3. Berusaha saling Menyakiti

2131 Words
Klarybel masih tetap ngotot berada di ruang tamu meski jarum jam sudah menunjuk ke angka dua belas malam. Dia menunggu Leon, pria laknat yang sudah berhasil memorak-porandakan perasaannya sampai sejauh ini. Sebanyak apa pun Klarybel mencoba tidak peduli, dia tetap tidak bisa tidur sebelum melihat Leon tiba di kediaman mereka dengan selamat. Entah ke mana suaminya berlayar, hingga tengah malam begini belum sampai rumah. Untung mereka tinggal terpisah dari orangtuanya, kalau tidak sudah habis Leon di tangan Devano Axelleyc. "Dasar suami kurang ajar!" Klarybel memaki saat melihat layar ponselnya. Tidak ada pesan atau pun telepon dari Leon. Percaya atau tidak, mereka memang jarang saling berbagi kabar. Kadang seminggu sama sekali tidak mengirimkan pesan apalagi menelepon. Kecuali memang ada sesuatu yang penting, Leon maupun Klarybel baru mengalah untuk memulai obrolan chat. Beberapa menit setelah mengumpat kesal, terdengar suara derap langkah dan kicauan wanita yang kesusahan karena sudah membopong tubuh besar Leon. "Ayo sedikit lagi, kamu mabuk banget!" ucap wanita itu menepuk dadaa Leon. Klarybel bangun dari sofa, memutar bola matanya malas. Kejadian yang sering kali dia temui. Suaminya pulang dengan wanita seksi yang sangat menggoda iman. Entah dapat dari mana wanita itu, dia tidak lebih dari wanita penghibut saat Leon jenuh dengan pekerjaan. Mungkin wanita club yang bisa diajak bersenang-senang tanpa kejelasan hubungan. Begitu miris, padahal sudah jelas jika Leon adalah pengusaha terkenal yang sudah memiliki istri. Pernikahan mereka tersiar di beberapa stasiun pertelevisian. Media surat kabar juga memuat kabar bahagia mereka, seluruh penjuru kota Jakarta menurut Klarybel tidak ada yang melewatkan berita bahagianya. "Pergi dari rumahku!" sentak Klarybel keluar dari kegelapan ruang tamu. Dia menatap sengit, seolah mencemooh wanita itu. "Dia suamiku, jangan mencoba menyentuhnya!" Wanita itu bukannya takut, malah mengangkat wajah angkuh. "Dia menikmati kesenangan kami. Dia memintaku menginap di sini. Kami akan menghabiskan malam panas sampai besok pagi." Menaikkan bahu. Menganggap seolah Klarybel bukan saingan yang sepadan dengannya. Salah besar! Klarybel tersenyum miring. "Kamu serius mau main-main denganku?" Lalu dengan tangkas mengeluarkan pistol yang dia selipkan pada celana bagian belakang. Menodongkan pada pelipis wanita yang begitu sombong tadi. "Jangan bersikap murahan di kediamanku. Ini bukan tempat yang cocok buat kamu. Pergi sebelum kuhabisi kamu!" Tidak ada yang boleh lebih berani dari Klarybel, apalagi di istananya. Wanita dengan nyali setipis kertas di hadapannya itu langsung menciut. "Pergi atau kubolongkan kepalamu? Melenyapkan manusia seperti kamu bukan hal sulit bagiku. Aku sudah sering melakukannya, paling nanti ujung-ujungnya kamu menjadi santapan lezat binatang buas peliharaanku!" Wanita itu melotot tajam, kemudian langsung melepaskan Leon darinya. Tidak ada yang dia katakan, langsung pergi begitu saja. "Cih, mental kerupuk!" cibir Klarybel tersenyum jahat. Dia mencium pistol kesayangannya, lalu menyelipkan kembali ke pinggang. "Bangun Leon, dasar suami nggak bertanggung jawab!" Memukul dadaa Leon dengan kasar, membuat pria itu terbatuk dan berusaha membuka matanya. "Klary?" gumamnya tidak berdaya. "Di mana wanitaku?" "Sudah kulenyapkan. Baru saja menjadi santapan Hole." Leon menautkan alis. Dia mengetuk kening Klarybel dengan jari telunjuknya. "Kamu terlalu sombong, Klary. Hem ... tentu saja. Istriku memang harus seberani itu." Menaikkan bahu, lalu tertawa. Klarybel meninju perut Leon, pria itu kembali terbatuk kesakitan. "Ayo ke kamar. Kamu nyebelin kalau mabuk gini, pengen kubolongi juga kepala kamu!" Kemudian menarik kerah kemeja Leon, menyuruh pria itu bangun dan membopongnya ke kamar. Sesampainya di kamar, Klarybel langsung melempar tubuh Leon ke kasur. Dan lagi, pria itu mengaduh kesakitan. Perlakuan Klarybel sama sekali tidak lembut, malah teramat kasar. Leon sedang tidak berdaya, ini kesempatan besar untuk Klarybel membalaskan rasa kesalnya selama ini. "Jangan muntah Leon, bakal kumaki kamu ya!" Peringatan saat Leon batuk-batuk. Biasanya pria itu akan muntah jika terlalu banyak menegak alkohol. Leon tertawa. "Kemarilah, Klary." Dia duduk menyuruh Klarybel mendekat. "Ke sini, mendekatlah." "Mau apa? Aku bakal teriak kalau kamu menjambak rambutku seperti terakhir kali. Kamu kasar banget, aku hampir botak!" "Tidak, kenapa kamu sekeras kepala ini huh? Kamu hanya perlu menurut, ikuti apa yang aku mau tanpa protes. Bisa?" Klarybel menggeleng. "Enggak. Aku bukan boneka atau barang yang bisa sesuka hati kamu perlakukan. Kamu sudah terlalu banyak menyakiti, kamu keterlaluan. Kamu bahkan nggak mikir gimana perasaan aku liat kamu pulang dengan wanita tadi. Kamu sudah ngapain aja sama dia, Leon?" "Kenapa? Aku hanya perlu pelepasan untuk memuaskan diri." "Si sialan!" Klarybel kembali meninju dadaa Leon, membuat pria itu terkekeh. Dia mengusap dadanyaa, menghela napas panjang. "Ganti baju sendiri, aku nggak mau bantuin. Atau kamu tidur aja di sofa, jangan menggangguku." Leon melempar bantal pada Klarybel. "Sana pergi!" katanya songong. Bukannya dia yang beranjak dari kasur, malah menyuruh Klarybel menjauh. "Kamu yang pergi, kasur adalah wilayahku!" Bukannya mengiyakan, Leon malah menarik tangan Klarybel hingga terjatuh di atas tubuhnya. Napas Leon memburu, dia mabuk sampai tidak jelas apa yang dibicarakan. "Leon, lepasin. Kamu mabuk, nanti pas sadar marah kalau tau aku ada di pelukan kamu gini. Kamu pasti nggak suka, nyumpahin aku yang jelek-jelek." "Bisa diam, Klary?" "Lepasin dulu, biar aku tidur di sofa aja!" Leon malah mengindahkan, lalu tertidur dengan menjadikan Klarybel layaknya guling yang nyaman untuk dipeluk erat-erat. "Aku yakin kita bakal berantem pagi-pagi buta. Kamu nggak bakal suka aku gini. Nanti kamu bakal bilang aku memanfaatkan keadaan kamu. Padahal kamu sendiri yang nggak pengen aku pergi. Kamu membingungkan, kenapa sebenarnya kamu? Aku nggak ngerti kamu berubah sebanyak ini, aku sedih." "Tidur, Klary. Kamu terlalu banyak ngomong. Aku pusing." Klarybel mendengkus, lalu membiarkan Leon memeluknya dengan hangat. "Aku sayang kamu. Aku takut kehilangan kamu. Jangan macam-macam di luar sana ya. Jangan sampai terlalu bebas dan kelewatan. Aku nggak mau sampai buat orangtua kecewa." Mengubah posisinya menghadap Leon, menenggelamkan wajahnya pada dadaa bidang suaminya. "Kamu wangi, aku kangen." Lalu memejamkan mata, berusaha menikmati momen langka kali ini. Klarybel senang disayang sejak kecil, tapi Leon tidak memperlakukannya dengan baik setelah mereka menikah. **** Klarybel terbangun ketika tubuhnya terlempar ke lantai. Sakit sekali tangan dan pinggangnya. "Leon sintingg. Ngapain kamu nendang aku?!" teriaknya dengan mata masih tertutup silau. Klarybel meringis, berusaha mengumpulkan nyawa dan tenaganya untuk memulai keributan pagi ini. Sudah dia bilang semalam, mereka akan berantem saat Leon bangun. "Ngapain kamu di sini?" "Jangan bercanda. Kamu suamiku, tentu saja aku ada di kamar ini." Memicingkan mata, memberengut murka. "Kamu mabuk, kamu sendiri yang pengen tidur sambil meluk aku. Pasti nyenyak dan hangat tidur kamu." Klarybel tertawa, meledek Leon yang langsung merasa tidak terima. "Nggak, nggak. Jangan bohong kamu! Ke mana wanita cantik yang bersamaku semalam? Aku menyuruhnya menginap, aku sudah membayarnya untuk melayaniku di ranjang." Klarybel langsung melipat kedua tangan di pinggang, lalu sedetik kemudian tangannya mencengkram kemeja Leon yang sudah berantakan. "Brengsekk! Kamu pengen ku apakan, huh? Kenapa keterlaluan banget. Aku istri kamu ya, jangan ngomong sembarangan. Apa kamu pikir pantas bilang gitu? Wanita murahann itu nggak cantik, gatal, dan beda kelas sama aku. Kamu buta atau gimana? Aku jauh lebih menggoda daripada dia." Leon tertawa meremehkan, menepis kasar tangan Klarybel dari kemejanya. "Tapi aku nggak menginginkan kamu. Kesian!" Klarybel mencari pistolnya, namun ternyata sudah ada di tangan Leon. "Mencari ini? Kamu atau aku duluan yang melayangkan tembakan?" "Tembak aja, aku jauh lebih ikhlas daripada kamu giniin aku. Kamu brengsekk tahu nggak. Aku pengen hajar kamu habis-habisan!" "Sayangnya permainan kita baru dimulai, Klary. Melenyapkan kamu sama saja kekalahan untukku." Melempar pistol itu ke arah lain, lalu bangkit dari tempat tidur. "Buang-buang waktu saja berdebat pagi-pagi gini. Kamu memang selalu mengesalkan." Klarybel menggeram ketika Leon masuk ke kamar mandi, menghentakkan kakinya ke lantai berkali-kali dengan kasar. "Leon gila, aku benci kamu!" "Terserah, terserah. Aku nggak peduli apa pun rasa kamu. Benci aja sesuka kamu, nggak berpengaruh apa pun padaku!" "Sialan, nanti kamu nangis kalau kehilangan aku. Aku tahu kamu mencintaiku, semalam kamu menginginkan aku. Andai aku nggak bisa nahan diri, mungkin bulan depan kamu udah punya anak." Klarybel berkata jujur. Semalam Leon memang berusaha menggodanya, tapi gagal bercintaa ketika Klarybel memberi satu pukulan pada wajahnya. Leon sedang mabuk berat, Klarybel tidak ingin jika Leon membayangkan tubuhnya sebagai wanita murahann seperti di club. Pintu kamar mandi terbuka, Leon menatap marah. "Jangan bicara omong kosong. Kamu yang selalu berusaha menggodaku!" "Oh ya? Buktinya semalam kamu tergoda denganku, Leon. Kamu bilang aku cantik dan wangi. Tapi senang akhirnya aku bisa menolak kamu. Aku nggak mau kalah lagi." Leon terdiam beberapa saat, menaikkan sebelah alisnya. "Mau membuktikannya jika kamu yang masih bertekuk lutut padaku, Klary?" "Nggak!" Belum sempat Klarybel meambil gerakan kabur, Leon sudah menarik pinggangnya, melempar Klarybel ke kasur. "Oh, kamu mau aku? Katanya nggak suka aku." Dia tertawa jahat saat Leon mengecupi permukaan lehernya, mengungkung tubuh Klarybel agar tidak dapat melakukan banyak pergerakan. Kecupan Leon langsung terhenti, dia mengerang begitu saja sudah kalah telak. "Kurang ajar!" umpatnya yang kemudian kembali beranjak. "Perlu bermain sebentar? Kayaknya kamu emang nggak bisa lepas dari aku, Leon. Apa susahnya mengaku kamu cinta aku sih? Kita bisa memulainya dari awal. Aku nggak masalah." "Hanya dalam mimpi!" Pintu kamar mandi tertutup keras. Klarybel tertawa puas. "Jangan solo dong. Lemah banget! Kayak kekurangan wanita aja." Setelah itu beranjak dari kamar, menuju dapur setelah puas membuat Leon kesal. "Pagi, Nona Klary." Gema menyapa hangat, membungkukkan sedikit badannya. "Pagi-pagi saya dengar sudah ramai aja. Kayak pasar malam." "Mulutmu, Gema!" Klarybel mengangkat tangan ingin memukul, tapi urung karena dia masih baik hati. "Jangan lagi ke lantai atas ketika pagi. Aku bisa bangun sendiri tanpa terlambat." "Baik, Nona Klary. Saya pikir semalam Tuan Leon tidak pulang." "Sayang sekali kamu melewatkan pertunjukan hebat. Aku semalam berhasil mengusir wanita sewaan Leon dengan menodongkan pistol ke kepalanya. Beuh, aku seperti pendekar wanita yang tidak terkalahkan." Menaikkan bahu, berlagak sombong sekali. Gema hanya geleng-geleng. "Sudah saya bilang jangan bermain pistol sembarangan kalah marah. Nona bisa kebablasan, saya tahu Nona tidak bisa mengontrol emosi." "Bodo amat. Paling kalau kebablasan wanita itu akan mati." "Dan Nona akan ditangkap polisi." "Kamu pikir aku takut?" Gema terdiam, lalu menaikkan bahu. "Saya lupa jika Nona Klary hanya takut pada Tuan Leon. Polisi tidak ada apa-apanya. Benarkan?" Ekspresi Gema membuat Klarybel kehilangan kata-kata. "Cih, dasar pengawal stress!" Klarybel memukul bahu Gema, membuat pria itu tertawa jenaka sudah berhasil mengalahkan Nonanya pagi-pagi begini. "Tutup mulutmu, aku nggak mau dengar apa pun lagi. Setiap pagi kamu selalu bisa memancing emosi. Heran!" "Baik, Nona. Saya akan membersihkan mobil. Hari ini kita ke studio kan?" "Aku akan pergi sendiri, kalian nggak usah ikut. Nanti nyusahin." "Songong amat, Nona. Biasanya juga Nona yang tidak bisa hidup tanpa saya dan Jo. Nona kan kalau ada apa-apa selalu merengek pada kami. Lupa, huh?" Klarybel berdecak. "Nggak, nggak ada gitu. Sudahlah, kamu menjauh sana. Bikin kesal aja. Pengen kuseret ke kandang Hole ya? Dia nggak masalah banget makan daging kamu, meski udah jadi teman dekatnya." "Untung saya sabar mengadapi, Nona." Lalu segera beranjak, membuang muka. Klarybel terkekeh, melangkah ceria menuju dapur. "Bibi Giona buat apa?" "Buatin oatmeal untuk Tuan Leon, Nona. Katanya kemarin Tuan pengen sarapan sebentar sebelum ke kantor." "Tumben pagi-pagi minta sarapan. Nggak bawa bekal ke kantor?" "Bawa, Nona. Habis ini saya siapkan." "Biar aku aja yang siapin buat bekalnya, Bibi. Hari ini mau menu apa?" "Niatnya mau tumis daging sapi brokoli saja, Nona. Tuan mintanya masakan sederhana yang banyak sayur hijaunya." Klarybel mengangguk. Dia langsung menumis bahan-bahan yang sudah diiris oleh Bibi Giona. Brokolinya juga sudah dibersihkan. Kalau soal memasak, Klarybel sudah mempelajarinya saat masih berpacaran dengan Leon. Dia sering memasakkan pria itu makanan. "Jangan pedas-pedas ah, nanti sakit perut Leon. Kalau aku nggak salah liat jadwalnya, nanti sehabis makan siang Leon ada rapat. Aku nggak mau dia diare." Mengurangi banyaknya cabai yang sudah diiris-iris kecil oleh Bibi Giona. Klarybel menambahkan saus tiram dan kecap manis, lalu mencicipi masakannya. "Heem, enak. Cobain Bi, udah pas nggak rasa bumbu dan dagingnya?" Bibi Giona mengacungkan jempol, mengangguk senang. "Masakan Nona Klary selalu enak, belum pernah gagal." Klarybel terkikik senang. Lalu mendinginkan nasi sebelum dimasukkan ke dalam bekal. "Selamat pagi Bibi Giona. Sarapan yang kemarin udah siap?" Bibi Giona mengangguk, menyajikan dengan rapi oatmeal mangkuk kecil untuk Leon. "Wanginya, Bibi Giona masak apa?" "Ini tumis daging untuk bekal nanti, Tuan. Mau mencobanya?" Leon mengangguk, lalu mencicipinya satu sendok saja. "Wah enak, Bibi Giona. Oatmealnya simpan saja, saya mau makan daging ini pakai nasi." Klarybel menopang dagu di balik meja pantry. "Wah beneran enak? Itu masakan aku loh." Tersenyum senang, baru kali ini Leon blak-blakan memuji masakannya setelah menikah. Leon terkesiap melihat Klarybel ada di dapur juga. "Nggak, nggak jadi makan nasi, Bi. Nggak enak dagingnya, keras. Saya makan oatmeal aja. Nanti nggak usah bawa bekal, saya cari makan di luar." "Tapi, Tuan--" "Nggak ada tapi, saya tidak senang dibantah." Akhirnya Bibi Giona mengangguk saja. "Cih, sok-sokan jual mahal. Pengen aku geprek akal sehatnya. Masakan aku emang selalu enak, kamu dulu seneng banget minta masakin aku. Ini bekalnya, bawa ke kantor. Jangan bikin kesal, aku nggak bakal ngatain kamu kalau kamu emang suka makanannya. Dia rezeki, jadi nggak usah songong." Meletakkan bekal Leon ke atas meja, melangkah meninggalkan dapur dengan kesal. "Urus pria nggak tahu diri ini, Bi. Pengen kutelan rasanya." ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD