BAB 10_TERNYATA HAMIL

997 Words
Tubuh Luna bergetar hebat. Ranjang pasien itu berguncang. Matanya merah melotot penuh ketakutan. "Tenanglah ... aku tak akan menyakitimu!" seru Ayu Ruminang gagap. Ia mencoba menjauh namun wanita yang masih berbalut berban itu tetap saja terlihat histeris. "Aku tak akan melukaimu, Angel!" pekik Ayu Ruminang dalam kepanikan. "Whats going on honey?!" Gavin tiba-tiba muncul dan langsung mundur karena kaget melihat tubuh Luna naik turun. "Cepat panggil dokter!" teriak Ayu Ruminang dengan wajah tegang. Gavin langsung melesat. Ayu Ruminang keluar dari ruangan berharap Luna kembali tenang. "Dasar wanita bodoh!" umpat Ruminang mencoba mengatur nafasnya. Ia mengintip Luna yang masih bergerak-gerak. Dokter Adipura dan 2 rekannya baru saja tiba. "Bagaimana, Bu?" "Entahlah. Tiba-tiba saja dia kejang begitu," ujar Ayu memasang jaketnya. Ketiga dokter itu langsung memeriksa kondisi Luna. "Pasien seperti shock. Mungkin kaget karena kondisinya, mimpi buruk atau bisa jadi juga karena mengingat apa yang telah menimpanya sebelum tak sadarkan diri. Kami akan memberikannya penenang. Bahkan denyut jantungnya masih tak teratur sampai sekarang." Ayu Ruminang hanya diam. Dia tak mau, dokter tahu kalau Luna shock setelah melihatnya. "Berapa lama lagi dia akan sadar lagi?" "Mungkin 3-4 jam." "Saya minta dua perawat di sini yang standbye, Dok," ujar Ayu Ruminang. Dokter Adipura mengangguk. Belum sampai 3 jam, Luna kembali membuka matanya. Di tatapnya sekeliling. Ia melihat dua wanita seragam putih sedang duduk menunggunya. Mereka serentak tersenyum. "Selamat pagi," sapa Dini, salah satu perawat dengan lesung pipi menghiasi pipinya saat tersenyum. "Ibu bisa mendengar kami?" tanya Rani mendekat. Luna mengangguk pelan. "Ibu ingin mengatakan sesuatu?" Dengan susah payah, Luna membuka mulutnya yang terasa sakit. "Dd-diiii mmaaannna akkku seekkkraaang?" Suaranya serak dan sangat berat. Ia merasa, kerongkongannya sakit sekali. "Ibu berada di rumah sakit setelah mengalami kecelakaan. Ibu ditemukan berada di dalam mobil yang terbakar, jatuh ke dalam jurang," jawab Dini lugas. "Lalu seorang kawan yang datang menolong, membawa ke sini. Kami semua berterimakasih padanya. Syukurlah, saat ini Ibu semakin membaik," lanjut Dini tak melepaskan senyum. Luna seketika mencoba menelan salivanya yang masih terasa sangat pahit. Mengingat kejadian itu, hatinya teramat sakit. Namun, dalam dirinya tak ada kata menyerah. Pahit manis, hitam putih kehidupan sudah ia lewati. "Ssssiiiapaa yaangg membbaawaaku kkeesini?" tanya Luna dengan susah payah. "Sebentar ya, Bu." Tak lama, Ayu Ruminang masuk bersama Rani. Meskipun sorot mata Luna masih memancarkan ketakutan, ia merasa lebih tenang karena kedua perawat itu berada di sampingnya. Ditambah, informasi yang barusan ia dengar. Ia mengira, wanita s*****l itu hadir di depannya sebagai suruhan ibu mertuanya. 'Miss Harram ...' bisik batinnya di tengah jantungnya yang bertalu-talu. "Aku tak ingin berbasa-basi. Kau kutemukan hampir mati terpanggang. Aku tak ingin kau mati sebelum aku bisa mengalahkanmu bertarung. Jangan lupakan janjimu," ujar Ayu Ruminang dingin. "Bbbbaaaagaaaimaanna kauu bissa menemuukkkanku?" "Takdir. Kau jangan banyak bicara! Kau harus cepat sembuh dengan baik. Jangan buat aku bertarung dengan wanita cacat." "Mmmmiiiis Haaarram ...." "Jangan banyak bicara kataku! Aku akan membunuhmu saat kau bertarung denganku. Jangan kau terlalu percaya diri sekarang," ketusnya. Luna meneteskan air mata. "Jangan cengeng! Jangan buat aku menghabiskan uangku untuk merawatmu yang lemah. Kau harus cepat sembuh! Awas saja kalau kau tak berguna!" Luna mengangguk pelan. Deraian air matanya semakin deras. "Teeeerrriiimaaaa kaaaassssiiih," ucap Luna terbata dengan susah payah. Ayu Ruminang membuang wajahnya. Ia tak ingin menunjukkan pada Luna, ada bulir bening menetes di matanya. Ia tak ingin wanita itu tahu, ia sangat mengkhawatirkannya. "Sus! Urus dia!" perintah Ayu Ruminang melenggang keluar, membawa matanya yang basah. ** Waktu terus berlanjut hingga dua bulan berlalu. Luna sudah mampu berdiri dan makan dengan baik. Berbagai operasi dilakukan agar jaringan di tubuhnya kembali berfungsi. Termasuk pada pita suaranya yang sudah terluka parah. Suaranya yang sebelumnya merdu nyaring, menjadi lebih berat dan sering tiba-tiba suaranya tidak terdengar. "Kau harus tetap terapi supaya suaramu lebih bagus lagi dan normal," ujar Ayu Ruminang duduk di sofa sembari menatap ponselnya. Luna mengangguk. Meskipun ia sudah 80% sembuh, namun perban di tubuhnya masih terpasang. "Pastilah aku menjadi wanita yang memiliki tubuh paling buruk di dunia ini," lirih Luna sendu menatap perban di seluruh badannya. "Bersabarlah. Yang penting nyawamu selamat. Urusan penampilan, kau tak perlu risau," timpal Ayu Ruminang. "Bagaimana kalau aku menjadi wanita yang memiliki kulit yang cacat?" "Pastilah ada solusi. Jangan risau. Zaman sekarang operasi estetika bukan hal yang tabu," ujar Ayu Ruminang santai. "Tapi tidak untuk kulit terbakar. Mungkin tindakan pencakokan kulit manusia lain, baru bisa terlihat normal alami." "Jangan menyimpulkan. Yang penting kau sembuh total terlebih dulu. Urusan penampilan belakangan. Kau tahu, di dunia mafia bawah tanah, kau jadi perbincangan. Kau disebut-sebut sebagai Ratu Mafia, penakluk Ab ...." "Cukup Miss Harram. Aku tak ingin membahasnya. Bagiku, aku dan dunia itu sudah tak ada hubungannya lagi. Biarlah jadi masa laluku. Aku takkan pernah menjadi manusia jahil lagi," ujar Luna mantap. "Ciiih... Siapa yang tahu, kau akan kembali memimpin pasukan merah, hahahaha," kekeh Ayu Ruminang. Luna mengabaikan ucapan Ruminang. "Setelah sembuh, aku akan mengganti semua uangmu, Miss Harram." "Yah. Kau memang harus menggantinya. Aku kerja sudah seperti kuda," ketus Ayu Ruminang. Luna diam. Tatapannya kosong menatap dinding di depannya. Sebuah lukisan abstrak terpajang ciamik. "Kenapa?" selidik Ayu Ruminang "Aku merindukan Mas Yudha. Pastilah dia lelah mencariku. Apa tak bisa kau memberitahunya, aku di sini?" "Lalu kau ingin keluarga jahannamnya itu kembali mengincarmu? Kau belum sepenuhnya pulih." Luna tertunduk sedih. Rasa rindu begitu membuncah di hatinya. Bahkan tak ada hari yang ia lewati tanpa memikirkan suaminya. "Dengarkan aku! Setelah kau benar-benar pulih, kau harus bisa mengambil kembali semua harta yang mereka rebut darimu! Aku akan membantumu mematahkan leher mereka satu-satu!" Luna menggeleng. "Kenapa?" tanya Ayu Ruminang sinis. "Aku takut," lirih Luna pelan. "Kau telah banyak menghadapi lubang kematian. Menghadapi mereka kau takut! Jangan buat aku malu, Angel!" "Aku akan bekerja apa saja untuk membayar hutangku padamu. Aku tak akan kembali kepada mereka!" "Tutup mulutmu! Kau kira aku butuh uangmu! Aku hanya ingin, kau bisa menunjukkan jati dirimu! Lebih baik aku bunuh kau sekarang kalau kau berubah menjadi lemah! Pengecut!" Luna memegang perutnya. "Bagaimana dengan anak ini?" Seperti di sambar petir, Ayu Ruminang membelalak mendengar ucapan Luna. "Anak?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD