku terus-terusan bersikap bodoh begini. Biasanya kamu nggak setuju aku lemah, pasti ngomelnya satu kilometer. Kamu jangan berhenti berjuang buat sembuh ya, aku selalu berdoa pada Tuhan biar kita bisa bersama lagi. Aku nggak punya teman sebaik kamu, yang selalu mengerti dan bisa menerima kekurangan aku. Jangan sedih, aku baik-baik aja sekarang. Aku bisa mengatasi Leon, meski capek dan ngesot-ngesot."
Mata Gladis berkaca-kaca, dia mungkin sedih mendengar cerita sahabatnya. Ingin sekali menolong dan memberikan masukan, tapi keadaan sedang tidak bersamanya. Bahkan yang dulunya sering mengusap air mata Klarybel, sekarang dia hanya bisa melihat dan duduk diam memerhatikan. Dalam hatinya, Gladis selalu berteriak jika dirinya sudah tidak berguna lagi. Tapi ada banyak sekali doa dan harapan dari orang-orang yang menyayanginya--terutama Papanya, ini salah satu alasan kenapa Gladis bertahan hingga sekarang. Dia tidak boleh menyerah, maka semua orang akan ikutan hancur juga.
"Aku pulang dulu, Gladis. Senang bisa melihat keadaan kamu sekarang. Sudah jauh lebih baik, jemari kamu sudah lancar bergeraknya. Semoga sebentar lagi otot-otot tulang kaki dan tangan kamu semakin kuat. Aku merindukan semuanya yang pernah kita lalui bersama. Aku pengen dengar kamu ketawa lagi, biasanya sampai ditegur Riley karena terlalu nyaring." Memeluk Gladis, memberikan semangat agar gadis itu tetap fokus pada penyembuhan.
"Aku bakal ke sini lagi. Sampai bertemu nanti ya." Mengecup kening Gladis beberapa kali, lalu tersenyum lebar.
****
"Kelayapan terus!" Leon menyindir Klaybel yang baru saja datang. Dia sedang duduk di ruang televisi, tidak mengenakan pakaian, hanya boksernya saja.
Klarybel menatap Leon jengah. "Terserah aku, kita berjanji untuk tidak mengurusi hidup masing-masing kan? Aku pulang subuh pun harusnya nggak jadi masalah kamu." Menaikkan bahu, lalu melepaskan pakaiannya begitu sana sebelum beranjak ke kamar mandi. Sungguh Klarybel tidak peduli apa makian Leon setelah melihat dia tampil polos seperti tadi di ruang terbuka pada kamar mereka. Biasanya Klarybel malu, apalagi tahu jika Leon tidak menginginkan dirinya.
"Gadis nakal!" Leon mendengkus, memijat pangkal hidungnya pusing sekali. Harusnya dia menikmati masa-masanya punya istri seperti sekarang. Bermanja-manja dan menghabiskan waktu dengan beberapa hal lebih intim. Tapi apa boleh buat, perasaan Leon sedang diselimuti amarah yang tidak tahu kapan akan berakhir. Bohong jika Leon tidak senang melihat tubuh Klarybel, padahal sejak dulu yang paling dia tunggu-tunggu ialah bercintaa dengan kekasihnya itu. Leon pria normal.
"Hei, ngapain masuk? Mau ngintipin aku mandi?" Klarybel berdecak saat melihat Leon masuk ke kamar mandi, menggosok gigi dan mencuci wajahnya. Kenapa Leon tidak menghindar darinya? Padahal sebelumnya jika Klarybel mencoba merayu dengan pakaian seksinya, Leon pasti terlihat murka. "Mesumm!" cibirnya sekali lagi.
"Kamu mandi saja, anggap saya tidak ada."
"Kenapa? Kamu mau aku ya? Bilang atuh, kan gampang. Nggak perlu kamu jual mahal terlalu banyak, nanti kusentil baru tahu rasa."
"Omong kosong!"
Klarybel nakal, dia malah nekat keluar dari bathtub tanpa sehelai benang pun. Memeluk Leon dari belakang sambil mengabseni setiap roti hambar pria itu. "Kangen?"
"Lepasin, Klary!"
"Nggak. Bilang dulu apa mau kamu." Klarybel memicingkan matanya. "Aku kenal kamu lama banget. Kita bersama bukan lagi hitungan bulan, tapi tahun. Aku tahu gimana kamu, tatapan kamu nggak pernah berubah. Kamu tetap cinta aku, Leon. Udah ya marahnya, aku capek ngehadapin sikap kamu. Jengah dan bosan banget." Mengusap dadaa Leon, lalu berjinjit untuk mengecup duluan permukaan bibir suaminya.
Leon tidak membalas, dia menahan diri sebisa mungkin agar tidak tergoda. "Minggir sebelum aku dorong sampai kamu jatuh ke lantai. Nanti kalau aku kasar, kamu protes. Padahal sikap kamu sendiri yang muat aku murka!"
Klarybel menatap Leon, lantas memeluknya untuk menenangkan. Biasanya saat Leon marah, dia minta dipeluk. Klarybel sebenarnya takut, terbukti tubuhnya bergetar saat menunjukkan keberanian seperti ini. Dia tahu Leon adalah bom, bisa meledak kapan saja jika Klarybel kecolongan menyelamatkan diri. "Ke tempat tidur, Leon? Aku kangen."
Leon memejamkan matanya. "Berhenti, Klary. Minggir!"
"Kamu ingin aku, aku melihatnya dengan jelas. Mau mengelak gimana lagi, Leon?" decak Klarybel ikutan marah. "Iya atau enggak? Sebelum aku merajuk."
Belum sampai satu menit, Leon sudah menggendong tubuh Klarybel menuju tempat tidur mereka. Dan ya, entah ini hari baik atau bagaimana ... Klarybel memenangkan perdebatannya dengan Leon. Pria itu menyerah tanpa harus saling menodongkan senjata tajam dulu.
"Sayang kamu, Leon." Mengecup pipi pria itu, tersenyum senang karena tubuhnya mulai dikuasai oleh Leon. "Waktu yang pas ngasih cucu buat Daddy dan Mommy kan?" Sambil terkikik geli, Klarybel tahu jika dialah penyemang hati suaminya. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu.