1. Antara Kehidupan, Kematian, dan Takdir

1737 Words
Di ruangan serba putih, penuh akan peralatan medis, dan tercium aroma khas yang tak sedikit orang tidak menyukainya. Sayup-sayup terdengar suara mesin pencatatan aktivitas jantung, yakni elektrokardiograf. Berbunyi dengan layarnya yang menunjukkan grafis naik-turunnya aktivitas jantung. Sesosok hawa terbaring antara hidup dan mati. Mata tertutup dengan wajah terbingkai kerudung putih bersih, serta mulut yang tertutupi oleh alat bantu pernapasan. Tampak kaku badannya, tampak pucat wajahnya. Namun, alangkah bersihnya sosok itu tersebab pakaian serba putih yang dikenakannya. Di sisi lain, tampak pria berwajah kuyu dan berpenampilan kusut. Menatap harap sesosok dokter yang baru saja memeriksa sosok yang terbaring di pembaringan. Wajah dokter yang tampak muram, mengundang tanya pria berkemeja itu. "Bagaimana keadaannya, Dok?" Mata bersorot tajam dengan alis tebal itu pancarkan harap. Sementara gurat wajah tampilkan kecemasan. Tak dimungkiri bahwa aura kurang tidur tampak sekali di wajahnya yang rupawan itu. "Semakin menurun, tidak ada peningkatan sama sekali," balas dokter dengan nada bicara lemah. Sebisa mungkin untuk berhati-hati dalam berucap. Mendengar hal tersebut, membuat kedua bahu pria berpenampilan kusut itu merosot. "Apa ada kemungkinan untuknya bertahan, Dok?" "Maaf. Saya hanya bisa mengatakan kemungkinan sepuluh persen untuknya bertahan." "Laa hawla wa laa quwwata illa billah," gumam pria itu dengan parau. Terduduk ia dengan lemas. Bersamaan itu pula, datanglah sesosok bocah kecil yang dengan gontai berjalan ke arahnya. Bocah berkerudung merah muda yang memeluk boneka tedy putih berpita senada pula dengan kerudungnya. Pemilik wajah imut dengan pipi gembul itu tampak mengantuk. Terlihat dari sorot mata belonya yang tidak bercahaya. "Papa, Ayya ngantuk." Rayya. Nama bocah kecil berumur tiga setengah tahun itu. Bergelayut manja di pangkuan papanya. Semalaman gadis kecil itu tidak dapat tertidur. Tak heran jika sepagi ini Rayya terkantuk-kantuk. "Tidurlah, Sayang. Doakan Mama semoga lekas sembuh, oke?" "Hu' um." Rayya mengangguk dengan mata yang mulai terpejam. Bersandar ia di d**a Zharif sembari memeluk erat bonekanya. Zharif mengusap lembut kepala Rayya sembari melantunkan surah-surah pendek sebagai pengantar tidur gadis kecil tersayangnya. Zharif merupakan sosok ayah sekaligus suami yang sabar. Senantiasa menjadi ayah bagi si kecil Rayya dan suami bagi Fatima yang sedang berjuang melawan penyakitnya. Sudah masuk Ahad ke dua, Zharif bolak-balik dari rumah ke rumah sakit untuk istri dan juga anaknya. Ia kesampingkan kesehatannya sendiri. Ia kesampingkan pekerjaannya sendiri. Demi dua orang yang paling ia cintai di dunia ini: istri dan anak satu-satunya. Istri Zharif, pun ibu biologis dari Rayya, yaitu Fatima tengah mengidap penyakit ganas. Penyakit yang terjadi sebab adanya ketidakteraturan perjalanan hormon. Sehingga tumbuhlah daging pada jaringan tubuh normal. Pada kasus yang menimpa Fatima, penumbuhan itu terjadi pada bagian otak. Ya, sebut saja penyakit ganas dan mematikan itu adalah kanker otak. Untuk saat ini Fatima sedang menjalani terapis kemo. Hanya saja kesehatan Fatima semakin menurun. Hal tersebut membuat dokter hanya bisa bertawakal dan menganjurkan Zharif untuk selalu berdoa. Semoga berkat doa tersebut mendatangkan keajaiban, yang membuat Fatima bisa bertahan dari penyakit ganasnya dan mampu meraih kesembuhan secara perlahan. Sebab kita tahu bahwa pertolongan Allah itu ada. Allah tak akan pernah menyia-nyiakan doa hamba-hamba-Nya yang berserah dan percaya betapa Maha Besar Kuasa Allah. Si kecil Rayya sudah terlelap mengarungi dunia mimpi. Perlahan Zharif menggendongnya dan membawanya menuju sofa yang berada di pojok ruangan. Dibaringkannya sosok mungil itu di sana. Kecupan singkat ia layangkan kepada Rayya dan berbisik pelan ia di telinga gadis kecil itu. Ucapkan selamat tidur dan ungkapkan afeksi hati. Rayya tampak menggeliat mencari posisi yang nyaman. Setelah itu, barulah Rayya terdiam dengan posisi menyamping. Ditemani boneka tedy yang ia peluk bak sebuah guling. Zharif pun beranjak menghampiri sang istri yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Berbagai alat terpasang di sekujur tubuhnya. Salah satu alat medis, yakni alat bantu pernapasan, membuat Zharif sedikit sulit memandangi wajah sang istri secara sempurna. Namun, biarpun begitu masih ada mata teduhnya yang bisa ia pandangi. Meski tertutup, Zharif masih merasakan betapa teduhnya mata itu. Mata indah berbinar cerah yang sangatlah dirindukannya. Zharif tersenyum miris. Matanya pancarkan perasaan sedih dan terluka yang seolah menyatu, berkolaborasi sempurna, kemudian menciptakan rasa sesak dalam d**a. Perlahan digenggamnya erat tangan kurus Fatima, lalu dikecupnya lembut dengan seluruh perasaannya. "Sayang, bangunlah. Kembalilah ke pelukanku. Aku merindukanmu. Suaramu, tawamu, senyummu, tatapan teduhmu. Semua tentangmu aku merindukannya. Bangunlah dan bertahanlah. Kumohon," ucap Zharif parau. Mata lelahnya tampak berkaca. Zharif sangatlah terluka. Melihat belahan jiwa terbaring lemah di sana. Jikalau bisa, Zharif rela menggantikan posisi itu sekarang. Apa pun itu, demi kekasih hatinya. Agar setiap detik, menit, dan jam tidak terbuang percuma, Zharif pun meraih Al-Qur 'an yang terletak di nakas. Dibacanya kitab suci umat muslim itu dengan tartil dan sarat akan perasaan. Lantunan merdu dari Zharif terdengar ke penjuru ruangan. Lantunan kecil yang tersirat harap untuk kesembuhan istrinya. "Allaziina yazhunnuuna annahum mulaaquu robbihim wa annahum ilaihi rooji'uun ...." Leleh sudah air mata Zharif saat membaca ayat tersebut. Ia tahu makna yang terkandung, yang seketika itu pula langsung membuatnya sesak. Terealisasikan kemudian oleh buliran air mata yang mengalir dari mata, dan turun perlahan menuju rahang. "(yaitu) mereka yang yakin bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 46).  Biar bagaimanapun Zharif harus berusaha untuk ikhlas jika ternyata istrinya akan dijemput oleh maut. Sebab yang berjiwa pasti akan merasakan mati. Mutlak adanya. Sekalipun berlindung pada suatu benteng yang tinggi lagi kokoh, kematian pasti akan menemui jodohnya. Zharif akan mencoba ikhlas jika malaikat Izroil menarik ruh sang istri. Namun, ia tak akan berhenti berdoa kepada-Nya dan berharap kepada-Nya. Semoga saja istrinya masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini. Yakinlah. Bahwa pertolongan Allah itu ada. ***  Zharif sudah semakin segar dan tampak sedikit berseri wajahnya setelah dari Mushola rumah sakit. Matanya terarah pada sesosok mungil yang masih anteng tertidur di sofa. Senyum terulas begitu manis. Lalu, pandangannya beralih kepada sosok di pembaringan. Seketika, senyum itu berubah auranya menjadi senyum miris berbalut pilu. Melangkah pelan ia menghampiri sosok itu. Tangan besar Zharif mulai meraih tangan ringkih empunya Fatima. Digenggamnya lembut, lalu diarahkannya tepat ke area jantungnya berada. Zharif memejam perlahan. Merasakan detak jantungnya dan mengikuti tempo detak itu dalam pikirannya. Detakan demi detakan bak terabsen satu per satu. Detakan yang seketika itu pula membuatnya rileks dan nyaris terbuai dalam tidur. Tiba-tiba saja, layaknya keajaiban, jari-jemari kurus Fatima terasa bergerak dalam genggaman. Spontan Zharif terkejut dan segera menekan tombol darurat di atas tempat tidur. Tak lama kemudian, datanglah dokter. Dengan cekatan dokter mulai memeriksa keadaan Fatima. Sementara itu Zharif hanya bisa melihat dengan kedua tangan tertaut. Harap-harap cemas. Semoga saja ini merupakan jawaban atas semua doa-doanya. "Ma syaa Allah tabarakallah. Ini keajaiban. Kesehatan Fatima berangsur membaik. Hanya saja tetap perlu untuk ditangani lebih ekstensif," ucap dokter dengan senyum semringah. "Alhamdulillah, Allaahuakbar," ucap Zharif mengusap wajahnya dengan kasar. Kelegaan luar biasa menyapa dirinya. Pria itu tak henti mengucap syukur ke hadirat-Nya. Benar-benar keajaiban yang membahagiakan. Maha Baik Allah, yang telah Mengabulkan doa-doanya. "Saya izin pamit dulu. Kalau ada apa-apa, tekan tombol di atas atau tidak panggil saja saya langsung," ucap dokter dengan senyum lebarnya. "Baik, Dokter. Terima kasih banyak." Sepeninggal dokter, langsunglah Zharif menghampiri sang istri. Kini, mata teduh itu perlahan mulai menampakkan kilauan ajaibnya. Selalu sukses membuat Zharif jatuh cinta, bahkan sejak pandangan pertama. "M-mas," panggil Fatima parau. Zharif memajukan tubuhnya lebih dekat pada Fatima. Tangannya tak pernah lepas dari menggenggam tangan Fatima. "Iya, Sayang. Ada apa?" "Rayya. Di mana Rayya? G-gadis kecil kita." "Rayya tertidur. Apa perlu aku bangunkan? Rayya pasti senang melihat mamanya sudah siuman," ucap Zharif dengan mata berkaca-kaca. Fatima tersenyum dengan bibirnya yang memutih. Begitu pucat. "Biarkan saja dia, Mas. Biarkan Rayya tidur," sahut Fatima serak. "Hm, ya." "M-mas. Aku mendengar suara merdu Mas melantunkan ayat suci saat aku ada di ruangan putih. Bisakah ... bisakah Mas melantunkannya kembali untukku?" Zharif rasanya ingin menanyakan perihal "ruangan putih" itu. Hanya saja ia lebih memilih menuruti keinginan Fatima untuknya membacakan kembali ayat suci Al-Qur 'an. Zharif memilih surah favorit Fatima untuk dibacakan, yakni Yasin. Sebab katanya, surah tersebut memotivasinya untuk selalu melakukan kebaikan dan menyampaikan kebenaran. Serta memotivasinya untuk senantiasa tegar terhadap segala kemalangan. Dalam surah Yasin terdapat kisah tentang seorang pemuda yang menyeru untuk beriman kepada apa yang dianut oleh Rasulullah. Menyeru untuk membenarkan apa yang Rasul bawa. Hanya saja pemuda itu diinjak-injak sampai mati karena seruannya itu. Maha Baik Allah, Pemilik alam semesta. Pemuda itu dibalas Allah dengan surga. Diberi-Nya pemuda itu kemuliaan. Sang pemuda takjub, merasa tidak menyangka atas kemuliaan yang Allah beri. Bahkan, pemuda itu ingin rasanya kembali ke dunia untuk menyampaikan apa yang menyebabkan ia diberi surga dan diberi kemuliaan oleh Allah kepada orang-orang yang menginjaknya. "Dikatakan (kepadanya), 'Masuklah ke surga.' Dia (laki-laki itu) berkata, 'Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang telah dimuliakan'." (QS. Ya-Sin 36: Ayat 26-27) "Qiiladkhulil-jannah, qoola yaa laita qoumii ya'lamuun. Bimaa ghofaro lii robbii wa ja'alanii minal-mukromiin ...." Suara Zharif yang merdu dan tampak khusyuk dalam membaca, membuat Fatima tak mampu melunturkan senyum. Matanya terpejam. Mencoba meresapi dan menghadirkan Allah di hati dengan perantara pembacaan kalamullah itu. Tangannya tak pernah lepas menggenggam tangan Zharif. Bagaikan lenyap seperti debu yang ditiup, jika genggaman itu terlepas barang sedikit saja. Fatima beruntung. Benar-benar sangat beruntung. Mempunyai suami yang senantiasa sabar dan mencintainya sepenuh hati seperti Zharif. Selama hampir enam tahun ini Zharif menemaninya dalam suka maupun duka. Namun, Maha Besar Allah, enam tahun itu hanya cukup untuknya dalam membersamai kisah. Sisanya, ada takdir yang menunggu di depan sana. Fatima hanya menunggu. Menunggu Zharif untuk menemuinya di surga-Nya nanti. Air mata Fatima leleh, menyadari bahwa takdir akan segera menjemputnya. Genggamannya kian mengerat, membuat Zharif menghentikan lantunannya dan memilih untuk memandangi sang istri dengan raut khawatir yang begitu kentara. "Ada apa, Sayang? Apa ada yang sakit? Mau Mas panggilkan dokter?" Fatima menggeleng dengan senyum manisnya yang tak pernah pudar. "Tidak, Mas. Aku hanya ingin agar genggaman ini tidak terlepas. Untuk terakhir kalinya." "Apa yang kamu bicarakan? Ini bukan akhir. Kamu akan sehat, itu kata dokter. Mas akan berusaha menjadi suami yang lebih baik lagi untuk kamu. Percayalah." Ketahuilah, Zharif merasakan sesuatu yang mungkin juga Fatima rasakan. Hanya saja, Zharif mati-matian membantah segala spekulasi di dalam dirinya. Ia mencoba untuk optimis bahwa Fatima pasti akan sehat seperti dulu lagi. Fatima semakin memperlebar senyumannya. Di kala sakit pun, Fatima masih terlihat cantik. Bahkan kini, wajahnya tampak bersinar. Bak bidadari yang dirindukan surga. "Ya. Aku harap kedepannya, kamu akan menjadi suami yang lebih baik lagi, Mas." "Pasti. Yang penting kamu harus bertahan, oke? Mas selalu ada untukmu." Zharif mengecup punggung tangan Fatima cukup lama. Lalu beralih mengecup kepala Fatima yang terbalut kerudung berwarna putih bersih. Zharif merasa, bahwa Fatima akan sembuh tak lama lagi. Membuatnya tersenyum dengan pancaran kasih sayang tak lepas dari sosok istri yang begitu ia cintai itu. B e r s a m b u n g . . . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD