1. Malam Yang Kubenci
Aku tersentak bangun oleh dingin yang serasa menggigit tulang. Dengan menahan gigil, mataku membuka perlahan. Untuk beberapa detik, kesadaranku belum pulih. Gelap yang melingkupi sekitarku, membuat kepala ini makin terasa pening.
Aku berada di mana? Kenapa semuanya gelap gulita? Mengapa kepala ini terasa begitu berat? Apa ini kamarku? Berbagai pertanyaan langsung menyergap, seiring kesadaran yang mulai datang menghampiri.
Tubuh ini menggeliat pelan. Hal pertama yang kurasakan adalah gesekan kulit tubuhku dengan jok mobil. Aku tersentak bangun meski sedikit terhuyung dan duduk seketika, mengabaikan rasa dingin yang makin menusuk kulit. Kini kesadaranku nyaris 100 persen untuk segera menyadari bahwa tubuhku tidak terhalang oleh selembar benangpun!
Dengan rasa kaget, tanganku terulur ke atap mobil, mencari letak kenop lampu. Aku segera menemukannya karena kusadari betapa familiernya kabin mobil ini bagiku. Ya, bahan jok dan aroma parfum mobil yang menguar adalah bau khas mobil milik Dion, suamiku.
Klik! Pyaar!
Seketika kabin mobil terang benderang, setidaknya cukup untuk membuat mataku segera menangkap pemandangan paling membuatku shock selama umur hidupku hingga detik ini. Sosok yang sungguh di luar ekspektasiku.Tadinya kupikir aku tengah terjebak dalam romansa manis di kabin mobil bersama Mas Dion, pasangan halalku. Tapi ini?!
Dengan kekuatan entah dari mana, aku segera mengenakan pakaianku dengan tergesa. Sama tergesanya ketika dengan kesadaran penuh kulayangkan sebuah tamparan ke pipi lelaki yang bersandar di pojok dengan keadaan tubuh sama polosnya denganku beberapa saat tadi.
Plak!
Tamparan itu bahkan membuat telapak tanganku terasa perih. Karena kulakukan dengan kemarahan yang nyaris membuat kepala dan dadaku meledak.
"b******n! Apa yang kau lakukan padaku, Dave!" hardikku dengan suara menggelegar.
Tubuh polos berdada bidang itu terperanjat. Seketika sepasang mata beralis tebal itu menatap bingung ke arahku. Tanpa kata kata.
"Kenakan pakaianmu cepat, Pengecut!" hardikku ulang sembari memalingkan wajah, menghindari pemandangan aneh dan konyol yang terhampar di hadapanku.
"Apa yang terjadi, Aysa?" Kudengar suara berat lelaki itu bertanya dengan nada bingung. Bingung?! Bulsheet! Dia pikir aku percaya wajah tak bersalahnya?! Benar-benar bajing@n bermuka polos!
"Kau sungguh menjijikkan, Dave!" semburku untuk kesekian kalinya. Detak jantungku masih tak beraturan. Ingin sekali aku mencakar wajah yang bersikap seolah-olah kebingungan itu.
"Apa yang terjadi, Aysa? A--ku--"
"Sudah jelas apa yang sudah terjadi, dan kau masih pura-pura bingung, Bangs*t! Sahabat macam apa yang tega melakukan hal menjijikkan seperti ini pada istri sahabatnya sendiri?!" tanyaku murka.
Air mata meleleh membasahi pipi. Pikiranku benar-benar pepat, bagaimana mungkin Dave bisa melakukan hal sekeji ini padaku? Apa yang akan terjadi jika Dion sampai tahu hal ini? Pembelaan apa yang bisa kukatakan padanya?
"Benarkah? Maafkan aku, Ay. Tapi aku juga benar-benar tidak tah--"
"Bohong! Kau bohong," potongku dengan kalap. Kutendang tulang lututnya yang tepat berada di hadapanku. Tubuh tinggi besar itu tentu saja tak bergeming hanya karena sepakan kaki kecilku. Kini kugunakan sepuluh jariku untuk berusaha mencakar wajahnya.
"Aku akan terima apapun yang kau lakukan jika aku memang salah. Tapi demi Tuhan, aku juga tidak tahu, Ay. Sumpah ...." Dua telapak tangannya yang lebar berhasil menangkap kesepuluh jemari ini, tetapi aku menyentakkannya seketika.
"Jangan bawa-bawa nama Tuhan, Dave. Tidak pantas untuk orang dengan kelakuan sepertimu. Lalu jika bukan ulahmu, lalu semua ini ulahku?!" ejekku sinis.
Seribu kunang-kunang seakan sedang berterbangan di sekitar, hingga membuat pandanganku mengabur. Bagaimana mungkin aku bisa melakukan hal setabu itu dengan Dave sahabat terdekat dari Dion. Atau aku yang selama ini tidak menyadari siapa sesungguhnya sahabat suamiku itu, orang yang sesungguhnya justru paling dipercaya oleh Dion?
Tiba-tiba rasa mual datang mendera. Melengkapi rasa cemas, bingung dan ketakutan yang meneror. Sekuat tenaga aku berusaha mengingat rentetan kejadian yang mungkin terjadi beberapa jam lalu, tetapi nihil. Semua normal-normal saja, aku dan Dave bukan kali pertama berada dalam satu mobil. Tentu saja karena aku dan Mas Dion sudah tak menganggapnya orang lain lagi. Lelaki itu sudah menjadi sahabat Dion jauh sebelum mengenalku.
Tunggu! Aku mulai bisa mengingat kejadian beberapa jam lalu. Suasana meeting di villa yang baru saja selesai, aku yang baru saja menyadari bahwa obat hipertensi harian suamiku habis. Lalu muncul permintaan dari Dion agar aku segera turun dari puncak untuk mencari apotik terdekat dengan diantar oleh Dave. Sampai di sini semuanya masih terlihat okey. Rasanya tidak ada yang janggal. Pun ketika aku duduk tepat di sebelah Dave yang menggunakan mobil suamiku untuk mencari persediaan obat dan makanan kecil sebagai safety selama kami berada di sebuah villa di kawasan Puncak.
Lalu setelah berkendara selama setengah jam, aku merasa Dave telah mengambil jarak yang salah. Tak lama kulihat lelaki jangkung itu menghentikan mobilnya di tepi jalan yang sunyi dan gelap. Saat itu, sesuatu yang tak biasa juga tengah kurasakan di dalam tubuhku. Sebuah dorongan-dorongan tak biasa yang selama ini sangat jarang kurasakan meski sedang intim dengan Dion. Rasa panas dan letupan-letupan gejolak itu juga terlihat di wajah Dave. Samar-samar ingatan akan bayangan pergulatan panas itu mulai terpeta di kepala ini. Bagaimana desah dan peluh memenuhi kabin mobil ini beberapa waktu lalu. Ya, Tuhan ... ini sungguh salah dan memalukan.
"Sebaiknya kita pulang sekarang, Ay. Lebih cepat akan lebih baik. Kuharap Dion tak perlu tahu soal ini." Lamunanku buyar oleh suara bariton itu. Jelas sekali tertangkap nada cemas dalam suaranya.
"Lalu apa tanggung jawabmu!? Kau baru saja menodaiku!" Aku kembali menjerit.
"Apapun yang kau tuntut, Aysa. Meski aku merasa tidak bersalah, tetapi aku siap untuk apapun. Kalau kau ingin aku jujur pada Dion, hal itu akan kulakukan!" sahut Dave dengan suara tegas.
"Kau gila!" semburku getas. Aku tahu bagaimana kerasnya seorang Dion. Ia tak akan tinggal diam pada siapapun yang berkhianat padanya.
"Timpakan semua kesalahan padaku dan biar aku yang bertanggung jawab di hadapan Dion. " Suara itu masih tetap setegas tadi.
Hening tercipta entah untuk berapa lama. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Berterus terang pada Dion, atau lupakan semuanya. Kita hanya punya dua pilihan itu." Akhirnya suara Dave terdengar lagi. Tetapi kali ini jelas ada getaran dalam nada suaranya.
Aku tahu Dave adalah sosok yang cenderung anteng, cool dan misterius. Tetapi dalam situasi ini, ketenangannya tak lagi bisa mendominasi. Siapapun tak mungkin bisa bersikap tenang setelah menyadari baru saja terjebak dalam situasi yang memualkan seperti itu.
"A--pa yang akan kukatakan pada Mas Dion?! Apa?!" Aku masih ingin meluapkan amarah, tetapi yang keluar dari mulutku justru lebih mirip erangan.
"Dia tak perlu tahu soal ini, Aysa," ujarnya setelah keheningan tercipta beberapa saat. Kini lelaki itu kembali seperti semula, terlihat tenang dan sulit kuselami isi kepalanya.
"Kau tahu ini jam berapa?" tanyaku sinis sembari menunjuk pada jam di deretan panel dashboard. Sekarang bahkan sudah lewat dari jam 01 dinihari. Mustahil Dion tak akan bertanya soal ini. Kami pergi seingatku pukul 9 kurang beberapa menit. 4 jam hanya untuk mencari apotik adalah hal tak masuk akal.
"Pliss, Ay. Kamu harus bisa membuat Dion tidak curiga. Untuk itu kita harus membuat alibi yang sama." Dave menyugar rambutnya, tanda kepanikan sesungguhnya belum benar-benar lenyap dari kepalanya.
Aku menghela napas panjang lalu mengembuskannya perlahan, berharap kecemasan ini berkurang sedikit demi sedikit. Meski tanda tanya dan kemarahan pada Dave belum hilang, logikaku tengah bekerja. Saat ini yang paling urgent adalah segera pulang dan membuat suamiku tak pernah tahu soal ini seumur hidupnya.
"Kita akan membuat alasan bahwa mobil ini tiba-tiba mogok di tempat yang sulit sinyal. Ternyata kita telah nyasar dan lain sebagainya. Kau pasti bisa meyakinkan Dion, Ay." Dave memindai wajahku dengan sepasang bola mata coklatnya. Aku mengangguk lemah, berusaha menghitung kemampuanku untuk meyakinkan suamiku. Meski sejujurnya ragu, tetapi aku tak punya pilihan lain selain mengikuti perkataan Dave
"Tapi kamu masih berhutang penjelasan padaku soal ini semua," bisikku lirih sambil menatap tajam wajah bergaris-garis tegas itu.
"Aku dalam posisi tak bisa membela diri, kenyataannya memang jelas terlihat. Tetapi aku berkata jujur, aku benar-benar tidak mengerti semua ini. Tolong beri waktu untuk mengingatnya, Ay. Aku sungguh bingung ...." Kata-kata itu jelas diucapkan sungguh-sungguh. Tetapi pembelaan Dave rasanya tidak masuk akal
Hatiku mulai bimbang. Sesungguhnya sedikit banyak aku paham bagaimana kepribadian Dave. Dion bukanlah orang yang mudah percaya dan dekat dengan seseorang. Jika Rama bisa begitu mempercayai Dave ia pasti pribadi yang sangat bisa dipercaya. Tetapi ....
"Kita pulang, Aysa. Kuharap semua akan baik-baik saja." Tangan kekar itu mulai menyalakan mesin mobil. Sedikit tersendat untuk beberapa detik, akhirnya kereta besi itu mulai meninggalkan jalan yang kiri kanannya sunyi ditelan keangkuhan malam. Entah berada di mana dan kenapa bisa sampai berada di jalan ini, akupun tidak tahu. Hanya sedikit ingatan yang tersisa, rasa haus dan gerah yang kurasakan ketika baru saja meninggalkan villa bersama Dave dan gerakan tiba-tiba lelaki itu saat menghentikan mobil di tepi jalan. Dan setelahnya aku hanya mengingat secara samar-samar. Gairah meletup-letup yang menguasai raga dan telah melumpuhkan logika, menjadi komando bagi kali berdua untuk mengukir malam j*****m ini.
Semakin mendekati Villa milik keluarga Danubrata--mertuaku, hati ini semakin dihinggapi kecemasan. Aku masih tidak yakin bisa bersikap wajar saat pertama kali berhadapan dengan suamiku pasca kejadian menjijikkan tadi.
"Kau baik-baik saja, kan?" tanya Dave dengan suara lirih. Tatapannya penuh rasa khawatir. Tapi itu justru membuat amarahku kembali berpijar. Aku mungkin akan lebih menghargai jika ia mengakui segalanya dengan terus terang dan tidak pura-pura polos seperti ini.
"Tak usah berbasa-basi lagi padaku, Pecundang!" sahutku setengah mirip geraman. Sepasang kaki ini langsung melangkah keluar dari mobil begitu Dave selesai memarkir mobil di garasi villa.
"I'm sorry, Ay. Aku benar-benar tidak tahu apa yang terja--"
Aku memilih mengibaskan tangan dan tak ingin mendengar lagi pembelaan omong kosong itu. Tidak kusangka ucapan yang kupikir sekadar gurauan saja ternyata berakhir seperti ini. Dalam sebuah obrolan santai, Dave pernah berujar ingin calon istri yang bertipe sepertiku. Saat itu aku menanggapinya dengan tertawa kecil saja. Tapi ternyata ucapan Dave tidak lah angin lalu belaka. Tetapi kenapa dengan cara ini ia mewujudkan rasa sukanya padaku?! Hatiku bergejolak gemas.
Ragaku serasa, melayang di udara saat menuju villa paling ujung, tempat aku dan Mas Dion menginap untuk beberapa hari lamanya dalam rangka family gathering dan meeting dari perusahaan keluarga Danubrata. Sementara rekan kerja dan karyawan lain berada di vila vila lain di kawasan ini yang masih dalam kepemilikan keluarga mertuaku. Dengan kunci cadangan yang kumiliki, dengan mudah pintu utama terbuka. Dalam hati aku sempat merapal doa mudah-mudahan Dion tak terbangun dari tidurnya.
"Kamu dari mana saja, Aysa?" Kalimat tanya dari suara khas milik Mas Dion membuatku nyaris pingsan. Bahwa lelaki itu masih terjaga hingga dinihari seperti ini sungguh di luar perkiraan. Wajahku pasti terlihat pucat pasi saat ini.
"A--aku--" Alasan yang sudah kususun sejak tadi kini lenyap sudah dari kepala.
"Ponselmu aktif tapi tak kunjung ada sahutan. Aku sudah menyuruh Parto menyusul kalian tapi tidak ketemu. Apa yang terjadi?" Wajah itu menampilkan raut tanda tanya sekaligus selidik. Aku menahan sekuat tenaga agar tubuh ini tak terlihat goyah, dan tetap bisa membalas tatapan dari suamiku.
"Mobil tiba-tiba mogok di tengah jalan. Sialnya Dave ternyata salah arah. Saking paniknya aku sampai lupa mengecek ponsel. Mungkin waktu ada panggilan darimu, aku sedang membantu Dave mengecek mesin dengan memberinya penerangan. Hujan deras pula, Mas." Setelah menghela napas beberapa kali, akhirnya alibi yang sempat ku susun bersama Dave lancar kukatakan di hadapan Mas Dion
"Mogok? Daerah mana itu? Aku hafal daerah sini, Ay." Tanda tanya makin jelas terpatri di wajah Mas Dion.
"Ak--aku kurang paham, Mas. Yang jelas kami tersasar, mogok dan hujan sangat lebat. Besok kucari tau daerah mana itu," jelasku berusaha tetep terlihat santai saat menjawab.
"Ya sudah. Aku masuk dulu ke kamar, sudah ngantuk. Kamu langsung tidur juga, Ay. " Akhirnya setelah ada keheningan untuk beberapa detik, suara khas Dion menghentikan teror di kepalaku.
"Terimakasih, Mas." Kalimat itu meluncur begitu saja, mungkin karena kelegaan amat sangat yang kurasakan.
"Terimakasih? Untuk apa?!" mas Dion mendekat sambil memicingkan mata. Aku menahan napas saat jarak kami hanya tinggal beberapa inci.
"Ah forget it! Tidak penting juga, bukan?" mas Dion tertawa kala menjawab pertanyaannya sendiri. Lalu tanpa aba-aba, ia menyatukan bibir kami dalam hitungan detik. Gerakan lidahnya yang terasa mendominasi, membuat napasku menjadi tersengal-sengal.
Ketika ia menjauhkan wajahnya, sontak aku menghirup udara dalam-dalam untuk mengisi paru-paru yang terasa sedikit sesak.
"Good night, Sayang." mas Dion beranjak menaiki tangga yang menuju ke lantai atas. Sementara aku mulai membangkitkan sisi kesadaranku. Tak berapa lama, aku sudah berada di kamar mandi dekat area kitchen di lantai dasar. Membiarkan tubuhku basah di bawah shower yang terus menerus mengguyur. Aroma khas tubuh Dave seakan tetap lengket meski berulang kali aku membubuhkan body soap dan mengguyurkan air berulang-ulang. Aku baru berhenti manakala tubuh ini mulai menggigil dan jari-jari tanganku terlihat mulai berwarna putih pucat.
Saat aku telah berada di kamar, kulihat Mas Dion sudah terlelap dengan dengkur halus yang terdengar. Aku bersyukur ia telah tertidur pulas, sehingga tak punya kesempatan lagi untuk mencecarku dengan pertanyaan yang menyudutkan. Terus terang, degub jantungku terasa belum kembali normal akibat kejadian tak masuk akal tadi. Aku berharap semoga Mas Dion tak menaruh kecurigaan apapun pada kami dan segera melupakan keanehan malam ini.
Dengan gerakan sangat hati-hati, aku menaiki pembaringan dan menyelusupkan tubuh ke dalam selimut yang sama dengan suamiku. Dari samping, aku bisa melihat garis wajah keras milik Mas Dion. Satu hal yang pasti, lelaki ini sangat mencintaiku. Tetapi mungkinkah cintanya yang besar bisa membuatnya memaklumi kesalahan fatal ini suatu hari nanti?