Setelah keluarganya dan keluarga Revan pulang, Qiana tidak langsung masuk kedalam kelas, melainkan dia pergi ke kantin untuk membeli minuman terlebih dahulu.
"Mbak Tini, saya pesan jus alpukat satu. Gak usah pakai gula." Seru Qiana kepada Mbak Tini. Ibu kantin sekolah SMA 2 Jakarta.
"Pantesan gak usah pakai gula, ternyata orangnya udah manis." Celetuk Arga yang langsung duduk di samping Qiana.
"Eh, lo bukannya cowok yang ada di kantor tadi?" Tanya Qiana sambil mencoba mengingat-ingat.
"Ternyata ingatan lo tajam juga ya, Kenalin nama gue Arga Pratama. anaknya Pak Santoso." Ucap Arga, memperkenalkan diri. Terkesan sombong memang.
"Emang gue pisau apa tajam, nama gue Qiana." Balas Qiana sambil tersenyum manis. Memperlihatkan betapa indahnya kedua lesung pipinya.
"Gak usah senyum seperti itu kalik, Nanti gue pingsan lihatnya." Tegur Arga sambil menatap mata Qiana dalam.
"Lah kenapa? Kok bisa pingsan?" Tanya Qiana dengan wajah polos. Sebelum Arga menjawab, tiba-tiba Mbak Tini datang mengantarkan pesanan Qiana.
"Ini neng, minumannya." Ucap Mbak Tini, sambil menyodorkan jus alpukat pesanan Qiana.
"Berapa mbak?" Tanya Qiana dengan nada halus, bahkan terdengar seperti gumaman.
"5.000 neng." Jawab Mbak Tini dengan nada ramah. Sebelum Qiana membayarnya, Arga sudah lebih dulu membayarnya.
"Maaf Mas Arga ,kembaliannya gak ada kalau 50 ribu." Ucap Mbak Tini dengan nada sopan.
"Ambil aja mbak kembaliannya." Balas Arga sambil tersenyum tipis. Berbeda dengan Revan yang dingin.
"Aduh, makasih loh mas. Coba saja setiap hari mas Arga kayak gini, sayakan senang." Ucap Mbak Tini kepada Arga.
"Itu sih maunya mbak, saya bangkrut dong kalau sering-sering kayak gini." Gurau Arga sambil menanggapi gurauan Mbak Tini dengan tawa.
Setelah membayar minuman Qiana, Arga mengajak Qiana pergi ke taman.
"Eh, btw makasih ya udah dibayarin tadi." Ucap Qiana, tulus.
"Sama-sama. Apasih yang enggak buat cewek semanis lo." Balas Arga sambil mengacak-acak rambut Qiana.
"Ishhh..., jangan diacak-acak." Kesal Qiana sambil memanyunkan bibirnya.
"Manis juga nih cewek kalau lagi ngambek. Kayaknya gue mulai suka sama dia. Tapi gak boleh, gue gak boleh suka sama dia." Batin Arga berkata.
Tanpa Arga sadari, sedari tadi dia tengah tersenyum kearah Qiana sambil melamun.
"Woy, Ga!! Jangan ngalamun. Nanti kesambet setan." Tegur Qiana sambil tertawa keras.
Arga yang baru saja sadar dari lamunannya langsung terlihat gugup. Tapi tidak lama, dia langsung merubah ekspresi gugupnya menjadi biasa saja.
"Coba aja kalau gue minum kopi pahit tanpa gula, terus lo senyum kearah gue, pasti seketika kopi gue jadi manis." Gombal Arga sambil tersenyum hangat kearah Qiana.
"Haaaa..., kok bisa?" Tanya Qiana dengan polosnya.
"Karena senyuman lo itu terlalu manis. Melebihi gula dan madu." Emang dasarnya buaya darat disuruh ngegombal ya gampang.
"Ishhh...., gombal terus." Cibir Qiana dengan wajah malu. Tangan mungilnya memukul lengan Arga. Tanpa mereka sadari, Revan menyaksikan semua yang mereka lakukan. Entah kenapa hati Revan menjadi panas.
"Lo tahu gak Qi, Lo itu ibarat roti." Ucap Arga dengan bibir tersenyum.
"Kenapa begitu?" Qiana menaikkan satu alisnya bingung.
"Luarnya udah terbungkus rapi, dalamnya lembut lagi." Lanjut Arga. Sepertinya cowok itu rajanya gombal.
"Maksudnya?" Tanya Qiana kepada Arga sambil menaikkan satu alisnya.
"Luarnya terbungkus rapi, maksunya lo beda dari cewek lain. Saat gue godain mereka, pasti mereka akan berteriak kegirangan. Sedangkan lo tidak. Saat gue godain mereka, dengan senang hati mereka akan melepas bajunya untuk gue. Sedangkan lo, lo malah terlihat cuek" Terang Arga sambil menjelaskan kepada Qiana.
"Kalau dalamnya lembut maksudnya?" Tanya Qiana sambil meminum minumannya. Cewek itu terlihat sangat polos dan menggemaskan.
"Aduh Qi, Lo polos banget jadi cewek. Dalamnya lembut, maksudnya lo kalau ngomong lembut banget." Jawab Arga. Dia menjelaskan maksudnya kepada Qiana yang polos itu.
Qiana hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Pertanda dia mengerti apa yang Arga jelaskan.
Tit.......
Suara bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Qiana yang tadinya menunduk, mengangkat kepalanya.
"Ga, gue pulang dulu" Pamit Qiana kepada Arga.
"Mau gue anterin?" Tawar Arga kepada Qiana.
"Gak usah, gue pulang bareng Revan." Tolak Qiana, halus.
"Gue pulang dulu ya Ga," Setelah berpamitan kepada Arga, Qiana langsung berlari menuju parkiran sekolah.
"Huffff...., Rev, gue pulang bareng lo ya?" Tanya Qiana kepada Revan. Dia mengatur nafasnya akibat berlari tadi.
"Gak!!" Tolak Revan mentah-mentah.
"Terus gue pulang bareng siapa?" Tanya Qiana sambil memajukan bibirnya. Revan tahu, cewek didepannya pasti sebentar lagi akan menangis.
"Itu urusan lo." Sebenarnya Revan tidaklah tega berbicara seperti itu kepada Qiana. Namun mau bagaimana lagi, Hatinya masih terasa sakit melihat kedekatan Qiana dan Arga tadi.
"Hiks..., hiks..., jahat bangetsih lo Rev." Isak Qiana sambil meremas rok abu-abunya.
Mata cewek itu menatap Revan sedih. "Cengeng banget lo jadi cewek. Cepat naik." Suruh Revan, seketika mata Qiana berbinar seperti mendapatkan undian lotre.
Perjalanan dari sekolah menuju masion Revan tidaklah lama. Karena jalanan tidak terlalu mancet.
"Beresin baju-baju lo, gue mau ganti baju dulu. Setelah itu gue antar lo pulang." Suruh Revan sambil berjalan menaiki tangga rumahnya.
Setelah mendengar perintah Revan, Qiana langsung berlari menaiki satu-persatu anak tangga menuju kamar Revan. Dia memberesi baju kotornya yang dia pakai semalam.
"Rev, gue udah selesai. Buruan anterin gue pulang." Seru Qiana yang suaranya memenuhi seisi masion Revan.
"Gak usah teriak-teriak. Telinga gue masih normal, gak tuli." serkah Revan dengan nada dingin. Dia mengeluarkan motornya dari garasi.
"Ayo, keburu malam." Ajak Revan, dia menyuruh Qiana cepat naik keatas motornya.
Sepanjang perjalanan tidak ada yang bicara, Qiana dan Revan sama-sama terdiam.
Sampai akhirnya mereka sampai didepan gerbang rumah Qiana.
"Makasih, Mampir dulu yuk Rev?" Tawar Qiana kepada Revan.
"Lain kali, Kebetulan ini udah malam. Gue pamit pulang dulu, salam buat orang tua dan kakak lo." Setelah berkata seperti itu, Revan langsung pergi menggunakan motornya. Tapi dia bukan langsung pulang, melainkan mampir ke restorannya yang dia bangun menggunakan uangnya sendiri.
Sekarang Revan sudah memiliki usaha sendiri. Seperti club malam, caffe, dan restoran. Semua itu dia bangun dalam waktu 2 tahun.
Ting.....
Suara pintu restoran terbuka. Pertanda ada orang yang masuk kedalam restoran. Semua orang langsung melihat kearah pintu untuk melihat siapa orang yang masuk kedalam restoran.
"Mau pesan apa Mas?" Tanya pelayan kepada Revan.
"Kopi aja." Pelayan itu langsung mencatat pesanan Revan.
"Ada yang ingin anda pesan lagi Mas?" Tanya kembali pelayan itu, siapa tahu Revan belum selesai memesan makanan.
"Tidak." Jawab Revan dengan singkat. Pelayan itu langsung pergi. Tidak lama pesanan Revan pun datang.
"Ini pesanannya Mas. Selamat menikmati." Ucap pelayan kepada Revan. Pelayan itu langsung pergi ketika Revan sudah menganggukkan kepalanya. Karena seluruh pelayan serta koki yang ada disini sudah tahu bagaimana sifat Revan yang dingin dan irit bicara.
"Ma, itu Revan atau gak?" Tanya Devan kepada mamanya.
"Mana, Dev?" Tanya Diana yang tidak melihat putranya.
"Itu yang pakai jaket abu-abu." Tunjuk Devan kepada ibunya. Dia menunjuk seorang cowok tampan yang sedang asik makan tanpa memperdulikan orang disekitarnya.
"Yang duduk dipojokan itu?" Tanya Dirga, kepada Devan.
"Iya, pah." Jawab Devan kepada Dirga.
"Mari kita kesana." Ajak Dirga, mereka sekeluarga langsung berdiri dan berjalan menuju meja yang ditunjuk oleh Devan tadi.
"Rev..." Panggil Devan kepada remaja yang duduk di pojokan restoran.