[2] Pengantin Baru

1735 Words
Sebagai pengantin baru tentu honeymoon adalah liburan yang paling aku nantikan. Tapi, jika saja waktu bisa diputar. Mungkin aku sedari awal sudah mengetahui tentang mas Adi yang sebenarnya… - Sarah - * * * * *     Pesta pernikahan sudah usai sejak 30 menit yang lalu. Para tamu undangan sudah pulang dan meninggalkan rumah Sarah yang menjadi pesta pernikahannya. Kini kedua insan itu telah bersiap untuk pergi dari rumah Sarah dan pergi menuju rumah barunya.      Setelah merasa semuanya siap. Sarah pun keluar dari kamar ditemani dengan mas Adi yang mengikutinya di belakang Sarah.      “Bu, Pak. Sarah pamit ya,” ucap Sarah tertatih.      Jujur saja, perempuan itu masih dengan berat hati meninggalkan rumah yang telah menjadi saksi tumbuh besarnya Sarah selama 25 tahun.      Ibu dan Bapak tersenyum mendengarnya. Mereka berbarengan memeluk putri tunggalnya dengan erat kemudian melepaskannya. Mereka menatap putri kecilnya itu, sama seperti Sarah, mereka juga dengan berat hati melepas putrinya yang kini sudah berstatus menjadi istri seorang Adi.      “Jika kamu kekurangan beras, lauk atau apapun itu bilang pada Ibu ya. Ibu pasti akan memberikannya padamu, Sar,” ujar Ibu.      Sarah menggelengkan kepalanya, “Tidak perlu, Bu. Sarah yakin, mas Adi pasti mampu menafkahi Sarah.” “Iya, Bu. Adi akan berusaha membahagiakan Sarah dan sebisa mungkin menafkahi Sarah semampu Adi,” jelas Adi.      “Kamu laki-laki yang bertanggung jawab ya,” ujar Bapak.      “Makasih, Pak,” jawab Adi.      “Udah gih kalian buruan pulang ke rumah baru kalian, nanti semakin malam. Kalian pasti lelah dan butuh istirahat,” ujar Ibu.      “Oh iya, Bu. Sarah dan mas Adi pamit ya,” ujar Sarah.      “Ibu titipkan Sarah padamu ya, Adi.” “Baik, Bu,” jawab Adi. Sarah dan Adi pun bergantian salam pada Ibu dan Bapak. Mereka berjalan ke luar rumah dan meletakkan koper berisikan pakaian Sarah ke dalam mobil. “Bu, Pak. Sarah pamit. Assalamualaikum,” ucap Sarah.      “Assalamualaikum Pak, Bu,” lanjut Adi.      Adi membukakan pintu mobil pada istrinya dan mempersilahkan Sarah masuk, namun belum saja Sarah masuk, Sarah bisa mendengar seseorang memanggilnya.      “Non Sarah! Tunggu bibi, non!” pekik suara dari dalam rumah.      Tak berapa lama kemudian, bibi pun keluar dari dalam rumah dengan membawakan kantung plastik dan segera berlari menghampiri Sarah. Sarah pun kembali keluar dari mobil dan berdiri.      “Oh iya, Sarah belum pamitan sama bibi,” ujar Sarah. Napas bibi terdengar terengah-engah karena berlari dari dalam rumah. “Non, ini bibi buatkan sop buntut kesukaan non Sarah. Bibi tau, non Sarah pasti ga akan sempat masak. Bisa untuk makan malam non Sarah sama tuan Adi,” ujar bibi sembari menyerahkan kantung plastik berisikan rantang makanan. “Nasi nya jiuga udah bibi masak kok non. Jadi non Sarah tinggal makan aja, hehe,” sambung bibi.      “Wah makasih banyak ya, bi. Tau aja kalau Sarah ini gampang laper. Makasih ya, bi. Sarah pamit dulu.” Sarah mengambil kantung plastik itu dan masuk ke dalam mobil diikuti dengan Adi yang memutar ke samping kanan mobil dan ikut masuk ke dalam mobil. Adi melajukan mobilnya dan meninggalkan halaman rumah Sarah. “Nanti kalau weekend kita ke rumah Ibu kok,” ujar Adi menenangkan Sarah. “Loh, emangnya gak apa-apa, mas?” tanya Sarah. “Iya. Aku tau, gak gampang bagi kamu untuk pisah dengan kedua orang tua kamu, Sar. Kamu berbeda sama kamu. Kalau aku sudah hampir 3 tahun pisah sama orang tuaku. Bahkan aku kerja sambil kuliah jadi mengharuskan aku untuk kost dan keluar dari rumah.” “Mas, apa dulu kamu sering rindu sama Mama waktu baru awal keluar dari rumah?” “Banget, Sar. Aku rindu banget sama Mama. Apalagi masakan Mama. Selalu buat aku kangen.” “Makasih banyak ya, mas. Kamu memang suami paling pengertian untukku.” Adi tersenyum mendengarnya dan mengusap kepala Sarah perlahan sembari memperhatikan jalanan malam yang semakin sepi. * * * * *     Adi memasukkan barang-barang yang akan ia bawa untuk liburan bersama sang istri ke dalam koper berwarna coklat berukuran besar itu.      “Udah semua, mas?” tanya Sarah pada Adi yang masih sibuk berkutat di hadapan kopernya.     “Ini tinggal masukin peralatan untuk mandi,” ujar Adi.     Sarah melihat isi koper yang tertata rapi. Sepertinya sang suami sudah sering membereskan barang-barang dan menatanya dalam satu koper sehingga Sarah tak perlu repot-repot mengajarkan Adi untuk menata barang-barang mereka ke dalam koper.     “Selesai,” ujar Adi kemudian menutup koper itu dan memasangkan gembok kecil.     Sarah yang melihat itu menaikkan sebelah alisnya.     “Loh, kok digembok mas?” tanya Sarah.     Adi melihat ke arah koper yang kini sudah tertutup rapat kemudian melihat kea rah tatapan istrinya yang tampak kebingungan.      Seolah mengerti dengan apa yang ditanyakan oleh Sarah, Adi pun tertawa mendengar pertanyaan istrinya itu.      “Oh ini,” ujar Adi.      “Ih, mas kok malah ngetawain aku sih?” tanya Sarah dengan tampang sok marahnya.      “Ya abisnya kamu lucu sih. Maaf-maaf aku lupa kalau kamu belum pernah naik pesawat.” Sarah tampak mengerucutkan bibirnya dan bersikap seolah ia sedang marah pada suaminya. “Yah marah,” ujar Adi.     Sarah menyilangkan kedua tangannya di depan d**a.     “Wahai istriku yang cantik, jangan marah dong. Itu bibirmu kebalap sama hidung, kan gak lucu kalau lebih mancungan bibir daripada hidung.”     Bukannya membuat reda amarah Sarah, Adi justru mengeluarkan kata-kata yang membuat Sarah semakin geram.     “Mas Adi!” pekik Sarah lalu mulai mencubit perut Adi.     “A-aw!”     “Macem-macem sama aku, aku cubit sampai biru nih ya,” ujar Sarah.     “Ampun dek, ampun,” ucap Adi dengan mata terpejam dan tangan yang menggenggam tangan Sarah yang kini sibuk memutar kulitnya hingga ia terlonjak kaget.     Sarah tertawa kecil melihat reaksi suaminya yang tampak kesakitan itu. Berulang kali suaminya melontarkan kata ampun dan maaf.     “Ya udah aku maafin,” ujar Sarah lalu menarik tangannya dari perut Adi.     Adi membuka matanya dan menatap wajah istrinya.     “Lucu ya istriku kalau cemberut,” goda Adi.     “Mas udah dong jangan goda aku lagi. Mau aku cubit lagi?” tanya Sarah dan bersiap memegang perut Adi dengan jari telunjuk dan jempolnya yang siap menyatu itu.     Dengan sigap Adi menghindari jari Sarah dan menurunkan lengan istrinya.     “Ampun,” ucap Adi.     “Iya ga akan aku ulangi,” sambungnya.     Sarah pun menarik tangannya lagi dan menatap Adi tajam seolah ingin memakan suaminya detik itu juga.     Adi yang melihat itu hanya tersenyum dan menatap mata Sarah dengan gaya sok imutnya.     “Udah ah mas. Mual aku lama-lama lihat kamu gaya begitu,” ujar Sarah.     Adi membulatkan matanya dan menyentuh perut Sarah, “Loh, kamu udah isi, Sar?”     Plak!     Satu pukulan berhasil melayang ke kepala Adi dengan mulus.     “Mas, kita aja baru menikah dua hari lalu. Menurutmu wajar kalau aku hamil? Awas ya kalau kamu pikir yang nggak-nggak,” ujar Sarah.     “Aduh, sakit nih. Kayaknya kepalaku bocor, dek,” ujar Adi sembari memegangi kepalanya yang baru saja dipukul oleh Sarah.     “Udah ah, liat kamu akum akin emosi, mas.”     Sarah pun pergi meninggalkan Adi yang masih memegangi kepalanya dengan tatapan manja.     “Kayaknya aku gak berhasil buat dia ketawa,” ujar Adi.     Adi pun membenarkan raut wajahnya menjadi seperti biasanya, bukan dengan tampang wajah anak-anak seperti yang ia lakukan di hadapan Sarah tadi.     Sarah turun ke lantai satu, meninggalkan suaminya.     “Mas Adi pasti bisa kan membereskan pakaian kita untuk ke Bali,” gumam Sarah.     “Ah udahlah, pasti bisa,” sambung Sarah.     Sarah berjalan ke dapur dan menempatkan masakan yang sudah ia masak tadi ke piring, lalu diletakannya piring-piring itu ke atas meja makan.     Setelah semuanya tertata, Sarah melihat warna masakan yang begitu cerah.     “Hm, kayaknya enak,” gumam Sarah.     Sarah memperhatikan makanan yang hampir semuanya berwarna merah. Ia pun menarik kursi dan menunggu suaminya turun dari kamar.     Tak berapa lama kemudian Adi turun dan melihat atas meja yang sudah penuh dengan piring dengan isi masakan yang semuanya berwarna merah.     “Sar, kamu yakin belum isi?” tanya Adi setelah ia melihat semua masakan yang disajikan oleh Sarah di atas meja makan.     “Belum, mas. Lagi pula kan masa ovulasi itu 2 minggu. Mana mungkin baru dua hari langsung jadi,” ujar Sarah.     “Semua makanan disini kamu masak pedas. Kan kamu tahu mas kurang suka pedas,” ujar Adi. Sarah bangkit dari duduknya dan meletakkan piring di hadapan Adi.     “Mas duduk dulu. Cobain masakannya,” ujar Sarah.     Adi pun menuruti ucapan Sarah dan menarik kursi lalu duduk di atasnya.     Sarah mengambilkan Adi nasi dan juga ayam goreng balado ke piring Adi.     “Nih, mas cobain dulu,” ujar Sarah.     Adi pun mengambil sendok dan garpu yang tersedia di sana dan mengambil bumbu berwarna merah yang melumuri seluruh bagian daging ayam yang ada di atas piringnya dengan menggunakan ujung sendoknya lalu diarahkannya sendok itu ke dalam mulut Adi.     Mata Adi memejam seketika.     “Pedas?” tanya Sarah.     Mendengar Sarah bertanya demikian, Adi pun membuka matanya dan menggelengkan kepalanya.     “Apa kan aku bilang,” ujar Sarah.     “Kamu gak bilang apa-apa, dek. Kamu cuma menyuruh mas makan saja,” jawab Adi.     “Ih mas bawel ah kayak aku. Cukup aku aja yang bawel, mas Adi jangan.”     Adi tersenyum mendengarnya. Ia kembali mengalihkan perhatiannya ke makanan lain dan memasukannya ke piring yang ia gunakan.     “Ini pedes gak, dek?” tanya Adi.     “Mas, semua warna merah ini dari cabe merah dan tomat saja. Jadi gak akan pedas, Semuanya sudah sesuai dengan selera mas kok,” ujar Sarah.     Mendengar jawaban sang istri seperti itu, tanpa menunggu waktu lama Adi pun menyantap makanan yang ada dalam piringnya.     Beberapa saat kemudian, Adi dan Sarah sudah selesai dengan makanan mereka masing-masing.     Sarah bangkit dari duduknya dan meraih piring bekas Adi, namun tindakannya itu ditahan oleh Adi.     “Mas, aku mau cuci piring dulu, habis itu siap-siap,” ujar Sarah.     Adi menggelengkan kepalanya, “Kamu langsung ke kamar aja. Mandi lalu siap-siap. Biar mas saja yang cuci piring,” ujar Adi.     “Loh kok gitu?” tanya Sarah tak terima.     “Kamu kan dandannya lama. Belum lagi pakai jilbab. Semua baju sudah masuk koper jadi kamu tinggal siap-siap saja. Pesawat kita berangkat jam 7 malam loh. Ini sudah jam 2 siang. Apa kamu gak takut ketinggalan pesawat?”     Sarah pun menyetujui ucapan Adi, “Yaudah aku ke atas ya, mas.”     Adi menumpuk piring di atas meja makan satu persatu dan membawanya ke dalam wastafel kemudian menyalakan air dan mulai membersihkan piring putih yang kini tertutupi oleh bumbu berwarna merah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD