Babak Satu

3069 Words
Jika memang benar ada keajaiban yang bisa mengabulkan setiap keinginan manusia, Eleanor mengharapkan satu mimpinya terkabul: terlahir kembali sebagai manusia yang berbeda. Asalkan keinginannya terkabul, Eleanor rela melakukan apa pun, bahkan jika harus ditukar dengan beberapa tahun hidupnya. Harga apa pun yang diminta untuk pertukaraan, Eleanor rela. Hidup dalam sebuah kerangka mimpi adalah hal yang ingin dihindarinya. Dia ingin mengecap manisnya sebuah kebebasan. Semua anak perempuan bermain bebas dan memilih pakaian cantik. Semua anak, tapi tidak dengan Eleanor. Takdir telah memilihkan warna muram untuk Eleanor; ayah Eleanor meninggal ketika istrinya tengah mengandung, lalu tak lama kemudian, sang istri menyusul kepergian sang suami tepat di saat Eleanor terlahir ke dunia. Gadis itu tidak mengenal kedua orangtuanya. Dan mungkin, dia tidak mengerti konsep sebuah keluarga. Eleanor tinggal bersama neneknya yang bernama Maria. Wanita itulah yang pada akhirnya membesarkan Eleanor. Kehilangan putri dan menantu membuat Maria menjadi seorang penganut kepercayaan ortodoks. Setiap pagi ia pergi mengunjungi kuil Dewi Serinity untuk meminta restu dan anugerah, menganggap hal baru sebagai sebuah penistaan, dan tidak menerima perubahan. Serenity sendiri sebenarnya diasosiasikan dengan kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan. Dewi yang begitu dipuja Maria itu disebut sebagai penguasa terang. Maria menganggap segala kemalangan yang menimpa putri dan menantunya disebabkan oleh dosa-dosanya yang tak terampuni. Semua dosa, dan satu-satunya yang bisa membebaskan Maria dari dosa hanyalah Serenity. Wanita itu berkata kepada si kecil Eleanor, ″Serenity akan mendengar setiap doa yang dipanjatkan manusia.″ Eleanor hanya bisa memandang murung patung wanita bersayap yang ada di kuil terang, sadar bahwa apa yang diinginkannya tidak mungkin terwujud. Eleanor ingin kedua orangtuanya dihidupkan kembali, dan permohonan semacam itu tidak akan terkabul. Wanita tua yang tinggal di samping rumah Eleanor pernah berkata, ″Nak, semua yang mati tidak akan kembali pada mereka yang masih hidup.″ Kadang-kadang Eleanor merasa bahwa dia ditakdirkan hidup seorang sendiri. Pikiran semacam ini—pikiran yang menganggap bahwa mereka tidak memiliki siapa pun di sampingnya—benar-benar menyakitkan. Tetapi, apa yang dipikirkan Eleanor mengenai kesendirian tidaklah terlalu menyedihkan jika dibanding dengan apa yang harus diterima nantinya. Masa depan; kedua kata ini merupakan misteri bagi manusia, sedangkan masa lalu; kedua kata ini hanya akan diingat manusia sebagai kenangan. Kebanyakan manusia lebih tertarik pada hal-hal yang tidak bisa ditangkap nalar; cara menghindari maut, rahasia keabadian, dan masa depan. Mungkin, Serenity yang dipuja Maria, dewi terang itu memiliki caranya sendiri dalam menyayangi umatnya. Terkisah di Euthoria, Serinity memberikan berkat terang kepada manusia terpilih berupa sebuah kemampuan. Kemampuan yang disebut dengan mata dewa. Siapa pun pemilik mata dewa, mereka diberi keistimewaan menyingkap tabir waktu. Berkat terang yang begitu diidamkan semua manusia itu jatuh pada seorang gadis kecil. Ya, Eleanor memiliki kemampuan mengintip ruang waktu. Kilasan kejadian yang akan terjadi, Eleanor bisa menarik benang kilasan tersebut. Meski kilasan tersebut tidak datang sesuai kehendak Eleanor; dia tidak bisa mengatur kilasan yang ingin dilihatnya, semuanya datang seperti angin—tak terkira, tak tertebak. Dia hanya berperan sebagai seorang penonton. Seharusnya kemampuan ini bisa disembunyikan Eleanor, tak seorang pun akan menyadari perbedaan yang dimiliki oleh seorang Eleanor. Andai saja, Eleanor memilih bungkam dan menjalani lakon sebagai penonton yang baik, mungkin dia tidak akan menyesali kehidupan di masa mendatang. Pada suatu ketika, saat dia dan Maria pergi berbelanja. Tepat saat Eleanor berada di salah satu penjaja buah, dia melihat sebuah gambaran. Kereta yang ditarik kuda-kuda dengan tatapan liar, kereta tanpa pengemudi itu datang dan menghancurkan kios buah. Tanpa ragu si kecil Eleanor mengungkapkan apa yang dilihatnya kepada Maria. Tentu saja wanita itu hanya tertawa menanggapi Eleanor sebagi celoteh anak. ″Benar-benar akan terjadi,″ ucap Eleanor, kukuh mempertahankan pendirian. ″Sayang,″ kata Maria. ″Di sini tidak ada kereta kuda.″ ″Memang,″ ucap Eleanor membenarkan perkataan Maria. ″Untuk saat ini kita belum melihat kedatangan kereta yang kumaksud, namun, beberapa saat lagi akan datang sebuah kereta kuda. Kereta dengan dua kuda hitam yang menariknya. Nenek, kita harus pergi.″ ″Nyonya,″ sela wanita pemilik kios. ″Cucumu lucu sekali.″ ″Nenek,″ desak Eleanor. ″Kita harus segera pergi!″ Eleanor mencengkeram rok Maria dan memohon agar mereka berdua dan si pemilik kios segera pergi. ″El, cukup!″ bentak Maria. ″Baiklah,″ ucap Eleanor pada akhirnya. ″Tidak apa-apa jika kalian berdua tidak percaya. Tapi kumohon, untuk saat ini saja. Kita pergi.″ Maria hanya bisa pasrah menuruti kehendak cucunya. ″Baiklah, kita pergi.″ Eleanor menarik serta si pemilik kios, wanita itu menatap bingung Maria. ″Nyonya,″ kata Eleanor dengan suara memelas. ″Kumohon, ikutlah bersama kami. Sesuatu yang buruk akan terjadi.″ Meski tak paham, pada akhirnya wanita itu menuruti keinginan Eleanor. Dan tepat ketika mereka bertiga beranjak pergi menjauh dari kios, terdengar suara riuh di kejauhan disertai dengan ringkikan kuda. Semua orang berteriak, dua ekor kuda hitam berlari kencang sembari menyeret sebuah kereta di belakang mereka. Kedua kuda itu seperti kesetanan, mereka berlari membabi buta menyebabkan kekacauan. Semua orang berusaha menyelamatkan diri dari amukan kuda—menyingkir dan membiarkan barang-barang mereka terinjak-injak tapal kuda. Kericuhan berakhir ketika kedua kuda itu menubruk sebuah kios; sesuai dengan yang Eleanor ucapkan. Wanita pemilik kios menutup mulut dengan tangan, pandangannya nanar. Dia terkejut dengan ketepatan ucapan Eleanor. ″Benar-benar terjadi!″ seru wanita itu. Kemudian dia menatap takjub pada Eleanor. ″Serenity! Serenity!″ Maria menarik Eleanor, kedua tangan wanita tua itu mencengkeram erat bahu Eleanor. ″Katakan padaku,″ tegasnya, ″bahwa apa yang kauucapkan hanyalah sebuah kebetulan.″ Kedua mata Maria terlihat keruh. Eleanor bingung dengan perubahan suasana hati neneknya. Awalnya, Eleanor berpikir jika dia mengungkapkan apa yang dilihatnya, maka dia bisa menyelamatkan kedua nyawa perempuan itu. Dan kini, Eleanor hanya bisa menggigit bibir bawahnya—tidak menjawab apa pun. Semenjak kejadian itu, tersebarlah cerita mengenai seorang anak yang mampu melihat masa depan. Orang-orang pasar sibuk memperbincangkan kehebatan Eleanor. Satu mulut berucap dan telinga lain mendengar. Kabar itu berembus kencang ke sepenjuru Winterland. Kemampuan Eleanor tidak membuatnya berbangga hati. Maria menganggap bakat yang dimiliki cucu perempuannya sebagai sebuah kutukan. Dia jarang bercakap dengan Eleanor, wanita tua itu tak lagi mendendangkan lagu pengantar tidur, tak mau menatap Eleanor, dan memandang cucu perempuannya dengan sorot menuduh. Eleanor tidak berani mendekati Maria. Gadis kecil itu merasa diasingkan di rumahnya sendiri. Maria tak mau memberi makanan, hanya nenek di samping rumah yang terkadang, secara diam-diam memberikan beberapa roti kepada Eleanor melalui jendela kamar. Keadaan bertambah memburuk dengan kedatangan para tetangga yang beramai-ramai mengetuk pintu rumah Maria. Mereka ingin berjumpa Eleanor, mereka ingin mengetahui masa depan melalui mata Eleanor. Maria murka dan memaki tetangganya, ″Kalian telah berbuat khianat pada ketentuan dewa!″ Begitulah, hari demi hari terasa memilukan. Eleanor tidak berani keluar karena takut akan tatapan yang didapatnya, tatapan yang dipenuhi dengan rasa ingin tahu. Eleanor bisa mendengar manusia dewasa di sekitarnya berbisik, ″Sang pemilik mata dewa.″ Tak pernah menyangka bahwa satu tindakan kala itu akan mengubah cara pandang masyarakat terhadap Eleanor. Mereka kini menganggap gadis kecil bernama Eleanor sebagai tangan kanan sang dewi terang, Dewi Serenity. Lalu, pada suatu hari yang cerah, datanglah rombongan pasukan dari Kota Near River. Salah satu pemimpin mereka yang bernama Yzak bersabda, ″Raja Alaskus, sang penguasa Winterland ingin bertemu dengan gadis yang memiliki mata dewa.″ Eleanor hanya bisa bersembunyi di balik pintu kamar, berharap Maria akan mengusir rombongan itu sama seperti yang dilakukannya pada para tetangga. Nyatanya, Maria menyeret Eleanor turun. Wanita tua itu melempar Eleanor di depan Yzak. ″Bawa dia,″ katanya dengan nada dingin. ″Dia bukan cucuku.″ Eleanor menangis dan memohon agar Maria menolongnya, tak terhitung berapa banyak caci dan maki yang didengar Eleanor. ″Nenek, kumohon, jangan usir aku. Aku akan bersikap baik. Aku tidak akan mengatakan apa pun kepada mereka. Aku berjanji.″ ″Kau,″ ucap Maria murka. ″Kau pembawa petaka! Putriku mati gara-gara kau. Seharusnya aku tahu itu. Kau iblis! Aku membencimu!″ Yzak menggendong Eleanor yang menangis terisak, sementara para tetangga yang menyaksikan di kejauhan hanya bisa menatap iba gadis yang dicampakkan itu. Itulah, saat pertama kali Eleanor mengetahui sakitnya sebuah penolakan. Eleanor tidak pernah menyangka bahwa kehidupannya akan berakhir di dalam dinding biara suci. Masih jelas dalam ingatannya ketika dia berusia sepuluh tahun. Sosok bocah kecil itu telah lenyap berganti dengan sosok gadis muram. Tujuh belas tahun, di usianya yang gemilang ini, Eleanor tidak berencana mencari atau menerima pinangan dari pemuda mana pun. Karena memang, pinangan itu tidak akan pernah datang padanya. Saat di mana Eleanor berdiri di depan Raja Alaskus, dia sudah memutuskan tak akan percaya kepada manusia. Rakyat Winterland menyebut Alaskus sebagai raja berhati es. Dengan tangan besi, pria yang menginjak usia emas itu memerintah kerajaan dari atas singgasananya. Kematian permaisuri membuat Alaskus menjadi seorang manusia berhati keras. Demi menghilangkan kekecewaan dan rasa rindu pada kekasih pujaan, Alaskus mengumbar perang dan berniat memperluas daerah kekuasaan Winterland. Para penasihat kerajaan menyarankan sang raja agar segera mempersunting seorang wanita dan meneruskan garis keturunan Winterland. Tapi, sang raja tak memiliki niatan untuk mengisi kursi permaisuri di Winterland. Jika pun ada sesuatu yang membuat Alaskus tertarik, itu hanyalah rahasia waktu. Terlebih Grigory, sang imam agung, pemimpin sekte keagamaan. Pria itu kukuh membisikkan kepercayaannya kepada pemimpin Winterland. Suatu hari dia berkata, ″Wahai rajaku. Pria yang ditakdirkan memimpin Benua Euthoria. Lihatlah kejayaan yang akan kaudapatkan. Melalui sebuah mimpi, Dewa Agung berpesan padaku. Katanya, Euthoria akan berada di puncak kejayaannya asalkan engkau yang memimpinya, Yang Mulia.″ Grigory bisa dikatakan sebagai tangan kanan raja. Titah yang keluar dari mulutnya sama kuatnya dengan perintah raja itu sendiri. Jubah imam berwarna hitam yang dikenakannya menampakkan betapa agung posisinya di kerajaan. Tudung imam berhias sulaman emas pun tampak bagai singgasana, Grigory terlihat puas dengan apa yang dikenakannya. Eleanor tidak menyukai pria itu. Ada sesuatu yang membuatnya enggan berlama-lama memandang kedua mata sehitam telaga milik sang imam. Eleanor tahu, dia tidak akan pernah menyukai apa pun yang ada di kerajaan tersebut. Sayangnya, dia tidak bisa mengelak dari kenyataan. Eleanor hanya bisa mengigit bibir manakala mendapati berpasang mata menatapnya; pandangan tertarik, penuh rasa ingin tahu, dan sekaligus sorot menuduh. Pandangan yang selalu Eleanor dapatkan di sepanjang hidupnya. Alaskus duduk di atas singgasana, berdiri tepat di samping raja, sang imam agung memandang Eleanor dengan minat yang tak bisa dipahami Eleanor. Alaskus bertepuk tangan, lalu empat orang prajurit datang ke tangah aula sembari membawa sebuah benda yang tertutup kain berwarna putih. Benda itu diletakkan tak jauh dari tempat Eleanor berdiri. Kain penutup ditarik, dan tersibaklah benda yang tersembunyi di antara helaian kain. ″Apa kau melihatnya?″ tanya Alaskus dengan suara berat. Eleanor mengangguk. Itu sudah cukup bagi Alaskus, dia meminta Eleanor membacakan suratan peristiwa yang akan dijalani Winterland di masa mendatang melalui cermin kebenaran. Sebuah cermin berbentuk oval setinggi dua meter dengan tiang-tiang emas di sisinya. Melalui cermin itu, Eleanor melihat kilasan masa depan. Tampaknya hanya manusia yang memiliki mata dewa saja yang bisa menembus cermin kebenaran. Cermin selalu menyampaikan kebenaran yang tersenbunyi, begitulah yang diungkapkan para pengrajin kaca. Kini, Eleanor harus menyampaikan kebenaran yang dilihatnya kepada Alaskus. Jika dalam keadaan normal, Eleanor tidak bisa melihat kilasan waktu sesuai dengan kehendak hatinya, namun lain halnya ketika gadis itu melihat melalui cermin kebenaran. Dari dalam sana, Eleanor bisa melihat suratan takdir yang diinginkan Alaskus. Dia bisa melihat serpihan waktu secara utuh. Sayang, pemandangan yang dilihat tidaklah indah. Kilasan-kilasan peristiwa yang terhampar di benak Eleanor hanyalah peperangan, kebencian, dan kekecewaan. Manusia satu menghunjamkan bilah besi kepada sesamanya, teriakan membahana, dan tangisan kehilangan, pemandangan inilah yang dilihat Eleanor dalam cermin kebenaran. Di sisi lain, sang raja merasa puas dan memutuskan menempatkan Eleanor di biara suci. Penempatan Eleanor di biara suci atas saran sang imam agung, Grigory, ia menganggap pemilik mata dewa harus diperlakukan secara berbeda; dia tidak boleh berjumpa dengan sembarang orang—hidup dalam pengasingan. Berkat itu, Eleanor kini berpenampilan layaknya seorang nun. Tidak ada warna-warna yang menghias tubuhnya selain jubah nun berwarna putih. Rambut pirangnya pun tersembunyi di balik kerudung putih. Menghabiskan masa kanak-kanak di sebuah biara yang terisolir dari dunia luar. Lalu, tumbuh menjadi seorang gadis yang mungkin tidak akan pernah mengenal cinta. Inilah kehidupan yang harus dijalani oleh seorang Eleanor. Dia tidak pernah bersumpah setia mengabdikan diri sebagai nun kepada Serenity. Kekuatan sebuah sumpah, Eleanor ragu bahwa kata-kata mampu mengikat takdirnya kepada penguasa Winterland. Terkadang imam agung memanggilnya, meminta Eleanor datang ke kuil suci. Tempat yang hanya boleh dimasuki oleh orang tertentu, kehadiran Eleanor sendiri merupakan sebuah pengecualian. Kuil pualam yang berbentuk kubah itu terlihat mencolok di antara pepohonan waru yang ada di sekitarnya. Tepat di pusat kuil, ada sebuah kolam. Air kolam begitu jernih, tepat di tengahnya, ada sebuah teratai putih yang konon tidak bisa layu. Bunga itu abadi. Desas-desus yang beredar di kerajaan, teratai itu muncul secara tiba-tiba—tidak ada yang tahu asal-muasalnya. Walau enggan, Eleanor menuruti kehendak sang imam. Awalnya Grigory hanya bertanya mengenai keadaan Eleanor, meski seringnya di sela-sela pertanyaan, Grigory bercerita mengenai awal mula penciptaan manusia; titik keseimbangan antara kehidupan dan kematian, lalu apa yang manusia mampu lalui ketika berada di antara kedua titik tersebut. Eleanor hanya diam mendengarkan, dia tidak tertarik menanggapi cerita sang imam. Baginya, imam agung tidak ada bedanya dengan Nun Tua yang ada di biara. Wanita tua itu terus berkata bahwa keberadaan Eleanor di dalam biara merupakan sebuah anugerah. Tentu saja Eleanor tidak mengerti maksud anugerah yang diyakini Nun Tua. Setidaknya, kedua manusia itu tidak pernah bertanya mengenai rahasia waktu kepada Eleanor. Bertanya mengenai masa depan dan berusaha mengubahnya, menentang kehendak langit. Itulah yang tengah diupayakan oleh seorang Alaskus. Alaskus bertanya kepada Eleanor mengenai gambaran masa depan Winterland yang dilihatnya. Jika sang raja ingin mengirim pasukan untuk berperang, dia akan terlebih dahulu menanyakan hasil perang yang didapatnya. Jika Winterland berada di pihak yang kalah, maka Alaskus akan mengurungkan niat dan memilih jalan lain. Curang memang, namun hati Eleanor sudah membeku. Dia tidak peduli dengan bencana apa pun yang diakibatkan oleh rahasia takdir yang dibongkarnya. Cahaya dan kegelapan. Kebenaran dan kebatilan. Dan keadilan dunia yang berada di antaranya. Seolah-olah sisi-sisi kehidupan ditentukan oleh Eleanor. Dia hanya perlu melihat, setelah itu jalan cerita akan berakhir sesuai dengan keinginan raja Winterland. Eleanor hanyalah pion yang digunakan Alaskus untuk mencapai tujuan, tidak lebih. Meski tahu dirinya hanyalah boneka yang digerakkan oleh sang dalang, Eleanor menerima perannya. Diam pada perubahan dunia. Diam pada pergeseran takdir yang diciptakan Alaskus. Diam pada pekik kesakitan rakyat jelata. Diam pada suara kebenaran. Diam pada.... Hatinya sendiri. Inilah titik terendah dalam hidup Eleanor. Saat semua indra yang berfungsi itu mulai kehilangan dayanya; mata yang seharusnya digunakan untuk melihat kebenaran kini telah tersingkir oleh sebuah kebutuhan, telinga yang seharusnya digunakan untuk mendengar kebajikan kini menjadi tuli karena bising kemunafikan, dan mulut yang harusnya mengutarakan keadilan kini telah tersegel oleh sebuah perintah sesat. Sekarat. Eleanor merasa hak hidupnya telah diambil. Bising itu benar-benar mengusik Eleanor. Jika dia ingin merasa bebas, walau itu hanya sesaat, dia akan menyembunyikan diri di sebuah tempat perlindungan. Gadis itu menghabiskan waktu di bawah pohon persik yang terletak tepat di belakang biara. Duduk merenung dinaungi ranting-ranting pohon yang kini dipenuhi dengan kelopak bunga berwarna merah muda, bunga-bunga mungil yang menebarkan harum memikat. Eleanor menatap murung ke langit sana, birunya langit yang serupa manik mata Eleanor, serta luasnya angkasa yang tak pernah tersentuh jemari Eleanor. Di sanalah, dia merasa bahwa kebebasan tidak diperuntukan bagi manusia sepertinya. Kebebasan yang tak akan pernah kumiliki. Kebebasan yang terasa semu. Dan aku yang berdosa. Memikirkannya saja membuat Eleanor mual. Dia hanya bisa memandang langit serta burung yang terbang di sana. Tak tahu seperti apa bentuk dan rasa dari sebuah kebebasan. Jika saja kebebasan itu tercipta untukku, pikir Eleanor. Keresahan Eleanor sebagai seorang manusia seolah sirna ketika dia berada di bawah naungan pohon persik. Hanya di tempat itu dia merasa utuh; tidak ada bisikan masa depan, tidak ada permintaan, dan dia bisa menatap rumput hijau yang membentang di depannya. Luas dan meneduhkan, karunia alam yang tak akan pernah mengecewakan Eleanor. Hijaunya rumput yang seolah berkata kepada Eleanor bahwa segalanya akan baik-baik saja. ″Aku tahu, aku akan menemukanmu di sini.″ Sebuah suara mengalihkan perhatian Eleanor. Gadis itu menatap kehadiran seorang pemuda berambut gelap. Mantel kerajaan berwarna biru membungkus tubuhnya. Dialah sosok yang Eleanor tunggu di tempat persembunyiannya, sosok yang selalu dinanti di hatinya. ″Kenapa?″ tanya si pemuda. ″Apa kauingin melihat dunia luar?″ ″Arkie,″ katanya. Eleanor mengenal pemuda itu sebagai sosok periang. Jenis manusia yang mengingatkan Eleanor pada hal-hal yang tak pernah dimilikinya. Arkie memilih duduk di samping Eleanor, berada di bawah pohon persik dan memandang ke hamparan rumput berwarna hijau keemasan. ″Sesuai dugaanmu, kami menang.″ ″Aku tidak menduga,″ sanggah Eleanor. ″Ya,″ tukas Arkie, ″kau menduganya melalui cermin.″ Merasa terusik, Eleanor memilih meninggalkan singgasana kenyamanannya. ″Hei,″ panggil Arkie. Pemuda itu mencengkeram pergelangan tangan Eleanor. ″Kenapa bersikap dingin? Aku merindukanmu, tidakkah kau merindukanku?″ ″Mengapa tidak pergi saja ke tempat lain?″ Sesungguhnya Eleanor tidak bermaksud berucap demikian, hanya saja, mulutnya tidak bersedia mengikuti kehendak hati. Kejujuran terlalu sulit untuk diungkapkan. Eleanor ingin berkata bahwa dia merindukan Arkie, sama seperti apa yang dirasakan pemuda itu. Senyum hangat menghias wajah rupawan Arkie. ″Aku ingin bertemu denganmu.″ Arkie melepaskan cengkeraman tangannya, membiarkan Eleanor melangkah mundur—memberi jarak di antara mereka berdua. ″Dengan sikapmu yang seperti ini, kau tidak akan hidup lebih dari seminggu.″ Arkie tersenyum mendengar ucapan Eleanor. ″Apa kau sedang membaca masa depanku?″ Eleanor mengerutkan dahi. ″Terserahmu sajalah.″ Arkie bangkit dan melangkah pelan mendekati Eleanor. Gadis itu hanya diam di tempat dan memperhatikan Arkie. Tanpa ragu, Arkie menggenggam tangan Eleanor. ″Aku tidak percaya dengan yang namanya ramalan.″ Jemarinya menyentuh permukaan kulit Eleanor, menyebarkan rasa hangat. ″Katakan itu pada rajamu.″ ″Rajamu?″ ulang Arkie. ″Ayolah, rajaku rajamu juga.″ ″Aku tidak memiliki raja.″ Pemuda itu membelai kerudung putih Eleanor. Terkadang dia membayangkan warna emas yang disembunyikan kain putih tersebut. Sulit baginya membayangkan Eleanor sebagai seorang nun. ″Seharusnya kau tidak hidup seperti ini. Kau layak mendapat yang lebih baik.″ ″Aku tidak keberatan dengan apa yang kudapatkan.″ ″Semua orang berhak bahagia.″ Desau angin terdengar seperti nyanyian sendu. Eleanor melihat ke dalam kedua mata berwarna hijau yang memandangnya, begitu jernih dan meneduhkan. Sesaat, Eleanor merasa menemukan kedamaian di dalam mata itu. ″Arkie,″ katanya sembari melepaskan jemari hangat yang menggenggamnya. ″Aku tidak termasuk manusia yang pantas berbahagia. Aku berdosa.″ Setelah berkata demikian, Eleanor berbalik pergi meninggalkan pemuda itu seorang diri. Arkie menatap punggung Eleanor dan berkata lirih, ″Tapi, aku ingin membahagiakanmu.″
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD