3

1005 Words
Eliza tersenyum seraya meletakkan nampan berisi pesanan pelanggan meja nomor duabelas tersebut. "Ini pesanannya Tuan, silakan dinikmati." ucap Eliza ramah. "Terima kasih." Deg. Jantung Eliza mencelos mendengar suara itu, seperti tidak asing di telinganya. Eliza mendongakkan kepalanya yang tadi menunduk dan terkejut saat mendapati sosok Evanz. Awalnya Eliza tidak tahu jika wajah dibalik buku novel yang tengah dibaca itu adalah Evanz. Sebab itulah Eliza bisa bernafas lega dan santai mengantarkan pesanannya. "Hai," sapa Evanz menggerakkan kelima jarinya pada Eliza yang berdiam diri di tempatnya. Kekakuan dan ketegangan pada diri Eliza jelas dapat terbaca oleh Evanz yang senantiasa menatapnya intens. Evanz memperhatikan lekat sekujur tubuh Eliza, dari atas sampai bawah. Menarik! batin Evanz berdecak kagum menilai penampilan Eliza yang tampil beda namun tetap cantik. Harus Evanz akui bahwa ketiga wanita bersaudara ini memang cantik-cantik, meskipun tetap Elinnanya-lah yang sangat tercantik di bandingkan Elyaz dan Eliza. "Calon adik ipar," Eliza tersentak dengan panggilan Evanz untuknya. "Apa yang kamu lakukan disini, dengan berpakaian seperti itu?" "Uhm, aku—" "Sayang!" Evanz dan Eliza kompak menoleh dan melihat sosok Elinna yang baru tiba di cafe. Cup. Elinna mengecup mesra kedua pipi Evanz secara bergantian tanpa malu ataupun melihat tempat sekitar. "Maaf aku agak telat," sesal Elinna yang masih belum menyadari keberadaan sang adik. "Iya, gak apa-apa." "Astaga, Liza kamu disini juga?" pekik Elinna terkejut "Iya tadi sengaja mampir kesini Mbak selesai siaran." sahut Eliza seadanya, "yaudah kalau gitu aku permisi." Dengan gerakan cepat Eliza melangkah pergi dari sana, sedikitpun Eliza sama sekali tidak ada menatap ke arah Evanz. Ia sama sekali tidak memiliki keberanian untuk menatap pria itu. Masih teringat jelas adegan kecupan mesra yang diberikan Elinna beberapa saat yang lalu, dan itu membuat kedua matanya terasa panas. Jordan yang sedari tadi memperhatikan Eliza terlihat khawatir. "Eliza, kamu kenapa?" Eliza tidak menjawab dan lekas menaruh nampan tadi dengan sedikit kuat, setelahnya Eliza berlari kecil menuju ke ruangan Elyaz. Langkah Eliza berhenti tepat di depan pintu ruangan Elyaz, menyentuh handle pintu tanpa berniat untuk membukanya. Cairan bening itu akhirnya keluar dan meluncur dengan derasnya, Eliza menyentuh dadanya saat rasa sakit itu kembali menderai dan bersarang disana. Seharusnya tidak seperti ini. Eliza harus kuat melalui ini, ia tidak boleh terus-terusan bersikap begini. Evanz itu kekasih kakaknya, dan Eliza pun telah berjanji untuk menghilangkan perasaan cinta yang ada untuk Evanz. Eliza membatalkan niatnya yang ingin membuka pintu itu sebab dia tidak ingin kakaknya Elyaz tau dengan suasana hatinya saat ini. Jika Elyaz tau maka sudah dipastikan akan ada pertengkaran hebat nantinya. Tidak, tidak! "Eliza kamu harus melupakan dia," ucap Eliza menyemangati dirinya. Bahwa ia mampu melupakan cintanya pada Evanz. **** Malam ini Eliza siaran seperti biasanya, setelah hampir dua jam lamanya duduk sembari menghibur penonton setia tanpa bertatap muka secara langsung. Menjadi seorang penyiar radio di salah satu stasiun radio swasta adalah impian Eliza sejak kecil. Selain ia menyukainya, pekerjaan ini juga tidak begitu berat ataupun menyita waktunya. Dan yang paling penting bagi Eliza, tak harus saling bertatap muka dengan penonton. Eliza tersenyum lega seraya melepaskan headphone dari telinganya. Ah, saatnya untuk pulang! seru batin Eliza berteriak senang. Klek. Eliza menoleh ke arah pintu yang terbuka, dan ia melihat Rizal, salah satu teman se-profesinya. "Udan mau pulang?" tanya Rizal sembari melangkah masuk ke dalam. "Iya," sahut Eliza mengangguk. "Semangat ya, sekarang giliran kamu yang siaran." tukas Eliza memberi semangat untuk Rizal yang akan melanjutkan siaran terakhir malam ini. "Sipp. Eh, Li!" seruan Rizal menghentikan langkah Eliza. "Ya?" "Hampir aja aku lupa." "Kenapa?" "Itu tadi ada yang kirim salam sama kamu." Dahi Eliza berkerut dalam, "siapa?" "Seseoranglah pokoknya." "Iya, siapa?" "Cowok." "Hah?" Eliza semakin bingung, "siapa sih Zal? Jangan buat aku penasaran gini dong." "Penyiar radio juga." "Disini?" Rizal menggeleng. "Jadi, penyiar radio di tempat lain maksud kamu?" Rizal kembali menggeleng. "Lah, semua enggak. Gimana sih?!" kesal Eliza benar-benar dibuat pusing. "Haha, pokoknya rahasia. Dia minta sama aku untuk gak kasih tau identitas dia ke kamu." tukas Rizal yang tak lama memukul pelan kepalanya sendiri seraya mengumpati dirinya sendiri bodoh. Jelas saja, sebab secara tak sengaja tadi Rizal sudah mengungkapkan identitas si pengirim salam misterius itu juga merupakan seseorang yang berkaitan dengan radio. "Intinya gitulah, Li. Dia titip salam sama kamu." "Hmm, kirim salam balik kalau gitu." "Dan, oh ya satu lagi." Eliza menghela nafas sabar, "apaan?" "Dia minta nomor ponsel kamu, kalau kamu gak keberatan aku kasih nomor ponsel kamu ke dia. Boleh?" Eliza berpikir sejenak dan kemudian mengangguk, "boleh, kasih aja." "Asiappp." "Oke, ada lagi gak?" "Nggak, itu aja. Makasih ya Li." "Iya, kalau gitu aku pamit pulang. Dah!" "Dadah," Rizal balas melambaikan tangannya pada Eliza. "Yess!" jerit kegirangan Rizal setelah Eliza keluar dari ruangan studio. Rizal mengambil ponselnya yang tersimpan di saku celana jeans-nya, kemudian mengirimkan sebuah pesan pada seseorang. Orang tersebut tersenyum bahagia saat matanya membaca deretan angka yang merupakan nomor ponsel milik seseorang. "Eliza," gumam orang tersebut yang langsung menyimpan nomor ponsel pribadi milik Eliza. **** Udah tidur? Mata Eliza membulat sempurna saat mendapati sebuah pesan chat dari nomor baru tak dikenal. "Siapa nih?" gumam Eliza penasaran, lantas ia pun segera mengirimkan balas pesan chat tersebut. Siapa ya? Isi balasan pesan chat dari Eliza. Tak membutuhkan waktu lama bagi Eliza untuk menunggu balasan pesan chat dari orang tersebut. Pengagum rahasiamu. Sontak saja mulut Eliza menganga lebar. Sejak kapan dia memiliki pengagum rahasia? Rasanya selama dua puluh lima tahun dia hidup, baru kali ini Eliza mengalami keanehan. Merasa malas dan sedikit takut Eliza Pada akhirnya mengakhiri chat tersebut dan lebih memilih mengabaikannya saja. Tapi, baru saja ingin mengabaikan ponsel Eliza kembali berbunyi. Sebuah pesan lagi dari nomor yang sama. "Astaga! Kenapa ini orang terus menggangguku?" gumam Eliza menggerutu, sepertinya sangat amat kesal. Aku terus mengawasimu, Li. "Shittt!" pada akhir Eliza tak bisa lagi menahan umpatannya yang sejak tadi ingin keluar. Dan tanpa berpikir jernih Eliza tak tanggung-tanggung melempar ponselnya cukup kuat ke lantai. Bodo amat! Tak mau pusing memikirkan nasib ponselnya yang pasti sudah hancur lebur, Eliza kembali memilih membaringkan badan dan mulai memejamkan mata yang tak lama langsung di seret ke alam mimpi. Tbc....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD