Musuh dalam selimut

1097 Words
Seperti yang telah diprediksi, nasib bola itu melambung jauh terlempar masuk ke dalam ring dengan satu kali shoot, otomatis menambah poin dan menguatkan tim Rian. “Yee!” sorak sorai terdengar, namun Rian masih nampak biasa saja. Memasukkan bola basket ke ring dengan cermat telah ia lakukan sejak usianya tiga tahun. Jadi, Rian sendiri merasa hal ini bukan suatu yang harus diselebrasi. Bola mata hitam pekatnya memindai keberadaan Ibas, sahabatnya. Oh,yah tadikan sudah kenalan dengan dua dari empat cowok keren nan ganteng. Nah di posisi ke tiga di tempati Ibas, lelaki paling berwarna di antara ketiga temannya. Kenapa paling berwarna. Karena Ibas selalu saja mengecat rambutnya. Tentunya dengan warna yang gonta-ganti sesuai dengan perkembangan zaman. Katakanlah dari ke empat cowok itu cuma Ibas yang melek fashion. Karena itu juga, Ibas terlihat lebih modis. Seperti kali ini Ibas meng-highlight rambutnya dengan warna orange, semakin memantaskan tampilan wajahnya yang kebule-an. “Ibas," teriak Rian geram, sejak tadi Ibas tidak terlihat begitu membantu tim mereka. Hanya ia dan Zero yang terus bergerak, bermandikan peluh untuk mendapatkan kemenangan tim Aufklarung. “Apa sih?” jawab Ibas tak kalah nyaring. Tapi meski begitu Ibas tidak mau menghampiri Rian. Ia masih sibuk menggoda Selfi, anak baru yang katanya incaran para siswa. Dan Ibas tak mau sampai kalah saing. “Selfi. Ada bintang,” seru Ibas. “Hhaah bintang, Ini,'kan siang, Ibas.” tolak Selfi “Bener ada bintang. Ada bintang di matamu,” tutur Ibas gombal. Selfi tersenyum malu dengan tubuhnya meliuk-liuk persis seperti cacing di siram garam. “Bapak kamu buka pengadaian gak?” “Enggak, emangnya kenapa, Bas?” bingung Selfi. Apa Ibas ada barang yang mau ia gadaikan? pikirnya. “Soalnya aku mau gadaikan hati aku buat anaknya, yaitu kamu,” kata Ibas sambil menoel dagu Selfi. Meski tanpa sayap di punggungnya... Rasanya Selfi sudah bisa terbang jauh ke angkasa luas. "Kenapa sih, Rian?!" tanya Dika heran lihat temannya menggerutu tidak jelas. "Lo lihat aja tuh si Ibas!" suruh Rian malas. Dika menengok, menatap temannya yang super ganjen itu sedang godain cewek adalah pemandangan yang terlalu biasa baginya. Dika atau yang bisa juga dipanggil Kala. Seorang bangsawan generasi ketiga. Bahkan jika Dika berkendak. Sekolah ini bisa ia beli dengan mudah,ya. Cuma saja Dika terlalu malas melakukannya. Remaja delapan belas tahun itu cuma ingin menikmati masa mudanya bersama ketiga kawannya. Oh,yah sampai lupa! Dika adalah anggota ke empat. Ia masuk sekolah ini bukan karena ia anak nakal sehingga berakhir disini. Tidak, tidak. Pemuda pintar cendrung mirip titisan Einstein itu lagi mencoba hidup "sengsara" jauh dari rumahnya dan tinggal bersama Zero di kost-an murahan. Zero sendiri, Bahkan ketiga temannya tidak tahu persis asal muasal mengapa ia berakhir disini. Zero terlalu pandai menasehati orang. Namun akan tertutup jika membicarakan tentang dirinya. Cuma Ibas dan Rian yang kehidupan pribadinya seolah di buka lebar-lebar di depan orang. Mereka gak mungkin nutup-nutupin karena akan selalu ada kumpulan cewek-cewek yang siap mengerahkan hidupnya untuk tahu segalanya tentang Rian maupun Ibas. "Ya udah Rian. Gakpapa, namanya juga Ibas lagi usaha deketin Selfi," bela Zero sambil tersenyum. Rian tidak menanggapi 'Satu jam yang lalu juga dia deketin Arini,'kan.Kemarin udah ada Loly, Sayana. Aahkk.., entah siapa lagi. Terus apa gue harus selalu mengerti dia. Ini pertandingan kita. Kalau kita menang dia juga yang bakalan bangga' suara hati Rian. Yang memang cuma peduli sama bola basket Yah seenggaknya sebelum dia ketemu Manda. *** Sisi Manda.., "Suerrr lo?! lo mau KKN di sekolah pemuda bangsa yang isinya. Euiihh" Selly jadi merinding setelah membayangkannya. "Ho'oh. Emang kenapa sih sama sekolah pemuda bangsa. Gue yakin kok disana anaknya baik-baik, berbudi pekerti yang luhur." angan Manda. Wajar, gadis itu tidak pernah mau tahu gosip yang beredar. Dibalas gerutuan dari Selly. "Sumpah nih anak gak tau apa kelakuan anak-anak disana gimana. Yang kadang tawuran, banyak yang keluar masuk Kantor polisi. Sampai yang, Iiih!" Selly gak bisa lagi lanjutinnya. Terlalu menakutkan serta terlalu menyeramkan baginya. Selly cuma berharap Manda kuat menghadapi cobaan. Mungkin memang ada baiknya Manda gak tau persis agar tidak menimbulkan rasa parno di hatinya. *** "Aahkk. Sial!" umpat Robby melihat timnya gagal. "Rian lagi, Rian lagi!" maksudnya, kapan dia yang dieluh-eluhkan para gadis. Dari jejeran gadis ada satu yang memikat hatinya. Jika sang gadis mendukungnya maka mati sekarang pun Robby siap untuk mengerahkan seluruh daya upayanya untuk menang. Ia, si gigi kelinci dengan lesung pipi kirinya, matanya yang bulat selalu saja menatap ke arah Rian penuh kedambaan. Semakin membuat panas hati Robby. Cowok itu mengepal tangan kuat. 'Liat aja lo Rian?!' ancamnya dalam hati. "Ian. Afika lihatin lo!" desis Zero memberi tahu Rian. Cewek cakep satu sekolah yang diketahui cuma mau membuka hatinya buat Rian. "Biarin aja! Dia,'kan punya mata," jawab Rian Zero menggaruk-garuk kepalanya "Iyah juga sih,ya. Tapi kok kesel,ya?!" sahutnya ke'kelakuan sahabatnya itu. "Mending lo panggil Ibas deh. Dia mau menang gak sih jangan kita doang dong?!" tekan Rian seraya bertolak pinggang. Perintah Rian langsung di kerjakan Zero. Zero berlari ke arah Ibas "Bas. Pacarannya udahan. Lebih baik lo fokus sama pertandingan ini sebelum Rian murka," cicitnya menginfokan Ibas. Ibas melirik ke Rian, gawat ini. Ini lebih gawat daripada dapat nilai ujian nol. Akhirnya Ibas mau memenuhi panggilan Rian. "Siap bos, hamba sahaya datang memenuhi panggilan sang pangeran!" kata Ibas satire. Rian sama sekali tidak mau bereraksi. "Sebentar lagi babak kedua, lo cukup jaga Devid. Masalah Robby urusan gue." lanjutnya memberikan petunjuk. "Tunggu. Tapi gue-Devid. Anak itu licik. Dia suka sikut orang sembarangan." elak Ibas Rian menatap Ibas malas "Karena itu gue pilih lo!" ucapnya yang tahu kalau Ibas bisa jauh lebih hebat saat memakai otak liciknya. Ttuutt...! Bunyi alarm tanda istrahat selesai dan babak selanjutnya akan segera dimulai. Bola itu langsung dikuasai Rian. Ia mendribel dengan lincah sambil matanya melirik ke anggota lain. "Ibas!" Rian melempar bola kearah Ibas. Baru saja Ibas mau maju, Devid sudah menyikut pinggulnya. Sikuan tangan Devid membuat Ibas terjungkal. "Awuuw," pekik Ibas tertahan. Meski sakit tapi ia tetap berlari meraih pantulan bola. Sesaat ia berpapasan dengan Devid yang memasang wajah tidak tahu apa-apa. 'Ck!' desis Ibas. 'Udah sikut perut gue sampai sakit banget gini. Bisa-bisa dia planga-plongo!' runtuknya dalam hati Ibas berdiri di belakang Devid. Dengan lutut kakinya ia menendang betis Devid "Aahk. Ya ampun!" teriak Devid melirik Ibas sangat kesal. Ibas mengedikkan bahunya. "Curang!" pekik Devid supaya semua orang tahu kelakuan Ibas padanya. Tapi Ibas gak takut, ia hanya memberikan jari tengahnya kearah Devid. Rian memperhatikan Ibas. Kali ini permainan bukan lagi seperti pertandingan sekolah biasa. Tetapi juga sudah di bumbui dengan rasa permusuhan. Kedua kubu saling menjaga kekuatan mereka. Berlagak bisa saling bertoleransi. Nyatanya ada rasa dendam yang mampu membakar kedua kubu tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD