Aku disini, aku yang akan menghilangkan duka itu dan menggantinya dengan canda.
Lidya duduk termenung disebelah tempat tidur Davin. Jemarinya menggenggam erat tangan Davin yang masih saja terasa dingin. Lilian akhirnya mengambil alih semua pekerjaan Davin dikantor.
Lidya berkali-kali menarik nafas panjang. Mencoba membuang rasa sesak di dalam hatinya saat melihat tak ada perubahan pada diri Davin.
Perhatiannya teralihkan saat ponselnya yang tergeletak diatas nakas tiba-tiba berdenting. Ada satu pesan masuk membuat senyum Lidya sedikit mengembang.
Abi : Gimana keadaan suami kamu?
Lidya dengan segera mengetik balasan untuk Abi.
Lidya : Nggak ada perkembangan :(
Abi : Sabar. Terus berdoa ya :)
Lidya : Thanks ya, Abi.
Abi : Sama2 Lid :)
Lidya kembali meletakkan ponselnya dan kembali menatap wajah dingin Davin. Setelah pertemuannya dengan Abi beberapa waktu yang lalu, laki-laki itu tiba-tiba meminta nomer ponselnya.
Dan sejak saat itu mereka sering berkomunikasi. Walaupun hanya sebatas pesan singkat. Suara deritan pintu membuat kepala Lidya menoleh. Lilian datang dengan senyum mengembang.
"Halo, Sayang. Kamu udah makan?" sapa Lilian sambil menghampiri Lidya dan berdiri disebelahnya. "Biar Mami yang jaga Dave, sana kamu makan dulu!"
"Tapi aku nggak laper, Mi---"
"Lidya. Please!" sela Lilian cepat.
Lidya membuang nafas pelan lalu mengangguk. Ia memilih menuruti perintah Lilian. Sebelum melangkah keluar, ia menyambar ponselnya yang tergeletak diatas nakas.
Setiap pagi Lilian selalu menyempatkan ke Rumah Sakit sebelum berangkat ke kantor. Melihat keadaan Dave dan memastikan Lidya untuk tidak mengabaikan perutnya.
Lidya melangkah menyusuri lorong rumah sakit, langkahnya menuju kantin rumah sakit yang terletak tak jauh dari pintu masuk ruang ICU. Perutnya sama sekali tidak lapar tapi ia mencoba menuruti perkataan Lilian.
"Lidya!"
Seruan itu membuat langkah wanita mungil itu terhenti kemudian ia menoleh kebelakang. Mendapati Abi tengah berjalan cepat kearahnya membuat senyum Lidya merekah. Melihat wajah Abi membuat moodnya naik.
"Hai, Bi. Mau berangkat kerja ya?" sapa Lidya balik.
Abi mengangguk dan mensejajarkan langkahnya dengan Lidya. "Mau kemana?"
"Ke kantin!" sahut Lidya sambil menekuk wajahnya.
"Mau makan tapi kok mukanya ngeselin gitu?" goda Abi.
Lidya spontan menoleh dan tangannya melayang memukul lengan Abi pelan. "Iiih apaan sih kamu. Aku tuh lagi bete!!" suara Lidya terdengar seperti rengekan anak kecil.
"Bete? Kenapa?" Abi tampak serius menanggapinya.
"Nggak nafsu makan!" sahut Lidya singkat.
Abi terdiam sejenak. Ia memikirkan bagaimana caranya membuat Lidya bisa tersenyum lagi. "Aku temenin makan mau nggak?"
Lidya melirik Abi dari sudut matanya. "Bukannya kamu mau ke kantor ya?"
"Iya sih. Tapi nggak apa-apa kok telat. Aku harus mastiin kamu makan apa nggak!"
Senyum Lidya perlahan mengembang. "Bisa banget sih gombalnya!" seru Lidya sambil menyembunyikan rona merah dikedua pipinya.
"Aku lagi nggak ngerayu kamu loh tapi lagi bikin kamu baper dan terbang!" Abi tergelak setelah mengatakan kalimat itu. Melihat wajah kesal Lidya membuat Abi merasa senang.
"Iih apaan sih kamu. Hobi banget bikin aku kesel! Nih rasain!!" Lidya menggelitiki pinggang Abi membuat laki-laki itu menggeliat kegelian.
"Ampun, Lid. Apaan sih? Udah, udah. Aku geli!"
"Makanya jangan suka bikin aku kesel!"
"Ciyeee, kesel apa baper?" goda Abi lagi dan langsung berlari saat tangan Lidya terangkat dan bersiap menggelitiki Abi lagi.
"Makan itu yang bener!" Abi mengambil sehelai tisu dari tempatnya lalu mengusap ujung bibir Lidya yang sedikit kotor.
Hal itu membuat kunyahan Lidya terhenti. Kedua matanya menatap Abi yang tengah sibuk membersihkan sudut bibirnya.
Apa Abi tidak sadar jika perbuatannya membuat jantung Lidya berdegup kencang?
"Udah, Bi. Makasih!" merasa tak bisa mengontrol degup jantungnya, Lidya akhirnya memilih mengambil alih tisu dari tangan Abi.
Nyatanya Abi benar-benar tak menyadari perbuatannya. Ia malah tersenyum melihat Lidya yang tampak salting didepannya.
"Ka--kamu nggak makan?" tanya Lidya mencoba mencairkan suasana hatinya.
"Udah tadi. Kalo makan jangan sambil ngomong. Kesedak ntar!" ingat Abi. Lidya kembali fokus dengan makanannya. Abi masih setia menunggu Lidya menghabiskan makanannya dan selang sepuluh menit kemudian nasi goreng di piring Lidya tandas.
Keduanya melangkah beriringan meninggalkan area kantin. Abi kembali merapikan lengan bajunya yang sempat tergulung tadi lalu beralih merapikan dasinya.
Melihat Abi yang tampak kerepotan membuat Lidya berinisiatif membantunya. "Sini, aku benerin!" Kedua tangan Lidya bergerak membenarkan letak dasi Abi yang sedikit berantakan.
"Emang kamu bisa?" goda Abi.
"Bisalah. Biasanya aku juga yang benerin dasinya Dave----" pergerakan tangan Lidya terhenti seketika. Kedua matanya beralih menatap mata Abi. Sadar akan kesalahannya, Lidya dengan cepat menarik tangannya. "Maaf." ucapnya singkat.
Abi mengangguk pelan dan memegang dasinya sebentar, sudah rapi. "Mm, aku berangkat ya!" pamit Abi. Lidya tersenyum dan mengangguk saja. Tiba-tiba tangan Abi terulur dan mengacak pelan rambut Lidya. "Bengong aja!"
Kedua mata Lidya mengerjap pelan. Perlakuan Abi benar-benar membuatnya terbang. Abi membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan Lidya. Tapi sepasang mata hazel Lidya sepertinya tak mampu lepas dari sosok Abi yang perlahan menjauh.
Perlahan ia meraba dadanya, merasakan detak jantungnya berdetak dua kali lipat.
Apa ini? Rasa apa yang kini tengah ia rasakan? Apakah boleh jika ia merasakan bahagia? Kebahagiaan pemberian orang lain?
Setelah acara makan pagi itu, Lidya kembali ke kamar Davin. Tiba dipintu kamar Davin, ia tak mendapati Lilian. Pasti Lilian sudah berangkat ke kantor.
Lidya menarik nafas panjang dan membuangnya dengan cepat. Ia lalu mengambil duduk dikursi koridor rumah sakit. Bayangan kejadian beberapa menit yang lalu mampu membuatnya tersenyum.
Abi.
Sosok itu selalu membuatnya tersenyum. Tapi senyum Lidya perlahan sirna saat mengingat laki-laki asing itu. Siapa sebenarnya Abi dan kenapa laki-laki itu ada di rumah sakit ini? Apa dia juga sedang sakit dan di rawat disini? Tapi melihat kondisi Abi yang segar bugar membuat Lidya menarik kesimpulan. Abi bukanlah pasien, mungkin saja ia sedang menjenguk keluarganya.
Kepala Lidya menggeleng pelan kemudian menoleh kesamping. Sepasang mata hazelnya menatap seorang wanita yang tengah tersenyum sambil menjalankan kursi roda menggunakan tangannya.
Wanita itu menghentikan laju kursi rodanya dan berhenti menghadap kearah taman. Tangannya bergerak membuka sebuah buku ditangannya lalu mengambil sebuah bolpoin dari saku bajunya.
Klotak!
Suara bolpoin jatuh itu membuat mata Lidya mengedip. Ia bisa melihat wanita itu tampak kesusahan mengambil bolpoinnya yang terjatuh dibawah kursi roda.
Lidya yang melihat kejadian itu langsung beranjak dari tempat duduknya. Ia sedikit berlari kecil dan langsung membungkuk mengambil bolpoin yang terjatuh tepat dibawah kursi roda itu.
"Ini. Ambilah!" ucap Lidya sambil menyodorkan benda itu kearah pemiliknya.
Wanita berhijab itu mendongak pelan lantas tersenyum. "Terima kasih!" serunya pelan dan meraih bolpoinnya.
"Sama-sama!" sahut Lidya dan berniat pergi. Namun tangannya dicekal oleh wanita itu.
"Boleh tau nama kamu?" tanya wanita itu dengan ramahnya.
Lidya mengangguk lalu mengulurkan tangannya. "Lidya!"
Dan wanita itu menyambutnya seraya menyebutkan namanya. "Salwa!"
Surabaya, 03 Juni 2018
ayastoria