8.Bahagia

1428 Words
Merasa namanya di panggil oleh seseorang, Revan langsung menghentikan aksinya yang sedang minum. Dia menoleh kekanan dan kekiri untuk melihat siapa orang yang memanggilnya tadi? "Eh mama, papa, sama kamu bang. Ngapain disini?" Tanya Revan basa-basi. Sebenarnya trik itu hanya agar menghilangkan kegugupannya saja. "Ngamen." Emang dasarnya Devan si biang usil. Dia menjawab dengan asal. "Maksudku gak gitu bang." Revan menjadi salah tingkah sendiri mendengar jawaban abangnya. "Aku tahu, kemana aja kamu semalam gak pulang?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir abangnya. Jujur saja, Revan sedang menghindari pertanyaan itu. "Tidur di rumah teman." Jawab Revan dengan gugup. Terpaksa dia harus berbohong. Karena masion yang dia miliki adalah masion pribadi. Keluarganya tidak ada yang tahu soal itu. "Siapa? Adendra atau Raka?" Seperti wartawan yang sedang mengintrogasi maling, Devan terus bertanya. "Adendra." Lagi-lagi Revan harus berbohong kepada Devan, abangnya. Karena Devan maupun orang tuanya, tidak tahu jika Revan sudah memiliki rumah serta usaha sendiri. "Ohhh..." Beo Devan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. "Lain kali kalau kamu ingin tidur di rumah orang, bilang dulu sama mama. Agar mama sama papa tidak khawatir nyariin kamu." Diana angkat bicara. Dia sangat khawatir kepada putra keduanya, karena semalaman dia pergi tidak pulang. "Maaf, Ma." Sesal Revan kepada mamanya. "Iya, lain kali gak boleh diulangi lagi." Pinta Diana dengan tatapan khawatir. Revan hanya mengangguk tanda setuju. "Rev, papa penasaran deh. Tadi pagi kok kamu bisa berangkat bareng Qiana?" Dirga yang tadinya sibuk dengan ponselnya akhirnya angkat bicara. Suara bass itu seakan mengimindasi Revan lewat pertanyaannya. Dirga sangat hafal dengan wajah Qiana. Karena sewaktu dia bertamu ke rumah bramasta, dia sempat melihat Qiana yang tengah membantu mamanya menyiapkan makanan. "Qiana, siapa pah?" Belum sempat Revan menjawab, Devan sudah lebih dulu bertanya kepada Dirga. "Qiana anaknya Riyan sama Helena." Sontak jawaban yang Dirga berikan membuat mulut Devan menganga lebar. "Wihhhh...., hebat adikku emang Pa. Sekali gaet cewek, dapetnya anak kolongmerat. Salut abang sama kamu, Rev." Devan menepuk bahu Revan, dia sangat tidak menyangka bahwa gebetan adiknya adalah adik seorang aktor ternama. "Sakit goblok." Serkah Revan dengan mata tajam. Abangnya memang terlalu berlebihan dalam bersikap. "Lagian dia bukan cewekku." Lanjut Revan. Dia terlihat sangat tidak perduli. "Bukan cewek kamu, tapi calon istri kamu. Hahaha...." Goda Devan sambil tertawa lebar. "Udah-udah, kalian ini. Rev, kamu belum jawab pertanyaan papa." Sergah Dirga sambil mengingatkan kepada Revan untuk menjawab pertanyaannya tadi. "Kebetulan ketemu dijalan pa, sewaktu dia jalan kaki." Dusta Revan yang sedang mencoba menjelaskan kepada papanya. Berharap papanya percaya dengan omong kosongnya itu. "Bohong, pa. Mana mungkin seorang putri Riyan bramasta, orang terpandang, Membiarkan anaknya jalan kaki." Serkah Devan sambil melirik Revan. "Iya Rev, mana mungkin Riyan membiarkan putrinya itu jalan kaki." Ucap Dirga yang tidak percaya dengan cerita Revan. "Gak tahu, pa. Mungkin ban mobilnya bocor atau gimana." Alibi Revan. Dia mencoba memberi alasan kepada papanya. "Dasar abang sialan." Batin Revan dengan wajah kesal. "Udah-udah, Pa. Ayo pulang. Mama ngantuk mau tidur." Lerai Diana kepada Dirga, Revan, dan Devan. "Bentar ma, papa bayar dulu." Balas Dirga, dia bersiap berdiri dari duduknya. "Gak usah, Pa. Biar Revan yang bayar makanan kalian." Sela Revan menghentikan tangan papanya yang akan mengambil dompet dari saku celananya. “Ini restoran mahal loh, Rev. Kamu dapat uang sebanyak itu dari mana?" Bukan Dirga meremehkan Revan. Tapi restoran yang mereka tempati adalah restoran Bintang5. "Pakai uang tabungan Revan.” Jawab Revan sambil tersenyum simpul. Setelah Revan membayar semua makanannya dan keluarganya, mereka semua langsung pulang. "Pa, Revan bawa motor sendiri, jadi gak ikut mobil papa." Ucap Revan memberi tahu. “Yaudah, kami duluan." Balas Dirga, mengerti. Dilain tempat sekarang cewek cantik yang sedang memakai baju tidur bergambar beruang tengah menonton derama korea di kamarnya sambil menangis. Kenzo yang baru pulang syuting tanpa sengaja lewat didepan pintu kamar Qiana yang terbuka. Sontak dia langsung kaget melihat adiknya menangis. "Kenapa kamu nangis, dek?" Tanya Ken dengan nada panik. "Kakak, hiks...hiks...." Qiana yang melihat kedatangan Ken langsung memeluk dan menangis di d**a bidang kakaknya. "Adik kakak kenapa nangis?" Tanya Ken, panik. karena Ken tahu bahwa Qiana bukanlah cewek yang cengeng. "Qiana nangis gara-gara nonton drakor." Ken yang mendengar jawaban Qiana ingin sekali menjitak kepala cantik adiknya. "Yaelah dek, kirain ada apa. Yaudah, kakak mau mandi dulu." Ucap Ken yang langsung pergi saat Qiana sudah menganggukkan kepalanya, tanda dia mengijinkan kakaknya itu pergi. "Qiana, Ken, turun!! Kita makan malam dulu." teriak Helena dari lantai bawah. "Bentar, ma." Balas Qiana yang tidak kalah kerasnya. Tok..., Tok... "Kak, Qiana boleh masuk?" Tanya Qiana kepada Ken,l dari balik pintu kamar Ken. "Masuk aja, dek. Gak kakak kunci kok." Ken sedikit berteriak ketika menjawab pertanyaan Qiana. Qiana masuk kedalam kamar bernuansa biru yang dipadukan putih itu. Harum farfum kakaknya langsung menyapa dirinya. "Kak, disuruh turun mama. Katanya diajak makan malam bareng." ucap Qiana seraya duduk diatas tempat tidur Ken. "Yaudah, ayo turun. Kasihan mama kelamaan nunggu kita." Ajak Ken kepada adiknya yang sekarang tengah sibuk bermain leptop miliknya. "Qiana, kamu mau turun gak?" "Eh, iya kak." cengir Qiana seraya menggaruk tengkuknya yang sejujurnya tidak gatal. Mereka berdua turun dengan santainya menuruni tangga. Helena yang melihat kedatangan kedua anaknya, langsung menyambutnya dengan senyuman. "Duduk kakak, adek" Suruh Helena kepada kedua anaknya. "Kak, kakak pindah dong. Qiana mau duduk didekat Papa." Suruh Qiana kepada Ken yang tengah memakan makanannya. "Gak, kamu duduk aja didekat mama. Biasanya juga kamu kalau makan duduknya didekat mama." Tolak Ken kepada Qiana yang sedang menatap dirinya dengan tatapan membunuh. "Aku mau duduk didekat papa. Mama, lihat tuh kak Ken nggak mau ngalah sama aku" Adu Qiana kepada mamanya yang sedang menikmati makanannya. "Kenapa sayang kamu gak mau duduk di dekat mama?" tanya Helena sambil mengusap lembut rambut putrinya. "Qiana kangen sama papa." jawab Qiana terisak. Kenzo mendengus pelan ketika melihat tingkah menyebalkan adiknya. "Mama jadi sedih, sekarang putri mama gak sayang lagi sama Mama." Ucap Helena yang sekarang sedang berpura-pura sedih didepan Qiana. "Kata siapa Qiana gak sayang lagi sama mama?" Tanya Qiana sambil mencium pipi tirus mamanya. "Buktinya Qiana cuma kangen sama papa doang. Sama mama enggak"jawab Helena, sambil melirik putrinya dengan tatapan sedih yang dia buat-buat. "Ishhh..., mama. Maksud aku gak gitu" Rajuk Qiana sambil memanyunkan bibir mungil merah mudanya. "Enggak-enggak sayang. Mama bercanda kok." Ucap Helena sambil mencubit pipi chuby Qiana. "Kak, pindah doang. Qiana mau duduk didekat papa" Pinta Qiana kepada Ken. Tangannya menarik-narik ujung baju tidur yang Ken kenakan. Ken yang mendengar adiknya merajuk manja hanya diam. Dia berpura-pura tidak mendengar rengekan Qiana. Saat Qiana tidak mendapat respon baik dari kakaknya, Sontak dia langsung menggigit pergelangan tangan kakaknya. "Auuuu...., sakit. " Pekik Ken seraya melotot didepan wajah cantik yang sedang berdiri tegak sambil menyilangkan kedua tangannya didada. "Makanya kak, kalau dibilangin tuh gak usah ngeyel. Apalagi pura-pura tuli." sinis Qiana seraya mengangkat ujung bibirnya. "Dasar adik durhaka" "Dasar kakak laknat" "Cantik-cantik kok seperti derakula" "Biarin! Namanya juga derakula cantik. Dari pada kakak, ganteng-ganteng kok tuli." "Diam kalian! Ken, kamu pindah didekat mama sekarang." Sergah Riyan kepada anak pertamanya. Ken yang mendengar intruksi papanya langsung berpindah duduk disamping mamanya. "Udah puas kamu, Qi?" Tanya Ken sambil memakan makanannya malas. "Puas, puas banget. Makasih kakak aku yang ganteng" ucap Qiana sambil mencium pipi Ken. "Gak usah nyium Kakak. Kakak tahu, pasti kamu belum sikat gigi." Ejek Ken sambil melirik Qiana malas. "ishhh..., kakak." Rajuk Qiana manja. Seraya melipat kedua tangannya didada. "Sudah-sudah. Ken, kamu gak usah ganggu adik kamu terus" lerai Riyan, sambil menatap Ken tajam. "Qi, papa mau nanya boleh?" Sekarang mata Riyan beralih menatap Qiana. "Boleh, mau tanya apa Pa?" Qiana terlihat sangat santai,l seraya melirik papanya. "Kemarin malam kamu tidur dimana?" Tanya Riyan sambil menatap putrinya intens. Takut-takut jika putrinya itu berbohong. "Di rumah teman." jawab Qiana dengan singkat. "Alah, temen apa temen?” Sahut Ken seraya mencolek-colek pipi Qiana. "Teman." Jawab Qiana, malas. "Emang adek udah punya teman?" tanya Helena, halus. "Udah, Ma." Qiana menjawab pertanyaan mamanya cepat. "Kapan-kapan diajak main ke rumah, Qi." Suruh Riyan kepada Qiana. "Oke, pah." Cengir Qiana, seraya mengacungkan jempolnya. "Mah, Qiana bantuin mama cuci piring, ya?" Tanya Qiana seraya memeluk pinggang mamanya. "Gak usah sayang. Mama bisa sendiri" Tolak Helena, halus. Qiana memang anak seorang pengusaha kaya. Bahkan hidupnya berkelimang harta. Namun Qiana juga bukanlah anak manja. Sedari Qiana kecil, keluarga bramasta tidak pernah mengambil pembantu. "Nanti mama kecapean gimana?" Tanya Qiana penuh kasih sayang. "Gak lah sayang, Mending kamu tidur. Besokkan kamu sekolah." suruh Helena kepada Qiana yang sekarang sedang memanyunkan bibirnya. "Good night Ma, Pa, Kak. Qiana tidur dulu" ucap Qiana, sambil mencium pipi Mama, Papa, Dan Kakaknya. "Night too beby." Balas Ken sambil mencium balik pipi Qiana. "Night too sayang." Balas Riyan dan Helena bersamaan.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD