Bab 4. CRAZY ( pov DAVE)

1521 Words
BAB 4. CRAZY (pov Dave) Hari menjelang malam saat aku tiba di flat. Badan rasanya remuk redam karena hampir seharian tidak beristirahat. Meskipun bukan itu yang paling menguras energi. Melainkan situasi terakhir yang melibatkan aku, Dion dan Aysa. Aysa? Mengingat perempuan itu, hatiku seperti diiris-iris. Aku mengutuk diriku sendiri. Setelah membuat perempuan itu terjebak di situasi yang complicated, aku bahkan makin menambah bebannya. Jelas sekali aku melihat beban ketakutan dan tertekan di wajah perempuan itu. Dan sialnya, tidak ada satupun yang aku lakukan untuk memperbaiki semua. s**t! Aku memang b******n seperti apa yang dikatakan Aysa. Masih kuingat tatapan panik Ayaa saat kami berbincang di antara retimbunan teh dan kopi di salah satu sudut Ciwedey Outbound and Rock Climbing tadi sore. Bagaimana horor yang kulihat di mata perempuan itu saat tiba-tiba Dion muncul dan menginterupsi percakapan kami. Aku tahu bagaimana cintanya Dion pada Aysa, tetapi itu tentu tak menjamin semuanya akan baik-baik saja. Meski Dion tak mengatakan secara langsung, dari gestur sahabatku itu, aku tahu ia menyimpan sebuah pertanyaan. Walau tentu saja aku yakin mereka akan selalu baik baik saja. Yang tidak baik-baik saja tentu adalah aku. Tentu saja aku dan hatiku. Entah sejak kapan tak jelas lagi bentuknya. Cinta, cemburu, insecure, bingung ... semuanya jadi satu di dalam d**a ini. Perasaan yang sungguh bodoh dan gila. "Pengecut!" desisku geram pada tampilan sosok dalam cermin di hadapanku. "Hey! Bangun dari mimpimu, Sobat. Berapa juta perempuan cantik di luar sana. Kenapa harus Aysa! Kenapa, Stupid?!" Aku meninju pigura kaca dan membuat buku-buku punggung tanganku terasa perih karena lecet. "Ini bahkan hampir 5 tahun berlalu dan kau masih saja terjebak di perasaan yang konyol itu, Dave! Ckckckck ... menyedihkan!" Kembali aku berbisik dan menyeringai sinis pada sosok yang terpantul. Dengan frustrasi aku melangkah ke lemari pendingin, meneguk soda dingin yang lumayan menyejukkan kerongkongan. Melempar dengan gemas kaleng kosong itu ke sudut ruangan hingga menimbulkan bunyi berisik yang memekakkan telinga. Tuhan, kapan aku bisa lepas dari perasaan yang sangat salah ini? Aku mohon, tolong bebaskan hati ini dari cinta yang sesat dan salah arah tersebut, agar hamba dapat menata masa depan lebih baik. Hati ini menggerimit. Rasanya lelah sekian lama memendam rasa pada Ayana, sementara aku tahu, makin hari aku hanya akan memupuk sebuah kesia-siaan belaka. Tapi dalamnya hati memang tak bisa diukur dengan logika. Ribuan hari aku berperang dengan perasaanku sendiri, beribu hari pula aku makin memupuk kebohongan pada diri sendiri. Apa kejadian malam itu adalah wujud dari rasa frustasiku sehingga aku sampai kalap terhadap perempuan itu? Sebaris kalimat tanya itu berulang kali bermain di kepala ini. Tetapi hingga detik ini aku tak jua menemukan jawab. Meskipun itu tak jua membuat tanyaku berhenti. Mungkinkan aku sebajingan itu karena rasa cinta yang salah ini?! Mungkinkah tanpa sadar rasa cinta yang bertepuk sebelah tangan menjadikan aku gelap mata malam itu? Tapi kenapa sedikit pun aku tak mengingat detilnya? Apa yang terjadi sesungguhnya? $$$ Ketukan di pintu flat, membuyarkan konsentrasi ku. Gegas kulangkahkan kaki ke arah pintu. "I'm sorry, aku lupa memberitahu kedatanganku." Seraut wajah oval Menyambut. Rina Revina, gadis yang setahun terakhir ini lekat dalam kehidupanku. "Aku bawakan makan malam untukmu. Kau pasti belum makan, kan?" Wajah keibuan dengan kulit kuning langsat itu mengulas senyum teduh. Jujur aku heran, entah terbuat dari apa hatinya. Yang tetap bersabar selama kurun waktu tak sedikit, untuk bisa memenangkan hatiku. "Jangan terlalu repot, Rina. Aku tak enak hati. Terlebih pada Tante Erna." Aku meminggirkan tubuh, memberinya jalan untuk masuk. Dengan cekatan gadis berusia 23 tahun itu menghidangkan menu makanan yang ia bawa ke atas meja. Aroma khas rempah rempah yang menggoda langsung menguar menerbitkan selera. Terlebih perutku memang sudah keroncongan sejak tadi. Aku memindai tubuh semampai itu dari belakang. Memperhatikan setiap detil gerakan tangannya yang luwes dan cekatan. Aku yakin, sosok semacam Rina ini lah sosok idaman bagi mayoritas kaum adam. Keibuan, lembut, sabar dan sifat sifat feminin lainnya. Namun aku juga sadar, masalah hati adalah hal yang privat. Tidak ada generalisasi dalam hal ini. Nyatanya meski kedua orangtua kami sudah saling cocok dan berusaha keras buat menjodohkan, tetapi aku tak jua bisa memberinya tempat di hati. "Ini cukup?" Rina menyodorkan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk yang ia bawa tadi. Aku terpaku untuk beberapa detik. Rasanya aku telah jadi orang yang sangat jahat selama ini. Mengambil keuntungan dari kebaikan gadis di hadapanku ini, tetapi tak juga kunjung memberinya kepastian. Aku mulai berpikir untuk kembali mengajaknya bicara soal ini. Lebih baik ia kecewa di awal, daripada akhirnya ia harus terluka karena sikap tidak jelasku. "Melamun? Apa perlu aku suapin, eh?" Sepasang mata yang dinaungi bulu-bulu lentik itu mengerling ke arahku. Masih dengan menjaga jarak, aku mengambil piring dari tangannya, lalu makan dengan diam-diam di sudut kamar. Menghabiskan makanan enak tersebut hanya dalam beberapa menit saja. Kali ini aku gagal menikmati dengan penuh. Perhatian terus menerus dari Rina membuat rasa bersalah ini kembali muncul. "Nggak nambah? Tumben? Kurang enak ya, Kak? Aduuh maaf, ya ...." Rasa bersalah membayang di wajahnya. "Bukan itu, Rin." Aku mengibaskan tangan. Manik itu membola. "Maaf---" ujarnya. Lagi dan lagi .... "Rin. Bisa kita bicara serius ?" Aku membuka percakapan saat kami duduk di kursi panjang yang ada di balkon. Lalu lalang kendaraan dan kelap kelip lampu di bawah sana, seolah birama yang mengiringi obrolan kami. "Ya?" jawabnya singkat. Ada binar-binar di kedua bola mata itu. Seolah gadis itu menyimpan harap tentang jawabanku akan cintanya. Beberapa bulan lalu, Rina memang telah menyampaikan tentang perasaan khususnya padaku. Saat itu kukatakan dengan jujur bahwa aku belum bisa membuka hati untuk dirinya. "Rin, aku sangat berterimakasih atas semua perhatian dan kebaikanku. Namun itu justru membuatku merasa sangat bersalah dan jahat padamu," ujarku dengan sangat hati-hati. Wajah teduh itu kini menatap lurus ke arahku. Perlahan, binar di wajah wajah itu memudar. "Apa--apa kau hendak mengulang pernyataanmu tempo hari?" tanyanya sendu. Mendung kentara membayang di raut itu. Ia seolah sudah bisa meraba arah bicaraku. "Kamu baik sekali, Rin. Terlalu baik malah, sehingga rasanya aku tidak pantas terus-terusan mendapat kebaikan hatimu ...." "Tidak usah bertele-tele, Kak. Kau baru saja menolakku untuk kesekian kalinya, kan?" "Mmm mung--mungkin aku hanya butuh waktu lebih lama lagi untuk bisa memulai hubungan baru, Rin." Kembali aku terbata. Rasanya susah sekali untuk berkata terus terang pada Rina. Ia terlihat sangat rapuh dan lugu, hingga aku terlalu takut menghancurkan hatinya. "Jangan bohongi aku lagi, Kak. Kakak tidak perlu mengkhawatirkan aku. I'm fine. Fine ...." Dengan gerakan terlihat kasar, gadis itu menyeka sudut matanya dengan punggung tangan. Aku mengambil beberapa lembar tissue dan mengangsurkan padanya. "I'm sorry, Rin. I'm so sorry," ujarku dengan suara lirih. Detik demi detik berlalu meninggalkan kami, namun aku hanya menatap ke kejauhan tanpa tahu harus bicara apa lagi pada Rina. Gadis itu terlihat menunduk dalam-dalam. Kami tenggelam dalam kebisuan. "Siapa, Kak?" Gadis itu tiba-tiba mendongak dan menatap penuh tanya. Aku mengibaskan telapak tangan, berharap ia tak memperpanjang pertanyaan absurd itu. "I'm sorry, Rin. Abaikan saja aku. Kamu berhak mendapat laki-laki yang lebih segalanya dariku." "Klise sekali, Kak," gumamnya terdengar putus asa. Sepasang netra itu mulai digenangi air. "Tapi Kakak belum jawab pertanyaanku," lanjutnya protes. Kini ia seakan sedang menguji kedewasaanku mengatasi ini. "Bukan karena siapa-siapa, Rin. Aku cuma masih ingin sendiri. Itu saja." Meski aku tidak yakin bahwa gadis itu bisa menerima alasanku, tetapi untuk saat ini hal inilah yang bisa kusampaikan padanya. Meskipun pahit, tetapi inikah kejujuranku. "Apakah begitu sulitnya untuk bisa mencintaiku, Kak? Apa kekuranganku begitu banyak?" tanyanya dengan wajah yang terlihat begitu terluka. "Ini tidak ada hubungannya denganmu, Rin. Ini semua murni kesalahanku." "Apa yang harus kulakukan lagi agar Kakak bisa jatuh cinta padaku? Coba katakan, Kak!" Satu demi satu, bulir bening mulai turun dari telaga bening itu. Aku menghela napas panjang, mengapa setelah hampir setahun, Rina masih saja terluka seperti ini saat aku berusaha bicara jujur. "Kamu adalah versi terbaik dari seorang gadis di abad ini, Rin. Nyaris sempurna." "Aku pulang, Kak. Terimakasih untuk semuanya ...." Ia berkata dengan nada datar. Setelah mengucapkan itu, Rina sangat cepat membalik badan. Tergesa ia melewati kamar untuk menuju pintu flat. "Rina! Tunggu!" Aku bergegas mengejar dan meraih tangannya. "Kenapa, Kak? Apa yang harus kulakukan lagi?" Ia mengulang pertanyaan itu lagi. Pertanyaan yang membuat hatiku juga ikut sakit. Sebab pertanyaan itu juga kerap melintas di kepala saat melihat sosok Ayana. Sosok yang begitu dekat di hati, tetapi makin jauh dari jangkauan. Bahkan tak lagi terlihat asanya. "Apa harus begini, Kak?" Rina memandang dengan tatapan misterius. Tanpa kuduga, jari-jemarinya mulai melepas kancing blousenya satu demi satu. "Rina! Hentikan!" Aku memprotes keras sembari memalingkan wajah dari pemandangan di hadapanku. "Kau tau, Kak? Aku cinta mati sama Kakak dan rela melakukan apapun demi memenangkan hati Kakak. Kak liat aku!" Tiba-tiba Rina sudah berada tepat di depanku. Tangannya bahkan mencengkeram dagu ini dan memaksa kami untuk saling menatap. Blouse yang ia kenakan telah tanggal sempurna dari tubuhnya dan terlihat teronggok di kakiku. "Rina! Aku tak suka ini!" "Tapi aku suka! Jika ini harus, kenapa tidak? Ada masalah?!" Ia menyeringai sinis. Aku sampai bergidik. Sosok sederhana dan bersahaja yang selama ini kukenal baik kini entah kemana. Apa yang ada dalam pikiranmu, Rin? "Rina! Hentikan!" sergahku panik manakala pelan tetapi pasti, jemari itu tampaknya mulai membuka resleting celana kulot yang ia kenakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD