"Dua kali. Aku telah menunjukkan sisi menyedihkan diriku padamu."
-Nada-
***
Ponsel Nada berdering. Lamunannya buyar seketika dan menyadari dirinya tengah menatap Hyunjin di sana. Gadis itu lalu menggelengkan kepala berkali-kali. Sadar akan tindakannya yang diluar keinginan.
"Halo? Iya, Ma kenapa?" Nada tengah berbicara dengan seseorang di seberang sana, rupanya Rina, Mamanya sedang menelepon.
Nada terlihat menghela napas dan dengan wajah kesalnya ia menutup telepon. Gadis itu mengemas peralatan, meminum cappucinonya dengan terburu-buru dan mulai berdiri dari sana. Bahkan cheese cakenya belum ia sentuh.
Hyunjin mengikuti pergerakan Nada. "Kemana?" tanyanya yang membuat Nada sedikit risih.
"Bukan urusan lo."
Hyunjin hanya diam sembari menatap Nada yang berdiri di depan Lucas, membayar pesanannya lalu meninggalkan kafe itu.
Nada kembali ke kampus dan mencari Jaehyun. Cewek itu tidak lupa menghubungi Jaehyun terlebih dahulu.
Jaehyun, lo dimana? Ada kelas? Bisa anterin gue ke sekolah Nino nggak?
Nada menghentikan langkahnya begitu mendapat balasan dari Jaehyun.
Duh, Na, gue masih ada urusan, gue pinjemin motor aja ya, nih ambil kuncinya di perpustakaan.
Melihat balasan dari Jaehyun membuatnya kembali menghela napas kesal. Dirinya benar-benar sadar kini sudah tidak bisa lagi bergantung dengan sahabatnya itu.
Nggak usah, Jae. Gue pesen gojek aja.
Nada menggeser-geser layar ponselnya dan memesan ojek online, lalu ia menunggu sang tukang ojek di halte dekat kampus.
Selang beberapa menit, bapak-bapak dengan jaket dan helm berwarna hijau berhenti di dekat Nada. "Mbak Nada?"
"Iya, Pak."
"Tujuan sesuai aplikasi, Mbak?"
"Iya."
Nada menaiki motor bapak-bapak tadi dan menuju sekolahan Nino. Dia mendapat kabar dari Mamanya bahwa ada panggilan orang tua, Nino dikabarkan telah membuat keributan di kelasnya. Rina yang sibuk bekerja itu tidak bisa memenuhi panggilan dan mengutus putri sulungnya untuk mewakilkan.
Terik matahari di siang bolong ini membuat Nada semakin kegerahan ditambah kabar dari Nino tersebut. Raut wajah Nada pun sangat cemas sekaligus marah.
"Terima kasih, Pak. Ini ongkosnya." Nada menyerahkan uang dan helm milik bapak gojek lalu dengan terburu memasuki area SMP Teladan, sekolahan Nino.
Cewek itu langsung menuju ruang BK setelah bertanya dengan siswa di sekitar.
Tok ... tok ... tok ...
Nada membuka pintu ruang itu. "Permisi ... assalamualaikum ...."
Mata Nada langsung tertuju pada Nino yang terlihat berantakan dan sedikit babak belur serta temannya yang kondisinya terlihat lebih parah daripada Nino yang duduk berseberangan terhalang meja.
"Saya walinya Nino Putra, Pak," ujar Nada begitu melihat seorang guru yang berdiri di dekat sana.
"Oh iya, silakan duduk dulu, Mbak. Kita nunggu walinya Daffa dulu," ujar guru tersebut dan menunjukkan tempat duduk untuk Nada.
Ah, Nada baru ingat setelah mendengar nama Daffa. Bukankah Daffa adalah teman dekat Nino sejak SD? Apa yang membuat mereka berkelahi hingga keduanya tampak kacau seperti ini? Nada memasang tatapan tajam pada adiknya, berujung Nino yang hanya tertunduk di sana.
"Permisi ... saya walinya Daffa Farel, Pak."
Suara itu ... membuat Nada memalingkan wajah dan matanya berhasil membulat sempurna begitu mendapati Hyunjin yang tengah berdiri di ambang pintu. Pun Hyunjin, sama terkejutnya melihat Nada yang sedang duduk di dekat Nino.
"Silakan duduk, Mas. Orang tua kalian kemana?" tanya guru itu pada kedua wali yang datang. Sangat tahu jika mereka bukan orang tua dari Nino dan Daffa.
"Lagi ada kerjaan, Pak, saya Kakaknya kok," ujar Nada meyakinkan.
"Sama," sahut Hyunjin seraya duduk di sebelah Daffa yang terlihat syok melihat kondisi adiknya. "Kenapa lo?!" bisik Hyunjin yang bahkan nyaring itu.
"Ehem ... jadi begini, mereka berkelahi di kelas dan membuat kekacauan, meja dan kursi di kelas bahkan berantakan dibuatnya." Guru dengan nametag Bambang Jaya itu menjelaskan.
Nino mengangkat kepalanya yang tadi tertunduk. "Dia yang mulai duluan, Pak!" tunjuknya pada Daffa dengan tatapan penuh amarah.
"Dia yang nonjok saya duluan, Pak! Lihat, bibir saya sampai berdarah gini! Hidung saya juga! Aaa sakit!" Daffa menyentuh hidungnya yang sempat ia kira patah itu.
"Tapi lo mancing amarah gue g****k!"
"Gue cuman tanya, dasar babi!"
"STOP!"
Bukan, bukan Pak Bambang yang berteriak. Kini semua mata tertuju pada Nada yang napasnya terlihat tidak beraturan. "Nino, minta maaf." Dia memerintahkan adiknya untuk segera berdamai.
"Nggak!"
"Apa susahnya sih minta maaf, Nin? Kamu duluan kan yang nonjok dia? Lagian, Daffa kan temen deket kamu? Bukannya kalian sering main bareng?" Nada terlihat kesal dengan adiknya yang masih saja keras kepala. "Maaf, Pak," ujar Nada pada Pak Bambang yang turut menggelengkan kepala.
"Kalau kalian tidak bisa berdamai, saya harus menghukum kalian dengan meliburkan paksa selama tiga hari alias skorsing." Pak Bambang mengelus janggutnya.
"Daffa, ini pasti lo yang salah. Lo mancing-mancing apa sih ke temen sendiri juga. Mancing tuh di laut, jangan di temen! Minta maaf," ujar Hyunjin yang terlihat mengomeli adiknya.
Nada memijat pelipisnya yang terasa nyeri.
"Gue nggak mancing, Bang! Gue cuman tanya, kenapa Papanya tinggal di rumah sebelah kita sama perempuan dan anak lain? Ada kan? Tetangga kita yang baru pindah satu minggu yang lalu?!"
Nino mengepalkan kedua tangannya. "Gue bilang itu bukan Papa gue!" teriaknya seraya berdiri dan bersiap ingin menghajar temannya lagi, namun Pak Bambang dan Nada sigap menahan tubuh Nino.
"Lepasin! Itu bukan Papa gue! Gue bilang bukan Papa gue!" Nino semakin berteriak, matanya benar-benar memanas hingga akhirnya air matanya jatuh begitu saja. Menangis tersedu di sana bak anak kecil yang tidak dibelikan permen.
Mata Nada ikut memanas, dia mencoba memeluk adiknya di sana, kini Nada dapat merasakan apa yang dirasakan adiknya, Nino terlihat begitu menyedihkan dengan wajah babak belurnya.
"Itu bukan Papa!" Nino terus saja berteriak.
Hyunjin menyenggol Daffa. "Lo salah lihat kali?"
"Nggak, Bang! Kan gue sering ketemu sama Papanya Nino, nggak mungkin salah!"
Hyunjin mengusap wajahnya menghadapi adiknya yang masih saja tidak paham situasi. "Iya, tapi yang penting lo minta maaf dulu!" Hyunjin berbisik pada adiknya.
"Nggak mau! Ini hidung gue udah mau patah!" teriakan Daffa membuat Nino melepaskan pelukan Kakaknya. Nino menatap temannya dengan tajam.
"Maaf," ujar Nino lirih lalu kembali duduk di kursi dengan lemas.
Nada akhirnya dapat bernapas sedikit lega. Akhirnya Nino sedikit bisa mengontrol emosinya.
Daffa menggaruk kepalanya yang bahkan tidak gatal itu. Lalu menatap balik Nino walau bola matanya yang bergerak kiri-kanan tidak fokus. "Gue juga minta maaf."
Giliran Hyunjin yang bernapas lega, juga Pak Bambang yang kini mengembangkan senyumnya.
"Oke, tapi kalian tetap dapat hukuman membersihkan lapangan selama tiga hari, lima belas menit sebelum masuk kelas. Sekarang, kalian ke UKS dulu. Awas saja kalau berkelahi lagi!" suruh Pak Bambang kepada dua muridnya yang babak belur.
Kedua pemuda itu mengangguk dan meninggalkan ruang BK, menuju UKS dengan saling diam.
"Terima kasih sudah meluangkan waktu kalian untuk hadir." Pak Bambang menyapa kedua wali yang masih tegang itu.
"Ah iya sama-sama, Pak," ujar Nada.
"Mohon bimbingannya adik saya, Pak." Hyunjin mencoba tersenyum.
"Tentu, oh iya, untuk Nino, jika ada masalah di rumah, segera diselesaikan ya." Pak Bambang menatap Nada.
Nada menatap Pak Bambang. Sedikit tidak suka dengan perkataan beliau. "Tanpa disuruh, kami pasti mencari solusi, Pak."
"Iya, maaf, terima kasih sekali lagi." Pak Bambang mengelus janggutnya.
"Kalau begitu kami permisi, Pak." Hyunjin mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Pak Bambang.
"Iya, silakan, hati-hati di jalan."
"Assalamualaikum ...." Nada mengikuti jejak Hyunjin.
"Walaikumussalam ...."
Hyunjin dan Nada keluar ruang BK. Mereka saling diam dan Nada terus saja melanjutkan langkahnya. Keluar dari area sekolah.
"Bareng gue aja," ajak Hyunjin yang sudah berjalan di samping Nada.
"Nggak usah."
"Lumayan, irit ongkos." Hyunjin masih tidak menyerah.
"Gue bilang nggak usah!" Nada menghentikan langkahnya, menatap Hyunjin dengan matanya yang berkaca-kaca. Cewek itu tengah menahan tangis di sana.
"Dunia emang sempit ya, adek gue sama adek lo ternyata temen deket yang habis berantem." Hyunjin terkekeh di sana.
Nada tiba-tiba berjongkok dan membenamkan kepalanya dalam kedua tangannya. Dia ... tersedu di sana.
Hyunjin sedikit syok melihat Nada. "Na, kalau nangis jangan di sini!" Hyunjin menyentuh bahu Nada yang tengah berjongkok di lapangan, mencoba mengajak Nada berdiri. Untung saja lapangan dalam keadaan sepi.
Nada lalu berdiri, menatap Hyunjin dengan wajahnya yang mulai sembap.
"Ayo, pulang sama gue aja," ajak Hyunjin lagi. Kali ini Nada menurut saja, tenaganya untuk melawan Hyunjin hari ini tidak akan cukup.
Apa lagi ini? Kenapa aku selalu nangis di hadapan dia, sih? Apa lagi rencana semesta?
Nada menatap lengannya yang tengah digenggam oleh Hyunjin.
***
Sepanjang perjalanan Nada diam saja. Tangannya mencengkeram keras sisi jaket parasut hitam milik Hyunjin.
"Mau pulang aja nih?" tanya Hyunjin yang ternyata sudah ketiga kalinya. Nada hanya diam saja dan tidak menjawab sepatah katapun.
Suara knalpot motor RX-King milik Hyunjin ini membuat Nada semakin terhanyut dalam pikirannya. Jika sudah begini, jangan pikir Nada bisa mendengar suara-suara lain termasuk Hyunjin yang sedari tadi mengulang perkataannya.
Bahkan aroma rokok yang kuat dari tubuh Hyunjin ini sudah tidak dihiraukan Nada. Biasanya gadis itu sangat cerewet dan sensitif jika mencium aroma yang sangat tidak ia sukai.
Nada tersadar begitu Hyunjin menghentikan motornya di suatu tempat.
"Ngapain ke sini?" Nada belum turun dari motor Hyunjin dengan wajah herannya.
"Dari tadi aku nanya nggak kamu jawab. Yaudah aku ajak ke sini aja." Dia melepas helmnya dan hendak turun dari motor. "kamu nggak mau turun?" tanya Hyunjin pada Nada.
Nada terpaksa turun, terlihat dari raut wajahnya yang tidak suka.
"Kamu mau bakso?" tanya Hyunjin pada Nada yang ternyata mereka berhenti di sebuah warung pedagang kaki lima di pinggir jalan. "Bakso di sini enak, lho. Bukan kaleng-kaleng."
Nada menggeleng, "Nggak laper," ujarnya yang masih berdiri di samping Hyunjin.
Padahal, bisa saja cewek itu kabur dari sana, bisa saja dia tidak mengikuti kehendak Hyunjin dan langsung pulang sendirian. Tetapi, entah apa yang membuatnya masih bertahan meski hati sedang kesal.
"Yaudah. Mang, Baksonya satu, es tehnya dua ya!" seru Hyunjin pada mamang-mamang yang terlihat akrab sekali dengannya.
"Siyap, Mas ganteng! Seperti biasa kan? Tanpa daun bawang?"
"Yoi."
Nada mengikuti Hyunjin ke tempat duduk.
"Beneran nggak mau bakso?" tanya Hyunjin lagi pada Nada. "Awas ya kamu ngiler."
Nada memutar bola matanya. "Kata gue nggak ya enggak! Udah ah diem aja lo nggak usah ngomong mulu."
Hyunjin lalu benar-benar diam, dan dia mengeluarkan sekotak rokok dari sakunya. Dia sudah bersiap ingin menyalakan korek lalu kemudian tertahan melihat ekspresi Nada yang semakin kesal. "Oh iya, kamu nggak suka rokok. Yaudah aku nggak ngerokok," ujarnya lalu menyimpan rokok itu kembali.
Nada terlihat berpikir. "Sejak kapan lo ngomong aku-kamu?"
Akhirnya cewek itu menyadari Hyunjin yang sejak tadi berbicara menggunakan aku-kamu.
"Sejak tadi di jalan."
"Kenapa?"
"Pengen aja."
Nada mengerutkan alisnya. Dirinya semakin disadarkan bahwa sekarang sedang bersama dengan orang yang amat aneh. Nada menenteng totebagnya dan bersiap berdiri.
"Mau kemana?"
"Pulang."
"Tunggu aku selesai makan dulu, nanti aku antar, serius deh." Hyunjin menahan lengan Nada, dengan wajahnya yang entah kapan bisa berekspresi memohon.
Nada akhirnya duduk lagi. Bukan, bukan karena luluh melihat ekspresi wajah Hyunjin, tetapi dirinya hanya malas mencari angkutan umum lagi di siang yang agak terik ini.
"Ni, Mas, baksonya dua. Yang satu nggak pakek daun bawang."
"Terima kasih, Mang Jojo," sahut Hyunjin pada pemilik warung bakso itu.
"Lo makan dua mangkok?" tanya Nada yang keheranan melihat ada dua mangkok bakso yang terlihat sangat enak.
Hyunjin menggeleng, lalu menggeser mangkok bakso itu ke hadapan Nada. "Buat kamu," ujarnya sambil tersenyum.
"Kan gue bilang nggak mau makan?!"
"Nggak usah protes. Makan, kamu laper, nggak usah bohong," ujar Hyunjin seraya memasukkan bola-bola bakso ke dalam mulutnya. "Wahh, surga dunia."
Nada akhirnya meraih mangkok di hadapannya. Menghargai Hyunjin yang sudah membelikannya bakso.
Nada terdiam seketika saat kuah dan bola-bola daging masuk ke dalam mulutnya.
"Enak kan? Pokoknya bakso Mang Jojo paling enak, dagingnya kerasa, bukan kaleng-kaleng deh pokoknya," ujar Hyunjin yang sudah seperti food vlogger itu.
Nada yang biasanya tidak pernah mengiyakan Hyunjin, kini mengangguk. Bukan apa-apa, tapi baksonya benar-benar enak apalagi dimakan saat lapar di siang bolong seperti ini, ditambah es teh manis yang selalu sempurna menemani setiap makanan.
Hyunjin terkekeh melihat Nada yang terlihat lahap memakan bakso.
"Jangan diliatin, gue malu," ujar Nada yang sadar Hyunjin tengah menatapnya.
Hyunjin terkekeh lalu kembali menatap mangkok baksonya yang hampir habis.
"Nada!"
Nada menoleh pada sumber suara. Ternyata Sandra yang naik di jok belakang sebuah motor itu dengan wajah terkejutnya memanggil Nada sambil berlalu.
Ah, Sandra terlihat sangat syok melihat Nada sedang makan bakso di pinggir jalan bersama Hyunjin.
Tunggu saja, Nada pasti akan dituntut penjelasan kenapa bisa berduaan dengan Hyunjin seperti itu.
"Temen lo?" tanya Hyunjin yang juga melihat Sandra yang semakin menjauh.
"Iya, coba aja dia yang bawa motor, kayaknya sudah pasti berhenti deh tuh dia."
"Kenapa?"
"Dia kan salah satu di antara banyaknya fans lo," ujar Nada sambil terkekeh, masih tak habis pikir kenapa orang seperti Hyunjin banyak fansnya.
"Kalau kamu?"
"Apanya?"
"Ngefans nggak sama aku?"
"Enggak," sahut Nada dengan singkatnya.
Aneh, jawaban Nada itu malah membuat Hyunjin tersenyum, senyum yang susah dijelaskan, senyum yang mengandung banyak makna.
***