“Boleh kan aku duduk di sini?”
“Eh… boleh kok,” sahut Diana reflek menjawab dengan sedikit terkejut melihat Amanda tengah duduk di hadapannya tepat di sebelah Rama.
“Dari mana Manda?” tanya Rama yang seolah tak keberatan perempuan cantik itu bergabung dengan mereka.
“Tadi ada urusan sebentar di deket sini, terus laper jadi minta driver buat anterin makan bakso,” jawab Manda sambil tersenyum cantik pada Rama.
“Terus Pak Tononya kemana?” tanya Rama yang tampak sudah mengenal driver Manda.
“Dia nunggu di depan tuh ngobrol sama kang parkir,” ujar Manda.
“Permisi,” seorang pelayan datang membawa nampan dengan 2 gelas es teh pesanan Rama dan Diana di atasnya.
“Es jeruknya satu ya mas buat mbak yang ini, tapi gulanya satu sendok teh aja.” Rama memesankan minuman Manda seolah ia paham betul kesukan atasannya itu.
“Kamu suka yang asem-asem ya Manda?” tanya Diana mencoba memulai obrolan.
“Iya Diana, aku enggak terlalu suka yang terlalu manis gitu kalau makan di warung bakso,”
“Sama bakso biasanya satu juga mas,” tambah Rama sebelum pelayan itu beranjak.
“Siap, ditunggu mas.” Pelayan itu pun pergi.
“Jadi kalian dari tadi belum pulang dari kafe ya? Atau emang langsung lanjut ke sini buat makan siang?” Tanya Manda seraya menatap Rama dan Diana bergantian. Tatapannya seolah sedang menginterogasi.
“Aku emang dari tadi nemenin Mbak Diana di kafenya, soalnya ada karyawannya yang sakit jadi dia harus gantiin karyawannya sebentar,” jelas Rama.
“Tunggu, jadi kafe tadi itu punya kamu Diana?” Manda terkejut mendengar fakta itu.
“Iya Manda,” jawab Diana sambil tersenyum padanya.
“Astaga sorry Diana, aku kira kamu emang lagi nongkrong aja di sana.”
“Enggak apa-apa Manda, santai aja.”
“Lagian sih kamu beb kok enggak ngasih tau aku kalo itu kafenya Diana, aku kan jadi malu udah sok mau nraktir dia,” protes Manda sambil memukul lengan Rama.
Wajahnya yang bete tak dapat disembunyikan. Bibirnya manyun tapi justru terlihat imut. Benar-benar perempuan yang sempurna, batin Diana.
“Aku juga baru tau kok Manda.”
“Eh santai aja loh, aku enggak apa-apa kok,” seru Diana berusaha menenangkan Manda.
“Maaf ya Diana.”
“It’s OK Manda.”
“Permisi,” seorang pelayan datang akhirnya mengalihkan perhatian mereka, membawa nampan besar dengan 3 mangkuk bakso dan 1 gelas es jeruk di sana. Dengan cekatan pelayan itu menyajikan masing-masing mangkuk di hadapan mereka.
“Asik baksonya udah datang,” seru Manda tak sabar ingin segera menyantap bulatan bakso yang tersaji di hadapannya.
“Kamu lapar ya Manda?” tanya Diana.
“Iya aku kelaperan tadi pagi cuma makan sedikit,” jawab Manda sambil sibuk memotong bulatan bakso menjadi kecil-kecil.
“Emang kamu enggak ga order dessert di kafe tadi Manda?” tanya Diana sambil memerhatikan perempuan di hadapannya yang melahap potongan bakso yang sengaja ia potong kecil-kecil agar muat masuk ke dalam mulut mungilnya.
“Enggak dihabisin tadi Mbak, aku yang makan hahaha,” timpal Rama.
“Iya kamu mah sukanya ngabisin makanku beb kalau meeting,” seru Manda sambil menyenggol lengan Rama pelan.
“Dari pada enggak dihabisin kan, ” ucap Rama tak mau kalah.
Melihat dari cara Rama yang mengetahui kesukaan Diana, tampaknya mereka memang sangat dekat. Bahkan hubungan mereka mungkin lebih dari itu.
“Eh maaf Mbak,” ucap Rama terkejut karena tangan mereka tak sengaja bersentuhan saat sama-sama hendak mengambil sambal.
“Kamu suka pedes juga Mas?” tanya Diana.
“Mbak Diana juga? Yaudah duluan aja Mbak, ini sambalnya.” Rama menyodorkan mangkuk kecil berisi sambal berwarna merah kepada Diana.
“Makasih Mas.”
“Kalian lucu ya, mau ambil sambel aja sampe harus gantian. Itu loh di meja sebelah aja ada sambel nganggur,” timpal Manda terkekeh melihat Rama dan Diana.
“Jauh Manda,” ujar Rama kemudian ikut terkekeh.
“Nih mas, udah selesai kok.” Diana kembali menyodorkan sambalnya kepada Rama setelah puas menyendok beberapa sendok sambal ke mangkuk baksonya.
“Wow kamu level kepedasannya sama kaya Rama ya Diana,” seru Manda membuat mereka jadi memperhatikan mangkuk Diana yang sudah tertutupi sambal di atasnya.
“Berapa sendok Mbak?” tanya Rama penasaran.
“Tiga sendok aja sih,” jawab Diana santai.
“Sendok makan kan?” timpal Manda seolah yakin akan jawaban Diana.
“Iya.”
“Tuh kan sama kaya Rama. Dia juga kalau nyendok sambal pasti enggak makai sendok sambalnya loh, langsung make sendok makan,” terang Manda semringah, merasa tebakannya benar.
Rama dan Diana pun saling menatap merasa heran bukan karena tebakan Manda yang benar, namun karena Rama memang baru saja selesai menuang 3 sendok sambal menggunakan sendok makan pada mangkuknya.
Diana hampir melongo mengetahui ada seseorang yang bisa sama persis selera memakan baksonya seperti dia, dan saat ini ada di hadapannya.
“Emang enggak pedes apa?” tanya Manda akhirnya mengalihkan mereka.
“Enggak,” jawab Rama dan Diana bersamaan.
“Haha kalian ini lucu,” ujar Manda lalu melanjutkan menyantap baksonya.
Sekilas terjadi keheningan yang janggal di antara mereka. Rama pun entah kenapa ikut hening tak bersuara membuat Diana merasa canggung.
“Kamu emang enggak suka pedes Manda?” tanya Diana mencoba memecah keheningan sambil menyantap baksonya yang super pedas itu.
“Enggak, paling berani setengah sendok gini,” jawab Manda sambil menunangkan setengah sendok sambal ke dalam mangkuknya.
“Dia emang cemen Mbak kalau masalah pedes,” timpal Rama.
“Biarin, dari pada bibir jontor karena kepedesan, kan ga cantik jadinya,” seru Manda membuat Diana menghentikan kunyahannya.
Yang ia tahu setiap kali makan bakso pasti bibirnya akan terlihat merah dan sedikit bengkak karena kepedasan. Apakah takut jelek adalah alasan utama seseorang tidak mau mencampur sambal ke dalam baksonya? Mungkin Amanda adalah tipe orang yang seperti itu.
Mereka bertiga pun hening dan fokus pada hidangan masing-masing. Rama yang lahap menyantap baksonya, Amanda yang sibuk memotong baksonya menjadi kecil-kecil, serta Diana yang juga lahap menyantap baksonya.
“Rama pesenin aku es campur dong,” ujar Manda tiba-tiba sambil menahan rasa pedas.
“Kenapa Manda? Kepedesan?” tanya Diana sedikit khawatir.
“Iya nih, kok sambelnya pedes banget ya.”
“Mas es campur satu ya,” ujar Rama pada seorang karyawan yang kebetulan lewat di dekat mereka. “Kamu juga enggak mbak?”
“Air mineral aja mas.”
“Sama air mineral satu mas.”
“Es jeruknya enggak mempan Manda?” tanya Diana masih khawatir.
“Udah abis nih,” dengan nafas terengah-engah Manda memperlihatkan gelasnya yang sudah kosong.
“Nih aku ada tissue Manda, kasian kamu keringatan gitu.” Diana memberikan tissue dari dalam tasnya pada Manda.
“Makasih Diana,” ujar Manda.
Dengan sigap Rama mengambil beberapa lembar tissue itu kemudian mengelap kening dan pelipis Manda perlahan.
“Makasih beb.”
Diana tak menyangka bahwa Rama yang akan mengelap kening Manda. Namun ia tak terlalu peduli, mungkin hubungan mereka memang sedekat itu.
Tak lama seorang karyawan pun datang membawa semangkuk es campur dengan sebotol air mineral lalu meletakkannya di atas meja mereka.
“Nih minum es campurnya.” Rama menggeser es campur pesanan Manda tepat di hadapan perempuan itu.
Manda pun menyendok es campur itu lalu menyeruputnya dengan perlahan.
“Kamu mesen air mineral karena kepedesan juga Mbak?” tanya Rama pada Diana yang masih sibuk melanjutkan santapannya. Maklum yang ia makan adalah bakso jumbo, jadi butuh waktu lama untuk menghabiskannya.
“Sedikit, tapi cuma buat jaga-jaga aja kalau es tehnya habis,” jawabnya.
“Rama mah satu gelas belum tentu habis meski makanannya pedes,” celetuk Manda yang kini lebih tenang karena rasa pedas di mulutnya sudah hilang berkat es campur yang ia minum barusan.
“Hebat mas bisa tahan pedes gitu.”
“Udah mati rasa kali lidahnya,” ledek Manda.
“Enggak usah ngeledek deh.”
Manda pun tertawa kecil, sambil memundurkan mangkuknya pertanda ia sudah tak ingin menyantap lagi baksonya.
“Akhirnya aku kekenyangan karena air bukan karena bakso deh,” keluhnya.
Tak butuh waktu lama akhirnya mereka bertiga telah selesai menyantap makan siang mereka meski harus melewati acara Manda yang kepedasan.
“Yaudah beb, aku balik dulu masih ada urusan,” ucap Manda sambil berdiri.
“Pak Tono enggak diajak makan?” tanya Rama.
“Udah tadi aku suruh pesen, paling makan di luar sama kang parkir.”
Dan lagi, sebelum pergi ia sempat mengecup pipi Rama kanan dan kiri meski Rama tak membalasnya.
“Aku balik duluan ya Diana, kalau Rama nakal lapor aku aja.”
“Iya Manda hati-hati ya,” ujar Diana, tersenyum padanya.
“Yuk duluan,” Manda pun melenggang dengan anggunnya menuju meja kasir.
“Kita juga balik sekarang mbak?” tanya Rama.
“Tunggu ya, aku balas chat dari Aldo dulu,” ujar Diana sambil membalas sebuah pesan dari Aldo.
“Kenapa? Ada masalah di kafe?”
“Oh enggak, si Aldo lapor tadi katanya ada stok kopi baru masuk.”
“Oh, kalau gitu abis ini kita langsung pulang?”
“Tunggu bentar ya mas, biar makanannya turun dulu,” ujar Diana yang sebenarnya merasa kekenyangan sehingga ia malas beranjak dari kursinya.
“Kekenyangan juga mbak?” tanya lelaki itu, seolah tahu apa yang sedang dirasakan Diana.
“Kayaknya, ukuran baksonya jadi lebih gede enggak sih mas? Apa perasaanku aja ya?”
Rama pun terkekeh mendengar pertanyaan Diana. “Enggak mbak, itu karena Mbak Diana juga ngabisin es teh satu gelas sama air mineral satu botol. Jadi kembung deh.”
“Ah masa sih mas? Aneh sih, biasanya juga satu gelas aja udah cukup.”
“Emang agak lebih pedes sih sambelnya, kayaknya Pak Unyil lagi iseng nambahin cabe satu kilo,” ujar Rama sabil tertawa.
Diana tiba-tiba mengeluarkan sebuah cermin kecil dari dalam tasnya dan menatap wajahnya dari pantulan cermin itu.
“Enggak kok mbak, masih cantik. Bibirnya enggak jontor,” ucap Rama
“Eh saya enggak lagi ngecek bibir loh mas,” elak Diana merasa ketahuan.
Entah kenapa ia justru merasa tersipu mendengar ucapan Rama itu barusan. Ia tidak yakin apakah itu adalah ejekan atau pujian. Yang pasti Rama mengatakan bahwa ia cantik.
“Mas berapa semua?” Rama mengangkat lengannya sambil memanggil seorang karyawan untuk menghitung semua pesanannya.
“Udah dibayar sama mbak yang tadi mas.” seorang karyawan dari meja kasir menghampiri mereka.
“Si Manda?”
“Yang mbak cantik tadi yang duduk di sini mas.”
Bahkan seorang karyawan warung makan bakso saja bisa berkata bahwa Manda cantik. Semua pria mungkin akan berkata begitu jika melihatnya.
“Oh yaudah makasih mas kalau udah dibayarin.”
Karyawan itu pun kembali ke mejanya.
“Duh jadi enggak enak saya mas,” ujar Diana.
“Santai aja mbak. Dia suka begitu emang anaknya.”
“Tetep aja saya ngerasa ga enak soalnya kan enggak ada omongan apa-apa tadi.”
“Kalau gitu lain kali kita aja yang traktir dia makan gimana mbak?”
“Lain kali?” tanya Diana. Ia tak menyangka akan ada kata lain kali, seakan mereka akan makan bersama lagi. Namun kali ini berbeda karena Rama akan mengajak Manda juga.
“Iya lain kali. Kapan-kapan saya ajak makan di tempat yang lain, kalau Mbak Diana enggak keberatan.”
“Kabarin aja mas, saya seringnya standby di kafe kok,” ujar Diana setuju.
“Siap.”
“Ya udah yuk mas, balik sekarang aja.”
“Yaudah yuk.”
***
“Kak Dian lama banget makan siangnya. Makan siang apa ngedate?” ledek Aldo saat melihat bosnya itu memasukin kafe bersama Rama.
“Hus kalo ngomong suka ngawur,” sembur Diana sambil berjalan menuju meja favoritnya.
“Duduk di sini lagi mbak?” tanya Rama heran.
“Itu emang meja kesayangan Kak Dian Mas,” sahut Maya yang baru saja keluar dari ruangan Diana.
“Oh pantes kok duduknya di situ lagi.”
"Katanya kalau duduk di situ Kak Dian bisa mantau semua aktivitas kafe mas," timpal Aldo.
Diana hanya tersenyum santai karena tak perlu bersusah payah menjelaskan kepada tetangganya itu tentang spot favoritnya ini. Para karyawannya sudah cukup menjelaskan semuanya.
“Udah enakan May perutnya?” Tanya Diana pada Maya.
“Udah kak, udah enggak bolak balik ke WC lagi kok.”
“Alesan aja kak, dari tadi juga molor tuh di ruangannya kak Dian,” seru Ane.
“Enak aja, gue tuh nahan mules tau Ne di dalem.”
“Udah ah jangan ribut. Masalah gitu aja pake dibesar-besarin.”
“Maaf kak,” ujar Ane dan Maya bersamaan.
“Dah sana pada balik kerja.”
“Siap kak!”
Mereka pun kembali ke spot masing-masing.
“Kalau gitu saya langsung aja ya Mbak,” ujar Rama, hendak beranjak.
“Mau pulang mas?”
“Enggak, saya ada janji sama temen. Mau liat-liat kucing.”
“Loh Mas Rama suka sama kucing juga?” tanya Diana terkejut.
“Loh Mbak Diana juga suka kucing?” tanya Rama balik yang tak kalah terkejut.
“Iya suka mas.”
“Apa mau saya mintaka juga ke temen saya?”
“Eh enggak usah mas, saya cuma suka aja sama kucing tapi kalau ngerawat saya enggak telaten,” terang Diana.
Ia pernah memiliki seekor kucing persia berbulu putih namun hilang entah kemana karena ia lupa memberinya makan. Semenjak itu Diana enggan memelihara kucing lagi.
“Oh gitu.”
“Nanti kalau Mas Rama dah beli kucingnya saya bakal sering nengokin deh.”
“Tapi saya enggak beli mbak, ini saya mau adopsi aja. Jadi kaya dikasih gitu. Soalnya kalau beli kan kesannya kaya gimana gitu mbak,” terangnya.
“Oh iya juga sih mas. Emang sebaiknya adopsi aja.”
Diana tak menyangka pemikiran Rama sangat berbeda dengannya. Ternyata ia adalah orang yang penyayang binatang. Hatinya pasti lembut.
“Kebetulan hari ini saya enggak langsung bawa pulang kucingnya. Cuma mau liat-liat dulu aja. Soalnya belom prepare peralatannya juga sih,” ucapnya sambil menggaruk tengkuknya.
“Saya tau loh toko peralatan kucing yang lengkap dan bagus mas, mau saya anterin?” Kali ini Diana menawarkan dirinya karena dia memang senang pergi ke toko apa pun, meski hanya sekedar untuk melihat-lihat saja. Itu adalah me time terbaik baginya.
“Boleh mbak, mungkin next time pas saya mau ambil kucingnya Mbak Diana ikut aja, biar sekalian bisa nemenin beli peralatannya.”
“Oh iya boleh mas.”
“Ehem yang mau belanja peralatan kucing padahal mau ngedate,” seru Aldo yang entah dari mana datangnya membuat Diana terkejut.
“Apa sih Aldo,” seru Diana, menepuk lengan karyawan jahilnya itu.
“Aldo kalau ngomong suka bener ya, hahaha,” timpal Rama.
“Sesama cowo udah pasti paham mas.”
“Balik kerja sana, malah ngerumpi,” protes Diana sambil berkacak pinggang.
“Maaf kak tadi sekalian mampir mau ngecek.”
“Ngecek apaan emang?”
“Ngecek Kak Dian sama Mas Rama udah jadian belom,” seru Aldo yang langsung kabur menghindari amukan bosnya.
“Sialan ya lu Aldo.”
“Hahaha ampun kak.”
“Maaf ya mas Rama, si Aldo emang jahil banget deh anaknya.”
“Enggak apa-apa mbak. Seru malah.”
Diana memelototi karyawannya itu yang tengah asik menertawakannya dari meja barista. Ia menatapnya seolah akan membalas perbuatannya nanti.
“Yaudah saya langsungan ya.”
“Iya mas hati-hati di jalan.”