Ada sedikit rasa tersimpan untukmu. Entah cinta atau empati semata.
Sejak pertemuan tak disengaja itu, Lidya dan Salwa sering menghabiskan waktu bersama. Salwa sudah mengetahui alasan Lidya berada di rumah sakit ini. Siang ini, Lidya membawa Salwa menemui Davin.
"Namanya Davin Brainard," terang Lidya sambil berdiri di sebelah tempat tidur Davin. Kepalanya menunduk dan mengecup lembut kening Davin.
Salwa tersenyum lembut menatap dua insan didepannya. "Aku turut prihatin. Semoga Davin cepet sadar, ya!"
Lidya tersenyum lantas mengangguk pelan. Ia lalu melangkah menuju sofa berwarna cream yang terletak di sudut ruangan. Pandangan matanya tertuju pada sosok Davin yang terlelap dan entah kapan akan terbangun dari tidur panjangnya.
"Seandainya bisa, aku rela bertukar posisi dengan Davin!"
Ucapan Lidya terdengar begitu putus asa. Salwa bergerak mendekati Lidya dan mengusap lembut punggung tangannya.
"Jangan ngomong gitu, Lid. Kamu yang kuat ya, ada aku disini. Anggep aja aku saudaramu!"
Lidya tersenyum dengan buliran bening menetes dari kedua mata hazelnya. Hidup sebatang kara di dunia ini dan tiba-tiba ada seorang wanita mengakuinya sebagai saudara membuat Lidya terharu.
Tak jauh beda dengan Lidya, Salwa yang juga bernasib sama dengan Lidya sempat menitikkan airmatanya. Bahagia sekali ia mendapatkan keluarga baru.
"Makasih, Sal. Sekarang aku ngerasa nggak sendiri lagi!"
Abi membelai lembut pipi Salwa lalu mengecup keningnya. Selelah apapun menghadapi tumpukan berkas di kantornya akan hilang jika sudah memandang wajah Salwa.
"Tidur ya. Aku akan jagain kamu!"
Salwa mengangguk. Abi melangkah pelan menjauh dari tempat tidur Salwa dan memilih duduk di sofa dekat jendela. Bagaimanapun juga Abi membutuhkan istirahat.
Dilihatnya mata Salwa perlahan terpejam setelah itu baru Abi menyandarkan punggungnya dan ikut memejamkan matanya. Tapi beberapa menit kemudian matanya kembali terbuka saat ponsel di saku celananya bergetar.
Lidya : Bi, kamu sibuk?
Abi mengulas senyum setelah membaca pesan dari Lidya. Matanya yang terasa berat seketika terbuka lebar.
Abi : nggak kok. Ada apa?
Lidya : Ketemu yuk. Aku pengen curhat!
Abi : Boleh. Sekarang?
Lidya : Iya. Aku tunggu di taman belakang rumah sakit ya.
Abi tak membalas pesan Lidya dan memilih beranjak dari sofa. Memastikan terlebih dahulu apakah Salwa sudah terlelap.
"Sayang," panggil Abi lirih. Tak ada gerakan dari Salwa membuat Abi berpikir bahwa Salwa sudah tertidur.
Ia lalu melangkah pelan keluar kamar dan langsung menuju taman belakang rumah sakit. Matanya menyapu seluruh tempat duduk yang terlihat kosong. Tak ada siapapun disana.
Dimana Lidya?
"DORR!!!"
"Astaghfirullahal adziim!"
Lidya terbahak mendapati Abi tampak terkejut sambil meraba dadanya. "Kaget ya?"
"Nggak. Tapi saya terkejoed!"
Lidya semakin tertawa keras sambil memegangi perutnya. Sementara Abi. Ia hanya diam sambil menatap tawa ceria Lidya. Entah kenapa hati Abi menghangat melihat wajah Lidya yang ceria. Mengingat wanita itu beberapa hari yang lalu tampak murung dan jarang makan. Tapi sekarang Lidya sedikit lebih bugar.
"Sorry! Sorry! Aku keterlaluan ya?"
Abi hanya menggeleng sambil tersenyum manis. Jujur. Ia tidak keberatan Lidya melakukan hal itu. Bahkan ia akan melakukan apapun untuk dapat melihat tawa renyah itu.
Lidya menyeret lengan Abi dan membawanya duduk di salah satu kursi taman. Lidya memang menganggap biasa perlakuannya tapi beda dengan Abi.
Laki-laki itu menatap jemari Lidya yang memegang lengannya. Hanya sebentar dan setelah itu Lidya melepaskannya. Saat ini mereka duduk bersebelahan.
"Kamu tau nggak sih, Bi. Kapan hari aku ketemu sama sesorang?" Lidya mulai menceritakan kisahnya.
"Oh ya? Siapa?" tanya Abi cepat. Nadanya terdengar begitu posesif.
"Cewek, Bi. Cantik banget!"
Abi membuang nafas lega. Lega sekali mendengar penjelasan Lidya. Tapi tunggu, kenapa ia bisa seposesif itu?
"Temen kamu?" tanya Abi.
Lidya menggeleng. "Bukan cuman temen tapi dia keluarga buat aku!" ucapnya dengan mata berbinar.
"Kakak kamu?"
Lidya menggeleng lagi. "Aku baru ketemu sama dia beberapa hari yang lalu tapi kita udah kayak keluarga. Dia nganggep aku sebagai adiknya!"
Abi mengangguk pelan, mencoba memahami dan menjadi pendengar yang baik untuk Lidya.
"Tapi sayangnya dia lumpuh, Bi!"
Kepala Abi spontan menoleh kearah Lidya. "Lumpuh?" cicitnya lirih. Lidya menganggukkan kepalanya. Mendengar ucapan Lidya membuatnya teringat akan keadaan Salwa.
"Ternyata di dunia ada orang yang lebih menderita dari aku!" dalam beberapa detik saja raut wajah Lidya berubah sendu. Ia teringat akan keadaan Salwa. Malang sekali nasib Salwa. "Bi!"
"Hm, iya?" sahut Abi cepat.
"Kapan ya Davin sadar?" lirih Lidya.
Abi tak bisa menjawab. Dalam diamnya ia berdoa untuk kesembuhan Davin agar ia bisa melihat senyum bahagia terpancar dari wajah Lidya. Tapi entah kenapa saat ia merapalkan doa itu ada sedikit rasa tak rela saat mengetahui fakta bahwa Lidya akan pergi suatu saat nanti.
"Aku capek, Bi!" Lidya tiba-tiba menyandarkan kepalanya ke bahu Abi. "Mungkin nggak sih Davin bakalan sembuh?"
Abi menarik nafas panjang dan membuangnya cepat. Rasa sesak itu begitu memenuhi rongga dadanya. Kepalanya menoleh sedikit kesamping, membuat dagunya sedikit menyentuh ujung kepala Lidya.
"Nggak ada manusia didunia ini yang luput dari cobaan, Lid!" Melihat tak ada respon dari Lidya, Abi menjulurkan tangannya dan mengusap lembut pucuk kepala Lidya.
Perlakuan Abi yang begitu manis mampu membuat tubuh Lidya membeku. Dadanya terasa berdebar saat ia merasakan sentuhan lembut tangan Abi. Lidya mendongak sedikit dan pandangan mata mereka langsung beradu.
Merasa sadar atas apa yang dilakukannya, Abi segera menarik tangannya dari pucuk kepala Lidya. Begitupun dengan Lidya, ia segera menarik kepalanya dari bahu Abi.
"Udah malem, udah waktunya tidur!" ucap Abi pelan.
Lidya mengalihkan pandangannya kearah lain. Ia bingung dengan apa yang dirasakannya. Debaran di dadanya masih terasa kencang.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa perlakuan Abi mampu membuatnya sebahagia ini? Mungkinkah ada sedikit rasa untuk Abi?
Lidya memejamkan matanya dan menggeleng pelan.
Tidak. Aku tidak mungkin menyukai Abi. Aku sudah bersuami. Lidya meyakinkan dalam hati tentang perasaannya.
"Lid, kamu nggak apa-apa, kan?"
Lidya membuka matanya dan menggeleng cepat. "Ah, nggak apa-apa kok, Bi. Aku--aku balik dulu ya!" pamitnya dan beranjak pergi meninggalkan Abi. Ia melangkah cepat sambil meraba dadanya.
Abi diam tapi matanya terus menatap punggung Lidya yang semakin menjauh. Ia mengalihkan pandangannya saat sosok mungil itu sudah menghilang.
Abi membuang nafas panjang lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Kepalanya menengadah, menatap langit yang terlihat begitu cerah malam ini. Perlahan jemarinya meraba sebuah cincin perak yang melingkar dijari manisnya.
"Ya Allah. Rasa apa ini? Aku begitu bahagia melihat senyumnya dan aku akan merasa sedih saat melihat airmatanya. Jelaskan padaku apa yang terjadi denganku!"
Surabaya, 10 Juni 2018
ayastoria