“15 menit lagi langsung open aja ya Do. Lantai juga lagi dipel kan sama Ane,” ujar Diana sambil berjalan memasuki kafenya.
“Siap Ka Dian!” Jawab Aldo sigap.
“Pagi Kak Dian,” sapa Ane, sembari menyelesaikan aktivitas mengepelnya.
“Pagi Ne. Dessert dah ready semua ya?”
“Udah kak tadi Maya yang prepare.”
“Oke sip!”
Perempuan berambut sebahu itu berjalan menuju tempat favoritnya, bangku kafe paling ujung. Sangat pas untuk memantau segala aktivitas kafe dari sudut itu. Meski sebenarnya ia memiliki ruangan sendiri di belakang, namun ia lebih senang menghabiskan waktunya seharian di sana.
“Teh apa kopi Kak Dian?” tanya Maya sambil mengikutinya dari belakang.
“Teh aja, chamomile ya.” Akhir-akhir ini ia sedikit membutuhkan booster untuk membantu menenangkan pikirannya yang masih berputar-putar pada kepulangannya beberapa minggu lagi ke kampung menemui ayahnya. Chamomile tea setidaknya dapat membantunya menenangkan pikiran suntuknya saat ini.
“Oke kak.” Maya pun kembali untuk mempersiapkan pesanan bosnya.
Riuh ramai kafe mulai terdengar. Hari memang sudah mulai siang meski baru pukul 10:00. Kafe sudah dibanjiri para pelanggan setianya. Di tengah keramaian kafenya, Diana justru sibuk berkutat pada novelnya yang sengaja ia bawa dari rumah untuk menemaninya hari ini. Ia sedang terobsesi pada novel yang dibelinya minggu lalu di toko buku langganannya. Teh yang disajikan oleh Maya pun belum juga disentuhnya sejak tadi.
“Silakan lewat sini kak.” Maya tampak sedang mengantar pelanggan yang akan menggunakan VIP room.
“Loh Mbak Diana. Weekend gini udah di kafe aja,” ujar suara yang tak asing membuat Diana terpaksa mendongakkan kepalanya.
“Siapa Ram?” tanya seorang perempuan yang datang bersamanya.
“Ini kenalin tetangga baruku namanya Mbak Diana.”
“Yang katamu keganggu waktu kamu pindahan itu ya?” tukas perempuan itu.
“Iya Manda.”
Diana masih terdiam melihat 2 orang yang entah dari mana datangnya sudah berdiri di hadapannya tengah membicarakan dirinya. Ia tak menyangka tetangga barunya itu akan menceritakan ketidak nyamanannya akan kepindahannya tempo hari pada perempuan cantik yang datang bersamanya.
“Hai Aku Amanda.” Perempuan itu mengulurkan tangannya, mengajak Diana untuk berjabat tangan.
“Diana,” sambut Diana singkat sambil menyambut jabatan tangan lembut perempuan itu. Aroma lotion mahal langsung tercium saat Diana menjabat tangannya.
Perawatan perempuan ini sangat mahal, Pikir Diana.
“Mbak, minuman mbak ini biar saya yang bayar aja ya.” Ujar Amanda pada Maya.
“Tapi kak...” Maya mencoba menyela ucapan Amanda namun Diana justru menatapnya tajam seolah sedang memberi isyarat untuk tak melanjutkan ucapannya.
“Don’t get me wrong Diana. Gara-gara Rama ada urusan di kantor jadi dia pindahannya harus malem, makanya bikin kamu terganggu kemarin. Sebagai atasannya saya harus bertanggung jawab,” jelas Manda dengan suara lembutnya.
“Sebenernya masalah udah clear kemarin, but thank you ya traktirannya,” ujar Diana memilih untuk melanjutkan saja kesalahpahaman Amanda.
“No no, it’s ok kok.” Sahut Manda. “Masuk yuk Ram. Bentar lagi client kita dateng kan.”
“Kami masuk dulu ya mbak Diana,” ujar Rama.
“Silakan.”
Perempuan berambut bergelombak se-punggung itu pun melenggang memasuki VIP room bersama dengan Rama.
“Kak kok enggak bilang sih kalau Kak Diana yang punya kafe ini?” tanya Maya protes dengan sikap bosnya.
“Udah biarin aja. Nanti gue yang ngasih tau sendiri,” sahut Diana cuek lalu kembali menyambung bacaannya yang sempat terputus.
Tak lama 2 orang laki-laki berpakaian rapi datang memasuki VIP room menyusul Rama dan Manda. Sesekali Diana melirik ke ruang itu meski tak terdengar apa pun dari luar. Ruangan itu memang sengaja ia rancang untuk pengunjung yang ingin meeting dengan client secara tertutup di kafenya. Tak salah mereka memilih ruangan itu hari ini, kafe memang sedang ramai. Tapi mengapa mereka meeting saat weekend? Entahlah, Diana tak terlalu ambil pusing akan hal itu.
2 jam berlalu dan kafe semakin ramai. Tampak Rama dan Amanda keluar dari VIP room setelah 2 orang client-nya keluar lebih dahulu 5 menit sebelumnya.
“Masih di sini mbak?” tanya Rama saat melihat Diana masih fokus membaca bukunya sejak tadi.
“Kamu betah ya duduk di kafe,” timpal Amanda lembut, tersenyum padanya. “Aku pamit ya Ram, Diana.”
“Iya Manda hati-hati,” sahut Rama, lalu perempuan itu mencium pipi rama sekilas kemudian berjalan keluar meninggalkan kafe.
Diana sedikit terkejut melihat pemandangan di hadapannya namun segera menutupinya dengan senyumannya pada perempuan itu, mempersilakannya untuk pergi. Tak dapat dipungkiri Amanda memang sosok wanita yang cantik dan anggun. Meski suara lembutnya tidak mencerminkan bahwa ia adalah seorang atasan di sebuah kantor, namun perempuan cantik itu sangat ramah dan mudah untuk dicintai. Dilihat dari kedekatannya dengan Rama mungkin ia memiliki hubungan lebih dengannya, meski pun sebenarnya itu tidak membuktikan apa pun.
Rama duduk tepat di hadapan Diana membuatnya terpaksa menutup bacaannya dan menyimpannya ke dalam tas. Ia berniat melanjutkan membacanya nanti saja.
“Owner kafe kok nongkrong di kafe mbak?” tanya Rama, memulai obrolan mereka.
“Kebetulan ini kafe saya Mas Rama,” jawab Diana sambil tersenyum.
“Loh, jadi ini kafenya Mbak Diana?” lelaki itu tampak terkejut.
“Iya mas. Makanya saya dari tadi duduk di sini.” Diana akhirnya menyeruput tehnya yang sudah dingin. Ia mengernyitkan keningnya lalu memundurkan cangkir itu, tak ingin meminumnya lagi. Salahnya tidak meminumnya sejak tadi.
“Duh maaf mbak, si Manda pakai sok mau traktir lagi tadi,” ujar Rama merasa tak enak.
“It's ok, kan namanya juga enggak tahu mas.”
“Aku harusnya tahu kalau Mbak Diana duduk di sini berlama-lama, berarti kafe ini emang punya Mbak Diana.”
“Udah mas enggak apa-apa, lupain aja.”
Terjadi keheningan sesaat di antara mereka. Ada rasa canggung namun Diana sendiri tak begitu peduli. Entah mengapa Rama malah menjadi tak enak hati padanya.
“Kayaknya kalian sering ke sini ya,” ucap Diana berusaha mencairkan suasana. “Keliatan aja kalian bisa tahu kalau kafe ini ada VIP room-nya.”
“Iya mbak, biasanya kami suka meeting sama client di sini karena kan kebetulan kantor kami cuma di seberang jalan. Biasanya sih meeting di ruang biasa, cuma kali ini client-nya minta VIP room.”
“Oh jadi itu kantor kamu Mas?” Kali ini Diana yang tampak terkejut mendengar fakta bahwa gedung tinggi yang berdiri di tepat di seberang kafenya adalah kantor tempat Rama bekerja.
Yang ia tahu para karyawan kantor itu memang sering mengunjungi kafe Diana. Meski ia tak hafal jelas setiap wajah mereka namun ia cukup merasa familiar jika mereka datang ke kafe. Seharusnya ia juga mudah mengenali wajah Amanda dan Rama. Sayangnya kali ini berbeda.
“Iya mbak. Sebelumnya rumah saya agak jauh memang dari kantor. Jadi mumpung sempat, saya pindah aja ke daerah sini,” terang Rama.
“Bisa kebetulan gini ya mas.”
“Iya, apa kita jodoh mbak?”
“Hahaha.” Diana terbahak geli mendengar ucapan ngawur tetangga barunya itu.
“Ekhem.” Aldo yang entah dari mana datangnya tiba-tiba berdeham di sebalah Diana setelah mendengar pernyataan Rama.
“Kenapa Do?” tanya Diana sambil mengatur nafasnya setelah tertawa.
“Si Maya minta ijin ke WC kak, kafe lagi rame tapi enggak ada yang jaga kasir,” jawabnya.
Hari memang semakin siang. Kafe pun sudah ramai dipenuhi pengunjung dan ada beberapa ojek online sudah berdatangan. Ia tak bisa membiarkan keadaan di kafenya jadi tak terkendali karena salah satu karyawannya sedang tak di tempat.
“Kamu masih lama di sini Mas? Saya mau gantiin Maya dulu,” tanya Diana seraya bangkit dari duduknya, bersiap menuju ke meja kasir.
“Take your time mbak. Saya masih mau duduk-duduk di sini. Kebetulan kan weekend jadi saya free.”
Diana pun bergegas menuju meja kasir disusul oleh Aldo. Rama yang duduk di mejanya sesekali memperhatikan Diana dari jauh. Ia memang sering datang ke kafe ini hanya untuk meeting dengan client-nya namun entah kenapa ia tak pernah bertemu dengan Diana sebelumnya. Ia tak tahu bahwa ternyata pemilik kafe ini adalah tetangga barunya sendiri. Di sisi lain ia merasa kagum melihat Diana yang saat ini sedang sibuk melayani para pengunjung kafe langganannya. Perempuan itu terlihat ulet dimatanya.
“Kak Dian. Maaf lama, aku mules banget,” ujar Maya yang menghampiri Diana saat ia telah kembali ke mejanya semula.
“Udah enggak apa-apa. Udah lewat jam ramenya juga kok,” ia melepaskan apron-nya lalu memberikannya pada Maya kemudian duduk lagi di hadapan Rama.
“Lu sih May udah tau hari ini kerja malah makan cabe-cabean semalem,” protes Aldo yang ikut datang menghampiri mereka.
“Ye gara-gara si Ane nih masak nasi goreng cabenya selusin,” seru Maya tak terima.
“Lah elu sendiri mau makan.” Ane yang mendengar namanya disebut-sebut datang menghampiri mereka juga.
“Udah udah ah, sini May gue usap perutnya pake minyak angin,” ucap Diana, khawatir akan kesehatan karyawannya.
“Udah kak tadi, sampe minyak anginnya yang dulu pernah dikasih Kak Dian abis,” ujar Maya, masih tak melepaskan tangannya dari perut.
“Kenapa sih? Diare?” Tanya Rama yang akhirnya penasaran atas keributan yang terjadi di hadapannya.
“Iya mas. Biasa lah bocah-bocah pada makan makanan pedes semalem,” terang Diana yang sebenarnya juga tak begitu paham mengapa Maya berani memakan nasi goreng super pedas buatan Ane meski ia tak tahan dengan makanan pedas.
“Ada-ada aja kalian.” Rama menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kayanya gue ada minyak angin baru di tas gue. Tolong ambilin tas saya mas, di situ.” Diana menunjuk tasnya yang bertengger di ujung meja.
“Ini mbak.” Rama dengan sigap mengambil tas itu dan memberikannya pada Diana.
“Nih May gosok lagi perutnya. Istirahat aja di ruangan gue. Minum obat diare yang ada di kotak obat. Masih ada kan?”
“Masih kayaknya kak.”
“Ngerepotin lu May,” sembur Aldo.
“Apa sih orang Kak Dian biasa aja kok.”
“Udah ah, sana balik kerja lagi kalian.”
“Iya kak,” jawab mereka hampir bersamaan lalu berhambur kembali ke spot mereka masing-masing.
“Serasa punya anak 3 ya mbak,” komen Rama.
“Pusing emang kalau mereka ngumpul pasti ada aja yang diributin mas,” seru Diana sambil memijat kedua pelipisnya. “Tapi anehnya mereka kalo lagi jam hectic kayak tadi tuh bisa kompak cekatan. Makanya saya suka cara kerja mereka.”
“Seru ya punya tim kompak gitu.”
“Iya seru banget.”
“Ngomong-ngomong udah lewat jam makan siang. Mau makan bareng saya enggak mbak?” tanya Rama.
Spontan Diana melihat ke jam tangannya. “Loh sampai lupa udah jam segini.”
“Kamu keasyikan kerja mbak,” ujar Rama.
“Udah jadi passion sih jadi suka enggak kerasa kalau lagi sibuk.”
“Yaudah yuk. Naik mobil saya aja mbak,” ajak Rama.
“Boleh deh.”
Mereka pun segera beranjak dari tempat duduk. Sembari menenteng tasnya, ia mampir ke tempat Aldo sebelum pergi.
“Do gue tinggal makan siang ya sama Mas Rama, kalian order delivery food kaya biasa kan?”
“Yah Kak Dian. Udah aku pesenin tau, biasanya juga maka di kafe aja.”
“Sorry ya Do. Jatah gue lo makan aja, enggak apa-apa.”
“Beneran kak?” tanya Aldo girang.
“Iya.”
“Yes!”
“Celamitan lu sama makanan,” sahut Ane.
“Apa sih? Biarin aja kali.”
“Bagi dua apa,” Ane tak mau kalah.
“Ye dasar ada maunya.”
“Ya udah gue pergi ya, jangan pada ribut.”
“Siap kak Dian. Selamat makan siang,” ujar Aldo yang kegirangan akan segera mendapatkan makan siang dengan porsi double.
“Yuk, pergi dulu ya,” susul Rama.
“Titip Kak Dian ya masnya. Jangan diapa-apain,” timpal Ane sebelum mereka melangkah keluar.
“Tenang, enggak akan saya apa-apain, hahaha.”
Rama membukakan pintu mobil untuk Diana. Perempuan itu pun masuk ke dalam dan duduk bersandar setelah memasang sabuk pengaman. Sebuah foto anak laki-laki berusia sekitar 3 tahun terpajang di atas dasbor sedang berpose bersama Rama yang tampak lebih muda beberapa tahun. Namun ia tak ingin ambil pusing tentang foto itu, meski yang ia tahu Rama hanya tinggal sendiri di rumahnya. Mungkin saja dia adalah adik atau keponakannya. Siapa yang tahu.
“Mau makan apa kita mas?” tanyanya saat mobil mulai melaju menyusuri jalanan yang masih ramai meski sudah tak terlalu padat.
Rama diam sejenak, berpikir menu apa yang sebaiknya mereka santap siang ini. Ia tak ingin membuat Diana menolak usulannya jika salah sebut. “Bakso mau?”
“Boleh deh.”
Lelaki itu tak menyangka Diana menerima usulannya begitu saja.
“Jangan bilang Bakso Pak Unyil,” tebak Diana spontan.
“Kok tau mbak?”
“Bakso langganan si Aldo itu mah. Biasanya dia suka beliin saya makan siang dari sana kalo lagi pengen makan bakso.”
“Berarti sehati ya saya sama Aldo mbak,” ujar Rama terkekeh.
“Eh dia meski agak lembek begitu udah punya pacar loh mas. Cantik lagi. Kadang suka dateng kalau pulang kerja.”
“Eh saya juga enggak tertarik sama cowok kok mbak,” tukasnya tak ingin Diana salah paham.
“Oh kirain loh mas,” sahut Diana, terkekeh. “Eh tapi bukannya Bakso Pak Unyil suka antri ya?”
“Udah jam segini sih, harusnya udah lewat jam makan siang. Pasti enggak terlalu ramai.”
“Boleh deh.” Diana ikut saja.
Perjalanan menuju Bakso Pak Unyil seharusnya tak terlalu jauh, namun jalanan yang masih sedikit ramai membuat perjalanan menjadi sedikit lama. Mau tak mau perhatian Diana terfokus pada foto yang terpajang di atas dasbor itu lagi, namun ia tak berani bertanya lebih. Mereka tak sedekat itu sehingga ia mengurungkan niatannya untuk bertanya.
“Ngomong-ngomong pegawaimu itu semua tinggal satu kos atau gimana mbak? Kok kayaknya deket banget gitu,” ucap Rama, memecah keheningan.
“Saya suruh tinggal satu rumah sih mas. Jadi saya sewain kontrakan agak gedean buat mereka. Soalnya rencana mau nambah karyawan lagi, udah mulai keteteran kalau lagi rame. Sama buat gantian shift kalau weekend, biar ada liburannya juga mereka,” terang Diana sambil berusaha memalingkan pandangannya dari foto itu dan berfokus pada jalanan yang ramai kendaraan lalu lalang.
“Kamu royal ya sama karyawanmu,” ucap Rama, sesekali menoleh ke arah perempuan yang duduk di sampingnya.
“Harus dong. Kalau kerjaan mereka udah bagus kan saya harus ngasih fee dan fasilitas yang sepadan juga buat mereka. Timbal balik lah mas, biar kerasan. Lagian nyari karyawan kayak mereka tuh susah loh,” Diana menegakkan duduknya, mulai serius berbicara pada Rama.
“Iya sih jaman sekarang emang susah nyari karyawan yang ulet dan klop sama kita,” timpal Rama, menanggapinya dengan serius pula.
Tak lama mereka tiba di depan warung bakso dengan papan besar bertuliskan “Bakso Pak Unyil” di sana. Rama memarkirkan mobilnya di spot kosong yang diarahkan oleh tukang parkir di sana.
“Tuh enggak terlalu rame kan mbak? Banyak bangku kosong juga sih kelihatannya.”
“Boleh lah mas,” ucap Diana mengkonfirmasi pernyataan Rama setelah melihat keadaan warung bakso itu yang memang sudah tak terlalu ramai.
Rama turun dari mobil lalu memutar, membukakan pintu untuk Diana. “Yuk turun mbak.”
“Makasih Mas,” sambut Diana.
Mereka berjalan beriringan memasuki warung bakso yang berukuran lumayan luas dengan beberapa bangku kayu di sana. Tak terlalu banyak pengunjung yang sedang makan karena jam makan siang sudah lewat. Tak butuh waktu lama bagi Rama untuk menemukan bangku yang terlihat nyaman untuk mereka. Sebuah meja di sudut ruangan di dekat jendela menjadi pilihannya.
“Mas mau pesen.” Rama melambai pada salah seorang karyawan. “Mbak Diana mau pesen yang apa? Spesial ya? Kayaknya lagi laper tuh.”
“Emm... Boleh deh mas,” jawab Dina tanpa pikir panjang.
“Enggak kebanyakan mbak?” tanya Rama lagi, mencoba memastikan.
“Lah tadi kamu kan yang nawarin mas, kok sekarang malah nanya gitu?” Protes Diana heran.
“Biasanya kalau ada cewek yang saya ajak makan bakso pasti minta bakso biasa, katanya kalau yang spesial kebanyakan. Suka enggak habis,” terang Rama.
“Biasalah cewek suka gengsi kalau di depan cowok. Kalau laper ya makan aja lah, toh masih porsi normal kok,” ujar Diana seolah tak malu akan pilihan menunya di hadapan lelaki yang baru saja ia kenal selama 3 hari.
“Jadi mereka itu mungkin cuma jaim ya,” ucap rama sambil menggaruk dagunya seolah sedang berfikir.
“Jadinya pesen apa mbak, mas?” potong seorang karyawan Pak Unyil yang dari tadi berdiri menanti pesanan mereka.
“Eh iya maaf, pesen bakso spesial 2 deh Mas,” jawab Rama.
“Minumnya mas?”
“Saya air putih aja, kalau Mbak Diana?”
“Es teh aja.”
“Siap! Ditunggu ya.” Karyawan itu lalu pergi setelah mencatat pesanan mereka.
Diana memandang lelaki manis di hadapannya yang baru saja sibuk memesankan makan siang mereka. Seketika ia teringat betapa manisnya seyuman Rama tempo hari. Sontak ia buru-buru menghapus pikirannya akan lelaki itu. Ia tak ingin terlihat sedang terpesona di hadapannya. Namun tak dapat dipungkiri sikap Rama pada Diana hari ini tak se-menyebalkan seperti saat ia bertemu dengannya pertama kali. Dengan gaya berpakaiannya yang santai kali ini menambah kesan menarik bagi Diana. Kemeja dongker berbahan jatuh itu tampak cocok dengan Rama.
“Mbak lagi ngelamunin apa?” Rama melambai kepada Diana, mengagetkannya.
“Eh, enggak mas.” Diana buru-buru memalingkan pandangannya pada pemandangan di jendela di sebelahnya.
“Saya jadi geer loh mbak kalau diliatin gitu,” goda Rama yang mengetahui tetangganya itu sedang salah tingkah.
“Ih siapa juga yang lagi ngeliatin,” elak Diana sewot.
“Loh Rama kamu makan siang di sini?” Seorang perempuan tiba-tiba berdiri di sebelah mereka. Tanpa babibu ia menyeret sebuah kursi untuk duduk tepat di sebelah Rama. “Aku gabung ya.”