Babak Dua

2452 Words
″El, tahukah kau mengapa teratai itu tidak bisa layu?″ Sudah lebih dari beberapa menit Eleanor berdiri di dekat kolam suci; mengamati pergerakan air yang beriak. Eleanor menggeleng. Tidak tahu. ″Jawabnya,″ ungkap Gregory, ″karena teratai itu merupakan perwujudan dari kekuatan Serenity. Pernahkah kau mendengar kisah cinta sang dewi?″ Sekali lagi, Eleanor menggeleng. ″Dahulu, Euthoria dilanda kegelapan panjang; semua manusia diliputi ketakutan akan serangan makhluk yang bernaung di dalam kabut kegelapan. Satu per satu manusia mati, jika bukan karena dilahap makhluk buas, mereka mati karena rasa takut yang tak tertahankan. Semua manusia hidup dalam keputusasaan yang tak terkira. Bisakah kau membayangkan kehidupan semacam itu?″ Tidak perlu hidup di zaman kegelapan untuk mendalami cerita sang imam agung, Eleanor tahu rasanya hidup dalam kegelapan; diacuhkan oleh orang yang paling kaupercaya, dipandang berbeda oleh manusia lainnya, dan yang terburuk: menjadi sumber petaka bagi manusia lainnya. Berkat terang Serenity, Eleanor tahu harga yang harus dibayarnya. ″Kemudian,″ lanjut Gregory, ″semua manusia berdoa kepada sang Agung agar mendatangkan cahaya yang bisa mengusir kegelapan yang meliputi dunia. Serenity tergerak karena mendengar rintihan manusia. Dia pun mengirimkan seorang prajurit perkasa bernama Tendora; lelaki gagah yang membawa pedang di tangan kanan dan tameng berbentuk matahari di tangan kirinya. Dengan gagah berani dia melawan mahluk-mahluk penyebar kegelapan dan mengusir kegelapan hingga ke kaki bukit terpencil. Sejak saat itu, kegelapan tak pernah berani menampakkan wujudnya di hadapan manusia. ″Para manusia mengangkat Tendora sebagai pemimpin mereka. Dengan penuh kebijakan, dia menuntun manusia menuju pencerahan. Dan, namanya semakin besar hingga semua orang semakin segan berhadapan dengannya. Harusnya, Tendora memiliki kehidupan sempurna dengan semua berkat yang didapatnya. Sayangnya, kehidupannya tidak secerah pengabdiannya pada manusia. ″Di antara manusia yang mengabdi pada Tendora, terdapat seorang gadis yang sangat cantik. Tentu saja, semua lelaki ingin mempersunting gadis tersebut menjadi istrinya, begitu pula Tendora. Dia datang di hadapan sang gadis dengan niatan untuk mempersuntingnya, menjadikannya pasangan hidup yang akan mendampinginya memerintah di kerajaannya. ″Gadis itu menerima pinangan Tendora. Mereka berdua menikah dan hidup dalam kebahagiaan, walau itu cuma sesaat. Begitu sang gadis melahirkan putra pertama mereka, gadis itu mengalami pendarahan hebat dan tidak bisa terselamatkan. Murka, Tendora memohon kepada Serenity agar mengembalikan jiwa istri tercintanya. Serenity merasa iba, dan dia berkata, ′Aku tidak bisa mengembalikan jiwa yang telah pergi. Namun ketahuilah, seluruh cinta dan kesetiaan istrimu akan terlahir kembali dalam wujud teratai putih. Nantinya, jika di kuil suci mana pun terdapat sekuntum teratai putih yang tak layu dimakan zaman, maka di situlah jiwa istrimu bersemayam.′ Begitulah, setiap orang percaya bahwa jika di sebuah kuil tiba-tiba muncul sekuntum teratai yang tak layu dimakan usia, maka di sanalah anugerah Serinity tiba.″ Kisah kepahlawanan yang mengharukan, setidaknya Eleanor paham bahwa bukan hanya dirinya seorang yang mengalami kemalangan serupa. Imam agung kini menjauh dari tepian kolam dan berjalan ke arah datangnya cahaya, Eleanor bisa melihat kerlipan sulaman yang tersemat di tudung sang imam. ″Dan tahukah kau, kapan tepatnya teratai itu muncul di kuil ini?″ ″Maaf,″ jawab Eleanor, ″aku tidak tahu.″ Gregory berbalik dan menatap Eleanor. Pandangannya tajam. ″Teratai itu muncul tepat di saat kau menginjakkan kaki di istana ini.″ Diam. Eleanor mulai merasa tidak nyaman dengan arah pembicaraan Gregory. ″Luar biasa, bukan? Raja Alaskus mendapatkan anugerah sehebat itu? Dunia berada di dalam genggaman Alaskus, seluruh dunia. Dan kini, hanya tinggal menunggu waktu Winterland menancapkan kukunya sebagai penguasa tunggal.″ Kilatan kepuasaan itu menari-nari di kedua mata Gregory yang sehitam arang. Eleanor tak bisa menampik rasa mual yang tiba-tiba bergelung di dasar perutnya. Dia tahu, sesuatu yang teramat buruk tengah terjadi. Sialnya, dialah yang menjadi penyebab kemalangan yang menimpa dunia. *** Di hari berikutnya, Alaskus meminta Eleanor melihat kilasan takdir melalui cermin kebenaran. Tidak ada yang berbeda; darah, pedang, sula, pekik perang, dan kematian. Hingga Eleanor melihat kilasan pemuda berambut gelap. Pemuda itu terbaring tak berdaya dengan sebilah pedang menembus badannya. Eleanor gemetar menyaksikan kilasan kematian Arkie, rasa dingin menusuk punggungnya. ″Bagaimana?″ tanya Alaskus. ″Anda akan mendapatkan kemenangan yang Anda harapkan.″ Sang raja tersenyum, puas. ″Yah, aku sudah bisa menebaknya.″ ″Tapi, Anda juga akan kehilang beberapa kesatria tangguh.″ ″Memangnya kenapa? Di dalam perang kehilangan satu atau seratus nyawa adalah hal lumrah. Dataran Winterland tercipta untuk mereka yang berhati baja. Tidak ada yang namanya kelemahan hati.″ Detik itu, Eleanor tahu bahwa sang raja tidak peduli terhadap nasib orang-orang yang berperang untuknya. Kematian siapa pun tak penting, asalkan bisa mencapai satu tujuan: kemenangan. Hidup bagi seorang Alaskus hanyalah sebuah permainan untuk mempertahankan takhta. Cara apa pun dibenarkan selama tujuan utama tercapai. Kata-kata Gregory kembali terngiang, hanya tinggal menunggu waktu Winterland menancapkan kukunya sebagai penguasa tunggal. *** Eleanor berlari menuju pohon persik, jantungnya berdebar kencang; begitu menyesakkan dan menyakitkan. Kedua matanya mencari sosok pemuda berambut gelap. Nyeri di hatinya hilang kala kedua matanya menemukan Arkie berdiri gagah di bawah naungan pohon persik. Jubah kesatrianya tertiup angin, Eleanor bisa melihat sulaman beruang putih di punggung jubah Arkie. Eleanor tak memiliki kekuatan untuk melangkah mendekat, tubuhnya gemetar dan napasnya terasa sesak. Tapi dia tidak bisa membiarkan nasib buruk menyentuh pemuda itu. Dia ingin memanggil nama pemuda itu, Arkie ... Arkie ... Arkie.... Seolah Arkie mendengar suara hati Eleanor, pemuda itu pun menoleh. ″El,″ katanya. ″Aku baru saja ingin berpamitan.″ Kumohon jangan katakan itu. Jangan! ″Aku akan pergi berperang.″ Arkie berjalan mendekati Eleanor. ″Sebelum itu, aku ingin bertemu denganmu untuk terakhir kali.″ Hentikan! Setetes air mata jatuh bergulir di atas pipi Eleanor. Kedua mata birunya menatap nanar sosok Arkie. Dia tidak sanggup mendengar kata-kata perpisahan itu. Jangan sekarang ... kumohon. ″Ada apa denganmu?″ Arkie membelai pipi Eleanor, pemuda itu mengusap tetes air mata yang menghias wajah Eleanor. Lalu dia terdiam sejenak, mencoba membaca rahasia yang disembunyikan gadis bermata biru itu. ″Apa kau melihat takdirku?″ Eleanor mengangguk. Kedua matanya berkaca-kaca melihat raut rupawan Arkie. ″Ah, begitu.″ Arkie tersenyum. Kedua tangannya menangkup wajah Eleanor. ″Sudah kubilang, aku tidak percaya ramalan.″ ″Tapi....″ ″Tenanglah, aku akan kembali padamu.″ ″Kau tidak akan kembali, dengarkan aku, Arkie.″ ″Aku akan kembali,″ tukas Arkie. ″Tidak ada takdir yang bisa memisahkanmu dariku.″ Arkie tidak berkata apa pun setelah itu. Eleanor hanya bisa berpasrah melihat kepergian pemuda itu. Eleanor tahu, janji Arkie tidak akan pernah terpenuhi. Dia tidak akan pernah kembali pada Eleanor. Dan itu memang benar adanya. Hari demi hari berlalu semenjak pertemuan terakhirnya dengan Arkie. Setiap detik terasa menyiksa. Gadis itu tak bisa menghilangkan bayangan pedang dan darah dari dalam mimpinya. Di setiap malam, Eleanor berdoa agar Serenity melindungi Arkie dari segala bahaya, membawanya pulang ke Winterland dengan selamat. Dan, ketika Eleanor mendengar berita mengenai keberhasilan pasukan Winterland, dia hanya bisa menatap hampa sosok pemuda yang terbaring di atas tandu. Gadis itu tak mampu berjalan mendekat barang selangkah pun. Hatinya menjerit pilu. Kau berkata bahwa kau tidak percaya pada ramalan. Kau bilang kau tak percaya! Kau berjanji akan kembali padaku! Pembohong! Pembohong! *** Eleanor mengurung diri dalam kamar. Ruangan muram yang hanya berisi sebuah almari, ranjang, meja, dan kursi. Tidak ada penerangan selain dari lilin yang ada di atas meja. Suasana ruangan itu sesuai dengan kondisi Eleanor, menyedihkan dan terabaikan. Bermacam bayangan suram mengusik benak Eleanor; Maria yang mengutuk Eleanor sebagai jelmaan iblis, cermin kebenaran dan wajah culas Alaskus, lalu senyuman Arkie yang tak akan pernah kembali padanya. Kesia-siaan hidup yang selama ini dijalani Eleanor, hal ini membuatnya sadar bahwa dia tak ada bedanya dengan seekor burung yang terkurung di sangkar emas. ″El,″ panggil sebuah suara. ″Apa kau ada di dalam?″ Suara Nun Tua menyadarkan Eleanor dari lamunan. Gadis itu tak menjawab panggilan Nun Tua, namun Nun Tua yakin bahwa gadis yang dicarinya ada di dalam kamar. Pintu terbuka dan Nun Tua segera berjalan mendekati Eleanor. Perempuan renta itu duduk tepat di samping Eleanor yang tengah terisak di ranjang. ″Apakah pemuda itu benar-benar berarti?″ tanya Nun Tua dengan suara lembut. ″Dia berjanji akan kembali padaku,″ isak Eleanor. ″Jika saja aku berusaha keras membujuknya. Jika saja aku melarangnya ... dia mungkin masih ada di sini. Bersamaku.″ ″Tapi, itu bukan salahmu.″ ″Ya,″ sergah Eleanor. ″Itu salahku. Aku mengetahuinya dan hanya berdiam diri saja, tidak melakukan sesuatu.″ Nun Tua mendesah, ″Takdir bukanlah sesuatu yang bisa diubah manusia.″ ″Tapi aku melihatnya! Dan karena itu aku terkurung di biara ini.″ ″Nak,″ kata Nun Tua sembari membelai kepala Eleanor yang tak berkerudung. ″Kau hanya melihat melalui sebuah cermin. Di dalamnya tersimpan berbagai kebenaran dunia; kesengsaraan manusia, kebaikan, kebrutalan raja yang memimpin di singgasana, dan ilusi pekat keburukan. Itu semua, hanyalah sepenggal kebenaran yang tak akan bisa dipahami seorang manusia dalam waktu semalam. Ya, kau melihatnya. Sesungguhnya, kau hanya mengucapkan kisah yang ingin didengar sang raja.″ Eleanor memandang gurat-gurat yang menghias kening sang nun, di balik kerapuhan yang ditunjukkan wanita tua itu, Eleanor bisa melihat keteguhan yang tak terpatahkan. ″Nak,″ tanya sang wanita tua, ″Apa kau ingin bebas?″ Apa kau ingin melihat dunia luar? Eleanor menatap pilu Nun Tua. ″Aku terkutuk. Mata dewa ini mengambil kebebasanku.″ ″Tak seorang pun di dunia ini yang bisa mengambil kebebasanmu.″ ″Kebebasan itu hanya angan-angan, sebentuk mimpi yang tak akan terwujud.″ Nun Tua menggenggam jemari Eleanor. Kulit keriputnya terasa dingin di tangan Eleanor. ″Mimpi tidak akan tercipta jika manusia tidak mau mewujudkannya. El, kau layak mendapatkan yang lebih baik dari ini.″ Kau layak mendapatkan yang lebih baik. Bayangan Arkie kembali muncul dalam pojok ingatan Eleanor, seolah pemuda itulah yang duduk di samping Eleanor, berkata lembut dan meminta Eleanor untuk bangkit dan mengambil tindakan. ″Bagaimana caranya?″ tanya Eleanor. ″Bagaimana caranya agar aku memiliki kebebasan seperti manusia lainnya?″ ″Ada satu cara.″ ″Satu cara?″ ulang Eleanor. Kedua matanya membulat, siap menerima tantangan apa pun yang diberikan kepadanya. Dia sudah muak berdiam diri dan menerima keadaan yang diberikan orang lain untuknya. Tidak ada lagi yang namanya berpangku tangan dan menyalahkan takdir; yang ada sekarang adalah memperjuangkan harapan sampai titik darah penghabisan. Eleanor tahu, dia tahu benar apa yang dipilihnya. ″Jadi, aku memiliki kesempatan untuk merubah nasibku?″ Nun Tua mengangguk, mengiakan. ″Elysium.″ Nama itu terasa asing di telinga Eleanor. Dia tak tahu apa yang disebut sebagai elysium. Tidak ada gambaran ataupun petunjuk. Meski begitu jantungnya berdebar kencang dipenuhi semangat. Gairah hidup itu kembali merayapi Eleanor dan menghidupkan indra-indra perasanya, sebuah semangat untuk mengecap kehidupan baru. ″Sebuah bunga yang tumbuh di Dataran Hijau,″ jelas Nun Tua. ″Elysium mampu menghilangkan segala jenis kutukan dan mengangkat anugerah seseorang. Jika kau menganggap anugerah Serenity ini sebagai kutukan, aku percaya elysium bisa menghilangkannya.″ Untuk pertama kalinya Eleanor ingin berjalan melawan arus, tanpa ragu dia berkata, ″Aku ingin kutukan ini diambil.″ *** Nun Tua meminta Eleanor mengganti jubahnya dengan pakaian yang disediakan Nun Tua. Eleanor menurut dan mengganti jubah putihnya dengan pakaian yang terbuat dari bahan lembut. Sepasang sepatu kulit terasa pas di kedua kakinya. Sebagai pelengkap, Eleanor membungkus tubuhnya dengan roquelaire berwarna merah. Gadis itu dibawa pergi oleh Nun Tua ke sebuah lorong. Lorong itu terletak tepat di bawah biara, tersembunyi di bawah altar Serenity. Eleanor menduga lorong ini dahulu dibangun oleh para nun untuk melarikan diri ketika kerajaan terancam bahaya. Berbekal beberapa keping koin pemberian Nun Tua, obor, dan sebuah peta, Eleanor berjalan seorang diri menyusuri lorong tersebut. ″Ingatlah,″ kata Nun Tua sebelum melepas kepergian Eleanor. ″Hanya kau seorang yang bisa merubah nasibmu. Meskipun elysium itu ternyata tidak ada di dunia, setidaknya kau harus berusaha membebaskan dirimu dari Winterland. Jangan sekali-kali menginjakkan kakimu di tanah ini. Kau harus lari, sejauh mungkin. Dengar, Grigory dan Alsakus sama saja. Kau dengar?″ Ucapan Nun Tua terus terngiang di telinga Eleanor. Keputusannya melakukan pelarian hanya menjadi rahasia di antara dirinya dan Nun Tua. Untuk berjaga-jaga, Nun Tua menyarankan Eleanor menulis sebuah surat yang menyatakan bahwa dia memutuskan mengakhiri hidup di Danau Biru. ″Akan lebih baik bagimu jika mereka menganggapmu mati,″ saran Nun Tua. ″Raja Alaskus tidak akan melepaskanmu. Sembunyikan keberadaanmu dari Winterland. Hiduplah, lupakan masa lalumu di sini. Dapatkan kebebasanmu. El, hanya kau seorang yang bisa menentukan takdirmu.″ Benar, Eleanor yang dulu sudah mati, dan kini, Eleanor yang baru terlahir kembali. Tidak ada keputusasaan, yang ada hanyalah harapan. Dialah yang akan menentukan jalan hidupnya, bukan orang lain. Eleanor berjalan pelan menyusuri lorong rahasia. Lorong itu dipenuhi dengan sarang laba-laba. Beberapa ekor tikus berlari-lari di pinggir lorong. Mencicit marah saat melihat kedatangan Eleanor. Udara pengap yang ada di sana membuat Eleanor mual. Dia tetap bertahan, mengabaikan bau yang menusuk hidung. Suara langkah kaki bergema ke sepenjuru lorong. Satu langkah yang akan membawanya pada kebebasan. Satu langkah yang akan mengubah hidupnya. Satu langkah yang akan menentukan segalanya. Inilah saat bagi Eleanor merubah tatanan hidup yang selama ini diabaikannya. Tidak ada lagi penyangkalan. Harapan. Harapan. Satu kata itu adalah doa yang menguatkan Eleanor. Ya, dia tahu, ada sebuah harapan yang bernama elysium, dan dia akan mendapatkan harapannya. Dulu Eleanor menganggap harapan tidak tercipta untuknya, Dewi Serenity telah memberikan berkat terang yang sama sekali tak diharapkan Eleanor. Mata dewa, kemampuan melihat tatanan waktu seharusnya tidak diberikan kepada manusia. Bagaimana cara waktu bekerja biarlah menjadi rahasia semesta. Eleanor merasa terbebani dengan kemampuannya. Dia tahu, jika dia menggunakan cermin kebenaran, maka ia bisa melihat rahasia dunia beserta isinya. Merubah ketetapan takdir sesuai dengan keinginan Alaskus. Dan kini, tanpa cermin itu, Eleanor hanya bisa berpasrah menunggu datangnya kilasan waktu secara alami. Satu-satunya senjata yang bisa melindungi dirinya dari ancaman hanyalah insting bertahan hidup. Yah, dia tidak bisa berpedang dan berkelahi, namun setidaknya Eleanor bisa berusaha menghindar dari masalah. Semoga saja tidak ada hambatan selama perjalanan mencari elysium. Selama kurang lebih dua puluh menit lamanya bagi Eleanor hingga ia akhirnya tiba di ujung lorong. Mulut lorong ditutupi oleh sesemakan ivy. Jalan rahasia itu mengantarkan Eleanor ke sebuah hutan. Nama hutan tersebut adalah Hutan Kelabu, letaknya tepat di belakang kastel. Angin terasa dingin menerpa wajah cantik Eleanor, dia menatap sejenak benteng kastel sebelum akhirnya mengalihkan pandang pada langit malam yang berbintang. ″Aku bebas,″ katanya. Itulah salam perpisahan dari Eleanor. Dia mulai berjalan menuruni perbukitan dan menjauh dari Near River. Cahaya dari obor menjauhkan Eleanor dari mahluk liar yang mungkin menghuni Hutan Kelabu. Udara terasa semakin dingin, beberapa kali Eleanor menarik rapat roquelaire-nya. Dia hanya teringat petuah Nun Tua untuk berjalan ke arah barat, menjauh dari Winterland. Uang yang ada di tas kainnya cukup untuk menyewa kereta kuda jika dia beruntung menemukan tumpangan. Inilah yang seharusnya dilakukan Eleanor: melawan arus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD