Cariin gue sugar daddy

1379 Words
 Di sebuah kamar berukuran lima kali enam meter, dengan pendingin udara yang membuat panasnya Jakarta tidak terasa. Tiga orang remaja berseragam putih abu-abu tengah bercengkrama. Di atas sebuah kasur empuk berbalut bedcover bermotif bunga mawar berwarna merah muda. Laura menutup mulutnya yang sedikit terbuka saat Meisya menceritakan pengalaman pertamanya bertempur di atas ranjang. Ya, pertempuran yang seharusnya belum ia lakukan. "Terus, terus, Mei? Gimana kelanjutannya?" tanyanya setelah memindahkan tangannya, kini ia meremas bantal bersiap mendengar cerita yang lebih mencengangkan. Baru mendengar ceritanya saja sudah membuat tubuhnya panas dingin, bagaimana jika benar-benar merasakannya. Batinnya berbicara. "Iya, Mei gimana tuh rasanya, gue belum pernah sama orang luar." Celine menimpali, tampaknya dari mereka bertiga hanya Laura lah yang tidak mengerti apa-apa. Sepertinya Laura telah memilih bersahabat dengan orang yang salah, mereka sahabat yang baik sekaligus sahabat yang membuat Laura penasaran akan sebuah rasa. Rasa yang sebenarnya lumprah di rasa hanya salah cara pelampiasannya saja. "Rasanya ... tuh ...." Meisya menggantung kalimatnya sambil berdesis seolah mengingat sesuatu yang membuatnya meneteskan air liur. "Ih ... Meisya ceritanya gantung gitu! Gue kan jadi penasaran!" Laura memerengutkan wajahnya sambil menekuk tangan di bagian depan dadanya membuat benda yang menonjol besar itu terekspos sempurna. "Ya gue enggak bisa ceritain, Sayang. Percuma juga elu enggak bakalan ngerti!" Meisya mencolek dagu sahabatnya itu, sementara Celine terkekeh melihatnya. Sudah bukan rahasia lagi jika di tengah tuntutan jaman yang serba modern ini kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup begitu besar, terutama tuntutan gaya hidup yang tidak pernah ada habisnya kadang membuat sebagian orang gelap mata. Termasuk para kawula muda yang mengharuskan dirinya selalu tampil modis dengan barang serba bermerek yang tentu saja tidak bisa di dapat dengan harga murah, hingga sebagian dari mereka rela melakukan apa saja untuk mendapatkan kenyamanan dan kesenangan hidup termasuk menempelkan predikat sugar baby pada diri mereka. Ya sugar baby, gadis muda peliharaan Om-om kesepian berkantong tebal. Ada kalangan yang menganggap biasa predikat itu, karena tidak melulu tentang hubungan penuntas hasrat saja. Ada juga yang hanya menemani mengobrol atau sekedar menjadi teman jalan saja, tapi banyak juga yang menukarkan kenikmatan dengan lebih banyak uang. Meisya dan Celine sedikit dari mereka. Sedangkan Laura? Putri bungsu dari keluarga konglomerat Soebandriyo, kebutuhan hidup selalu bukan masalah baginya. Bisa di katakan dia adalah putri raja yang meminta apapun pasti akan dia dapatkan dengan mudah.  "Cariin gue sugar daddy dong!" "Hah? Hidup lu kurang apa lagi, sih, cin?" respon Meisya saat mendengar ucapan sahabatnya. "Kurang belaian!" "Hahahaha ...." Tawa menggelegar memenuhi kamar kost mewah yang dihuni murid sekolah menengah atas tersebut. Kamar kost yang tentu saja tidak akan mampu orang tua Meisya yang hanya seorang karyawan biasa di luar kota untuk membayarnya, dari mana lagi ia dapat uang untuk membayarnya kecuali dari sang sugar daddy. "Gue serius, Mei!" Meisya dan Celine saling melempar pandang. Meisya menggedikkan dagu bertanya lewat isyarat pada Celine, sedang Celine hanya mengangkat bahunya sambil mengatupkan bibirnya. Sementara Laura menatap serius pada mereka berdua. "Lu bisa dibunuh sama Abang lu kalo mereka tau!" Kata itu keluar penuh penekanan dari bibir Meisya. "Emang mereka peduli?" kalimat ambigu terlontar begitu saja dari bibir sensual Laura. "Mereka mati-matian jagain, elu Ra. Elu enggak usah main-main deh!" timpal Celine. "Iya, Ra. Kalo mereka tau elu temenan ama kita, dan mereka tau siapa kita sebenernya aja pasti Abang-abang lu ngelarang! Apalagi kalo sampe elu--" Meisya tidak melanjutkan perkataannya. Meisya dan Celine sudah tahu betul seperti apa kedua kakak lelaki Laura menjaganya, bahkan saat mereka mendengar ada teman sekelas Laura yang naksir padanya, mereka langsung memerintah bodyguard untuk memberi peringatan pada pemuda itu. Alhasil hingga kelas tiga SMA pun Laura tidak pernah merasakan yang namanya pacaran. Semua pemuda takut mendekatinya.   "Tapi buktinya sampe sekarang Abang gue enggak tau kan! Karena apa? Karena kita diem!" Jawab Laura penuh rasa percaya diri. Kedua sahabatnya hanya diam membenarkan. "Pokoknya jangan sebut-sebut nama keluarga gue di depan siapapun, dan semuanya akan baik-baik aja!" kekeh Laura. "Lu yakin?" tanya Celine lagi. "Yakin seribu persen!" jawab Laura mantap. "Tapi kenapa, sih, Ra?" Kini Meisya yang bertanya. "Karena gue pengen hepi kayak kalian, selama ini Papi sama kakak-kakak gue cuma pengen gue baik-baik aja, tanpa pernah mereka tau apa gue hepi atau enggak. Bahkan mereka enggak pernah peduli apa yang gue rasa." jawab Laura, pandangannya menerawang. Laura adalah satu-satunya wanita di keluarga itu, sejak Maminya meninggal sepuluh tahun yang lalu Laura hidup dalam kekakuan tiga orang lelaki. Priyo soebandriyo ayahnya, Dimas Soebandriyo kakak sulungnya, dan Daniel soebandriyo kakak keduanya. Mereka hanya tahu menjaga, tanpa tahu bagaimana cara memperlakukan Laura selayaknya anak perempuan. "Entar gue tanya Papi Rudi deh, kayaknya dia pernah cerita dia punya temen gitu ...." jawab Meisya ragu seolah sedang mengingat-ingat sesuatu. Laura mengacungkan kedua ibu jarinya, sedangkan Celine hanya tersenyum melihat sahabatnya itu. ***  Laura melambaikan tangannya pada sang sahabat yang duduk di meja paling ujung sebuah restoran, seorang lelaki yang lebih pantas menjadi ayahnya merangkul pundaknya. Sedangkan di hadapannya duduk seorang lelaki membelakangi Laura, seketika jantungnya berdegub kencang. Bukan ... bukan karena jatuh cinta, tentu saja rasa itu tidak perlu ada. Iya sedikit gugup karena sore ini Meisya akan memperkenalkannya pada calon sugar daddynya. Meisya bilang dia adalah atasan dari orang yang biasa ia panggil Papi Rudi, orang yang selama ini memberinya kenyamanan hidup, dan hati mungkin, kalau hatinya tidak nyaman bagaimana bisa Meisya bertahan menjadi babynya selama lebih dari setahun ini. Ini baru pertama kalinya Laura melihat langsung Papi Rudi, selama ini hanya melihat fotonya saja di ponsel Meisya. Sungguh jauh dari tipenya, sudah tua, gendut dan aahh ... begitulah. Kini fikiran Laura melayang, kalau Papi Rudi saja seperti itu. Bagaimana dengan atasannya? Pasti lebih parah! "Laura!" pekik Meisya, membuat Laura yang sempat berniat meninggalkan tempat itu karena keraguan mengurungkan niatnya. Ia menyeret langkah yang agak bergetar mendekati meja di mana sahabatnya menunggu, awalnya ia memang sangat ingin merasakan semua perhatian dan kasih sayang yang Meisya dapatkan dari Papi Rudi. Tapi saat menjelang perkenalan ini terasa kegugupan menguasai hatinya. "Hay ...." sapa Laura saat sudah berdiri tepat di depan meja. "Ra, kenalin ini Papi Rudi." Meisya memperkenalkan Laura pada lelaki yang kini berdiri dan mengulurkan tangan padanya. "Laura." "Rudi. Panggil saja Om." Keduanya berjabat tangan hangat. "Ayo duduk, Ra." Meisya memintanya duduk. Matanya melirik pada lelaki yang duduk bersandar di kursi pandangannya terfokus pada layar ponselnya. "Hem ... Pak." Om Rudi memanggil sopan pada lelaki di hadapannya. Lelaki itu menatap dingin padanya. "Kenalkan, ini Laura temannya Meisya." Om Rudi memperkenalkan Laura padanya. Kedua manik mata berwarna madu milik lelaki penuh karisma itu memperhatikan Laura dengan seksama. Rambutnya yang ikal dikuncir kuda, bibirnya yang berisi berwarna merah muda, dan pipi mulus menantang untuk di kecup. "Tidak buruk!" Hanya kata itu yang terdengar. Meisya dan Om Rudi tersenyum mengetahui lelaki perfeksionis itu bisa menerima Laura. Sedangkan batin Laura bergejolak, bukan lelaki paruh baya berbadan tambun seperti yang ia bayangkan. Tetapi lelaki matang, tampan dan terlihat hot di matanya. Hanya saja terlihat dingin seperti gunung es. "Ya udah, kalau begitu saya permisi dulu, Pak, mau ngajak Meisya jalan-jalan." Om Rudi berpamitan pada atasannya tersebut. Laura sempat melihat Meisya mengedipkan sebelah matanya sebelum meninggalkannya berdua dengan calon 'ayah angkatnya'.  ***  "Kamu ingat nama saya baik-baik, saya Banyu Samudra." Ucap Banyu dengan suara khas nya yang menggoda. Namun Laura malah mati-matian menahan perasaannya yang seolah dikelitiki, Banyu Samudra? Air laut dong! Apa enggak ada nama lain? Jangan-jangan dia asin kayak air laut lagi! "Heh, Maura! Kenapa diajak bicara malah bengong? Kamu ingat nama saya?" Banyu menatap lekat wajah sebal Laura. "Om Banyu Samudra, yang enggak inget itu Om. Namaku Laura, bukan Maura." Protesnya dengan bibir mengatup sebal. Banyu hanya menaikan satu alis tebalnya, terlihat menyebalkan di mata Laura, menyebalkan sekaligus menggemaskan. "Kamu pikir aku setua itu sampai kamu panggil Om?" ucapan dingin Banyu membuat nyali Laura menciut. "Te-- terus panggil apa? Papi kayak Meisya panggil Om Rudi?" tanya Laura polos, Banyu memutar bola matanya lalu terdiam memikirkan sesuatu. "Panggil saya Abang." Perintahnya kemudian. Sesaat setelahnya Banyu memasukkan ponselnya ke saku celana jeans yang ia kenakan, bergegas pergi. "Om ... eh Bang. Kita mau ke mana?" tanya Laura menghentikan langkah Banyu tepat di sampingnya. "Tentu saja meneruskan urusan kita yang baru di mulai." jawab Banyu yang terasa dingin namun membuat tubuh Laura terasa panas. "Maksudnya?" gumam Laura, tanpa bisa Banyu dengar karena ia telah melangkah. Sesaat Laura tersadar lalu segera menyusul langkah lelaki itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD