2. Sebuah Permintaan

1437 Words
"Mas. Boleh aku meminta sesuatu pada Mas?" Dalam keheningan dan kehangatan yang beberapa saat tercipta, Fatima pun mulai bersuara. Atensi Zharif langsung ia kerahkan semuanya pada sang istri. "Ya. Apa pun itu akan Mas berikan." "Tolong, panggilkan sahabatku. Aku ingin berbicara dengannya. Secara langsung. Tidak melalui telepon." "Sahabatmu? Kenapa dia tidak ada di sini menemanimu?" "Aku tidak memberitahukan ini semua, Mas. Aku takut dia khawatir." "Siapa namanya?" "Almira. Almira Chana Hazimah," ucap Fatima lirih. "Suruh dia ke sini, ya, Mas. Aku ingin berbicara padanya. Sekarang." Zharif tersenyum sembari mengusap kepala Fatima. "Apa kamu tidak apa-apa kutinggal sebentar?" "Tidak apa-apa, Mas. Tak perlu khawatir." "Hm, aku ragu. Baiklah. Mas akan minta Suster Dian untuk menemanimu sebentar." Fatima tertawa kecil. "Iya, Mas. Aku akan menurut," ungkapnya. Mendengar tawa itu, Zharif merasa yakin bahwa semuanya akan kembali seperti dulu kala. Sungguh, ia sangat senang. Doanya telah diijabah oleh Allah. Sebelum pergi, Zharif menghadiahkan Fatima dengan kecupan lembut di dahi. Fatima memejam saat bibir Zharif begitu terasa di dahinya. Ia ingin waktu berhenti sesaat. Namun, semua sudah tersusun sesuai ketetapan-Nya. Tak ada yang bisa mengubah suatu ketetapan dari-Nya. Seperti kematian yang telah Allah tetapkan sejak lama. Jika Allah berkata "terjadilah," maka terjadilah itu. Kini, Fatima akan menemui takdirnya. Hanya saja ia ingin mengungkapkan permintaan terakhirnya sebelum malaikat maut mencabut ruh dalam dirinya.  *** Pagi semakin memancar. Mentari tanpa malu-malu menampakkan sinar terangnya ke penjuru kota. Birunya langit terhampar luas layaknya samudera di lautan. Begitu indah dan memanjakan mata. Sementara indra pendengar dan penciuman, masing-masing dimanjakan oleh cuit-cuitan burung yang saling bersahut-sahutan dan sejuknya aroma pagi yang masihlah minim polusi. Duhai, nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan? Tampak seorang hawa berwajah cerah dengan manik obsidiannya yang berbinar indah. Kedua tungkai di balik jilbab hitam itu melangkah pasti menuju sebuah kedai roti. Seperti biasa menjaga kedai tersebut di pagi hari. Sekaligus membuat roti bermacam rasa dan bentuk yang merupakan hobi yang paling sosok itu sukai. Almira, sosok hawa itu. Pemilik juga pengelola kedai yang telah terbangun sejak setahun ia lulus SMA. "Iya, nih. Mira lagi sibuk di kedai. Iya, biasa, Bun. Harus datang lebih pagi sama yang lainnya." Almira tampak berbincang dengan seseorang di balik telepon sembari mengelap etalase roti. "Nggak ganggu kok, Bun. Lagian jam segini pelanggan belum-" Ucapannya terhenti ketika terdengar suara lonceng kedai berbunyi. "Almira tutup dulu, ya, Bun. Nanti dihubungi lagi. Sayang Bunda." Almira bergegas menaruh gawainya di kantong celemek bercorak coklat yang ia pakai. "Selamat datang di kedai ro-" Almira terdiam. Matanya menatap sesosok pria yang dikenalnya tampak tersenyum lebar. Kemudian, tertegun ia kala melihat sesosok pria lain yang berdiri tak jauh dari kedainya. Sosok yang ia kenal tampak memperhatikan kedainya. Terlihat jelas di pintu kedai yang transparan itu. "Fikar?" gumam Almira yang masih bisa didengar oleh pria itu. "Alhamdulillah, kamu masih ingat. Kirain udah lupa." Fikar terkekeh sembari mengusap tengkuknya sedikit salah tingkah. "Gimana kabarmu, Almira?" Almira mengangguk kecil dengan pikirannya yang masih terbagi. Sosok pria lain yang ia kenal itu masih berdiri di tempatnya berpijak, dengan mata menyorot fokus ke kedainya. Entah kenapa. "Almira?" "Eh? Apa? A-aku baik, kok." Fikar tersenyum tipis. "Kamu masih belum berubah, ya," ucapnya dengan mata bersorot lembut dan ada pancaran cinta di sana. "Tetap sama sejak terakhir kita ketemu," gumamnya yang hanya ia sendiri bisa dengar. "S-silakan duduk dulu, Fik. Maaf ya, masih ada yang harus aku kerjakan sebentar," ucap Almira merasa tidak enak hati. Fikar mengulas senyum. "Tidak apa-apa," ucapnya. Asalkan itu kamu, aku rela menunggu, Mira, batinnya kemudian. Dengan sedikit tak enak hati, Almira pun berlalu dari hadapan Fikar. Matanya lalu menyorot ke pintu kedai dan sosok itu masih tetap berada di sana. Almira semakin heran, bertanya-tanya ia tentang sosok itu. ***  Dirasa pekerjaan sudah sedikit lengang, Almira pun menghampiri Fikar yang sudah lama duduk di pojokan medai. "Maaf, Fik. Pasti kamu lelah menunggu," ucap Almira yang sekejap langsung mencipta senyuman dari wajah Fikar. "Tidak apa-apa. Sampai seharian pun aku rela menunggumu, Almira." Fikar menatap Almira lekat. Tatapannya sarat akan sesuatu yang lain. Hanya saja, Almira tidak menyadari itu dan malah tertawa geli. "Kamu tidak berubah, Fik," balas Almira. "Nah, sekarang, apa? Ada yang ingin kamu bicarakan denganku?" Almira bertanya kemudian. Tampak gestur Fikar yang salah tingkah. Namun, Almira tidak memahami gestur itu dan hanya diam saja, menunggu lelaki itu untuk menyatakan maksudnya. Sementara itu, Fikar menghela napas panjang. Mungkin, ia pikir inilah saatnya. Saat yang tepat dalam melakukan sesuatu yang nekat. Apa pun resikonya nanti, akan ia terima dengan lapang d**a. Ini adalah tujuan awalnya. Semoga apa yang ia inginkan menjadi kenyataan. Tangan kanan Fikar mulai merogoh saku jasnya. Menggenggam kuat kotak bludru berwarna merah yang ada di sana. Lalu dengan gerakan perlahan ia tarik kotak itu keluar dari saku. Hanya saja, pergerakannya terhenti saat lonceng kedai berbunyi dengan nyaring. Secara tiba-tiba, bersaman pula dengan Almira yang berdiri secara mengejutkan. Fikar mengerutkan dahinya. Apalagi saat Almira diam di tempat dengan satu fokus tertuju ke satu pusat. Pada seorang lelaki berkemeja putih yang baru saja memasuki kedai. "Almira Chana Hazimah? Itu kamu?" tanya pria berkemeja itu pada Almira. Fikar menyadari bahwa Almira terlihat terkejut dan salah tingkah saat pria berkemeja itu bertanya padanya. Fikar lantas menghampiri Almira dan berdiri di samping gadis itu. "I-iya. Ada apa?" "Maaf telah lancang memasuki kedaimu yang tutup. Sebelumnya, aku ingin bertanya. Kamu sahabatnya istri saya, Fatima Inara, bukan?" "Iya. Kenapa dengan Fatima?" "Fatima ingin bertemu denganmu. Dia ...." Entah kenapa Almira langsung merasakan sesuatu yang tidak beres terjadi pada sahabatnya. Khawatir menelusup. Sehingga tanpa sadar, Almira berucap sedikit tinggi dengan nada mendesak. "Kenapa Fatima?!" "Fatima ... Fatima masuk rumah sakit." "Innalillahi wa inna illaihi roji'un," ucap Almira lirih. Tangannya membekap mulutnya, matanya pun mulai berkaca. "Allahu Rabbi. Kenapa Fatima tidak bilang padaku?" tanyanya tidak menyangka dan tebersit kecewa. Ternyata, lama tidak adanya kabar dari Fatima itu dikarenakan masuk rumah sakit. Allahu Rabbi. "Dia tidak ingin kamu khawatir." "F-fatima sakit apa? Sudah berapa lama?" "Kanker otak. Sudah dua pekan ia dirawat." "La hawla wala quwwata illa billah. Ya Allah, Fatima." Air mata leleh, tak kuasa ia bendung. Membasahi kedua pipi, menganak sungai di sana. Fikar yang ada di samping Almira mencoba untuk menenangkannya dengan mengucapkan kalimat-kalimat penenang. Ingin sekali ia memeluk Almira. Menyalurkan kehangatan yang ia punya. Namun, apalah daya. Ada tabir yang menghalangi mereka. Tabir itu adalah hubungan mereka yang sama sekali belum terikat. Alias mereka haram untuk bersentuhan. "Istriku ingin kamu datang sebab ia ingin menyampaikan sesuatu padamu. Dan tujuanku adalah menjemputmu, untuk menunaikan perintah istriku." "Ba-baik. Antar saya menemui Fatima." Almira mengusap pelan air matanya. Lalu diarahkannya pandangannya kepada Fikar. "Fikar, temani aku bisa?" pintanya. "Tentu saja." Lalu, mereka pun segera pergi menuju rumah sakit. ***  Suasana haru begitu terasa di ruangan itu. Almira menangis tersedu-sedu sembari memeluk Fatima yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Almira tak henti mengucapkan kalimat penuh kekesalannya saat tahu bahwa Fatima telah sakit sejak lama dan selama itu pula Fatima merahasiakan semuanya. Fatima mencoba untuk menenangkan Almira, mengucapkan kalimat-kalimat penuh pengertian kepada Almira. "A-apa gunanya sahabat? Kita sudah berteman sejak SMP! Kenapa kamu tega tidak memberitahukan sakitmu padaku, Fatima? Ketahuilah, a-aku merasa jahat! Bisa tersenyum, tertawa, sementara kamu? Lihat? Kamu terbujur sakit di sini, Fatima! Ya Allahh." Almira terus meluapkan rasa kekesalannya. Rasa kesal yang berbalut rasa kasih dan sayang sebagai seorang sahabat. Definisi sahabat adalah ibarat mata dan tangan. Saat mata menangis, tangan yang akan menghapusnya. Saat tangan merasakan sakit, maka mata yang akan menangis. Itulah yang dirasakan Almira terhadap sosok Fatima saat ini. Perempuan itu merasa sakit, melihat keadaan Fatima yang jauhlah dari kata baik-baik saja. "Maafkan aku, Almira. Maaf." Almira mengusap air matanya pelan. "Aku tidak butuh maafmu. Yang aku butuhkan hanyalah kesembuhanmu, Fatima." Fatima tersenyum tipis. Lalu ia melirik Zharif yang berdiri didekatnya, pun dengan sesosok lelaki yang tidak ia kenal, berdiri di samping Zharif. Fatima mengisyaratkan kepada suaminya untuk meninggalkan ia dan Almira di ruangan ini. Zharif mengangguk dan segera keluar dari ruangan, diikuti oleh Fikar tak lama kemudian. "Almira, bisakah kamu menuruti permintaanku?" tanya Fatima tiba-tiba. Almira hanya diam. Ia merasa ada sesuatu hal yang penting, yang akan Fatima sampaikan. Sesuatu yang mungkin akan mengubah hidupnya. Entahlah. Hanya saja Almira merasakan begitu adanya. "Takdir akan segera menemuiku. Dan aku tidak ingin pergi begitu saja tanpa meninggalkan sesuatu." "A-apa maksudmu?" Almira mulai buka suara. Timbul gelenyar-gelenyar khawatir dalam dirinya. Takdir? Meninggalkan sesuatu? Apa maksud dari Fatima? batinnya merasa tidak tenang. "Kamu tahu, bukan? Anakku, Rayya. Ia masihlah kecil. Butuh sosok ibu untuk menyongsongnya menjadi gadis yang lebih baik. Tidak hanya peran ayah, tapi ibu juga perlu," ucap Fatima pelan dengan penuh kesungguhan. Sementara Almira, masih diam mendengarkan. "Aku mempercayakanmu, Almira. Kamu adalah jawaban atas segala kegelisahanku selama ini. Karenamu, aku bisa pergi dengan tenang." "Fatima! A-apa maksudmu?!" Fatima seolah-olah akan pergi meninggalkan kehidupan ini dan itu membuat Almira sangat khawatir sampai-sampai berucap dengan intonasi yang tinggi. Fatima tersenyum dengan bibirnya yang begitu pucat. Genggamannya di tangan Almira semakin menguat. Pun dengan segala keputusannya yang mutlak. Semoga ini memang yang terbaik. Sebab Fatima yakin, apa yang timbul di hatinya ini berasal dari pada Dzat Pemilik Kehidupan dan Kematian. Allahu Rabbi. B e r s a m b u n g . . . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD