Bab 2

1483 Words
Suara kekehan memenuhi seluruh penjuru mobil, Devan terkekeh melihat ekspresi wajah Azahra yang kini ditekuk kesal setelah aksinya membuat kesepakatan dengan Azahra. Sepertinya Azahra benar-benar marah dengan Devan, wanita itu mencebikkan bibirnya begitu mendengar tawa Devan yang meledak tanpa rem. Dengusan juga keluar dari mulut wanita cantik itu, Azahra memalingkan wajahnya ke luar jendela. Tangan wanita itu menghidupkan sound di dalam mobil sampai ke volume tinggi. “Kamu pikir kita lagi ngadain resepsi dengan sound sistem seberisik ini?” tanya Devan menatap Azahra dengan geli. Devan sampai melongokkan kepalanya di depan Azahra. “Kamu marah beneran? Serius?” seloroh Devan dengan kening yang berkerut. Azahra mendengus. “Hm,” deham Azahra singkat. Devan menggelengkan kepalanya, lelaki itu menyentuh puncak kepala Azahra lembut. Devan tersenyum simpul, sepertinya memang dirinya sudah keterlaluan menggoda Azahra di depan umum. “Baiklah, aku mengaku salah. Jadi Queen, maukah kamu memaafkan diriku?” tanya Devan kepada Azahra. “Hm, terserah Mas saja,” jawab Azahra membuat Devan membelalakkan matanya. Dirinya kan sudah minta maaf, kenapa juga Azahra masih marah dengan dirinya. Memang ya, wanita itu selalu benar dan lelaki selalu saja salah. Tidak pernah benar di mata para wanita, mengesalkan. “Mas kan sudah minta maaf, kenapa kamu masih sebal begitu dengan Mas?” Devan menatap Azahra dengan alisnya terangkat satu. “Atau kamu berharap mau mencium Mas beneran, begitu?” Tanya Devan sontak membuat Azahra menoleh ke arah lelaki itu. Apa? Azahra berharap mencium Devan? Sepertinya terbalik, kata-kata itu seperti kaca untuk diri Devan sendiri. Selama ini, Devanlah yang memang lebih agresif. “Pengen aku tampol kamu?” tanya Azahra dengan wajah garang. Bukannya takut, lelaki itu justru terkekeh dengan mengacak pelan rambut lurus sepunggung milik Azahra. Wanita itu tidak pernah memotong pendek rambutnya, tidak juga melakukan perawatan salon seperti wanita pada umumnya. Azahra lebih suka apa adanya, karena memang dengan apa adanya itu ada sosok Devan yang telah mencintai dia apa adanya. “Jangan cemberut lagi, oke?” ucap Devan diangguki Azahra. “Oke, tapi berhentilah mengacak rambutku. Aku harus merapikannya lagi,” ucap Azahra kesal dengan kelakuan Devan yang sangat hobi mengacak rambutnya sejak dulu. “Cium aku dulu dong, cium sini, sini juga boleh,” kata Devan menunjuk pipi dan bibirnya bergantian. “Aku cium pakai ini mau?” kesal Azahra mengangkat tasnya di depan Devan. Devan mencebikkan bibirnya kesal. Dia selalu saja menjadi pihak yang harus kalah jika melawan Azahra. Bagaimana lagi, Devan terlalu mencintai Azahra. Devan juga merasa sangat beruntung bisa mendapatkan wanita sebaik Azahra. Wanita yang sejak awal menemaninya meniti kariernya sampai detik ini. Devan masih teringat, bagaimana dulu Azahra mau mengerjakan tugas makalahnya saat dirinya pergi lomba fotografi di Jakarta. Azahra banyak berjasa bagi Devan. Tidak akan Devan biarkan apapun menghalangi kisah cintanya dengan Azahra. “Kamu mau makan di mana?” beo Devan bertanya. “Terserah sih, aku lagi pengen makan di suasana danau gitu. Kampung Laut aja gimana?” usul Azahra. Devan mengelus pipi Azahra lembut. “Siap, Tuan Putri,” ucap Devan membuat Azahra terkekeh. Lelaki itu langsung menancap gas mobilnya menuju Resto Kampung Laut yang ada di dekat Puri Anjasmoro, Semarang. Resto makanan laut yang sudah terkenal ke seluruh pelosok Kota Semarang. Pemandangan danau dengan pohon mangrove, sekaligus sunset langit berwarna orange membuat suasana resto itu semakin menarik. Berbagai menu masakan, baik personal maupun paketan, semua tersedia di sana tanpa kecuali. Belum lagi pelayanannya yang ramah, sekaligus tempat yang bersih sangat layak untuk dikunjungi. Tidak hanya itu, Resto Kampung Laut didirikan di atas perairan, sangat cocok bagi mereka yang suka berfoto-foto ria. Mobil yang mereka kendarai memasuki pelataran parkir dari resto tersebut. Seorang tukang parkir memberikan Devan karcis masuk untuk memarkirkan mobilnya. “Terimakasih, Pak,” ucap Devan tersenyum ramah. “Yo, Mas,” jawab tukang parkir itu mengacungkan jempolnya. (Iya, Mas) Devan memarkirkan mobilnya, lelaki itu keluar setelah memastikan barang-barang pentingnya telah dia bawa. Devan membukakan pintu mobil untuk Azahra, melindungi kepala Azahra dengan tangannya. “Terimakasih, Pak.” Azahra tersenyum menyapa. “Kenapa kata-kataku kamu copy paste?” tanya Devan tidak terima. Azahra tersenyum lembut, wanita itu melingkarkan tangannya di lengan Devan dengan mesra. Azahra merindukan lelaki itu, sudah beberapa hari ini Devan pergi ke Bandung dan tidak menemuinya. Tapi mau berbuat apa? Begitulah pekerjaan Devan, Azahra sangat mengerti bagaimana kesibukan kekasihnya. Asalkan Devan bisa dipercaya dan tidak melakukan hal-hal yang mengecewakan dirinya. “Kamu seharian bekerja tapi kok enggak bau acem?” Azahra memukul lengan Devan. “Aish, kamu ini pertanyaannya kenapa selalu tidak masuk akal, sih?” keluh Azahra menatap Devan sebal. Devan mengelus jemari Azahra, membuat wanita itu kesal memang salah satu kebiasaan Devan, dan Devan sangat menyukainya. Mereka berjalan bergandengan tangan dengan begitu eloknya. Senyuman yang mengembang di bibir Azahra dan Devan menandakan betapa mereka saling mencintai satu sama lain. Devan menggenggam erat tangan Azahra, seakan memberitahu kepada semua orang bahwa wanita itu adalah miliknya, wanitanya. “Selamat datang, Mas, Mbak. Ada yang bisa saya bantu? Atau mungkin sudah reservasi sebelumnya?” tanya pelayan yang berjaga di pintu masuk. “Kebetulan kami belum reservasi,” jawab Azahra tersenyum ramah. Pelayan itu mengangguk mengerti. “Kiranya mau duduk di meja sebelah mana, Mbak?” tanya pelayan itu kepada Azahra. “Di dekat jembatan kayu saja, Sayang,” usul Devan. Azahra mengangguk. “Kami di dekat jembatan kayu saja, Mbak,” jawab Azahra. Pelayan resto mengantarkan Azahra dan Devan sampai di meja yang mereka inginkan. Devan menarik satu kursi, mempersilahkan Azahra untuk duduk. Tentu saja itu adalah salah satu kehangatan Devan yang memang selalu dia lakukan selama ini. Tidak heran jika Azahra begitu jatuh hati kepada Devan bukan? Mereka memilih menu makanan yang akan mereka pesan. Dengan sigap, pelayan resto mencatat semua menu yang mereka ucapkan. Setelah memastikan tidak ada kekurangan, pelayan resto berpamitan undur diri sekaligus meminta Azahra dan Devan menunggu pesanan mereka diantarkan ke meja mereka. “Apaan sih, kenapa lihatin aku begitu?” Azahra menatap Devan dengan bingung. “Coba deh, kamu pejamin mata,” pinta Devan kepada Azahra. “Enggak ah, nanti kamu mulai jahilnya lagi,” jawab Azahra memicingkan matanya siaga. “Kamu negative thinking mulu sama aku, cepetan Sayang pejamkan matamu,” suruh Devan dengan setengah memaksa. “Tapi awas ya, kalau kamu berani melakukan hal yang macam-macam!” Lelaki itu menggeleng, pertanda bahwa dia tidak akan melakukan hal yang macam-macam. Azahra menuruti saja perintah Devan, wanita itu memejamkan matanya. “Bagaimana?” tanya Devan terdengar antusias. Kening Azahra berkerut. “Bagaimana apanya, Mas?” Azahra menautkan alisnya bingung. “Kalau matamu terpejam, apa yang kamu lihat?” tanya Devan kepada Azahra. Pertanyaan yang sangat aneh menurut Azahra, namun wanita itu tetap menjawab pertanyaan dari kekasihnya. “Gelap, memangnya kenapa? Kamu tidak berpikir aku cenayang yang bisa melihat semuanya dengan menutup mata, kan?” tanya Azahra penasaran. “Iya gelap, itu yang Mas rasakan kalau tidak melihat Azahra,” jawab Devan seketika membuat Azahra membuka matanya. Wajah wanita itu merona, antara berbunga dan juga malu mendengarkan kata rayuan retceh yang keluar dari mulut Devan. “Gombal ih,” ucap Azahnya dengan wajah semerah tomat. “Ciye blushinggg,” goda Devan membuat Azahra memukul lengannya. “Mas Devan, jangan godain mulu kenapa!” sungut Azahra yang sangat jengah dengan tingkah tengil kekasihnya. “Ya masa Mas godain cewek di sini? Kamu yakin, ikhlas?” Devan bertanya dengan tampang sok polosnya. Untung saja Azahra punya stok sabar yang seluas isi jagat raya. Jadi dirinya tidak akan terkena serangan jantung ataupun pingsan mendengar penuturan dari Devan. Devan meraih tangan Azahra, menatap wanita itu serius. “Azahra, Mas mau ngomong serius.” Azahra merasa suasana telah berbalik arah, dari sorot mata Devan mengutarakan bahwa lelaki itu akan mengucapkan hal yang sangat serius. Tapi apa? Devan tidak berencana memutuskan dirinya, kan? “Memangnya, Mas mau ngomong apa?” tanya Azahra penasaran. Devan menatap lekat manik mata Azahra yang selalu membuatnya terhipnotis. Devan mengelus pipi Azahra dengan lembutnya. “Kita kan sudah berpacaran lama. Umur kita juga sudah layak untuk ke jenjang yang lebih serius. Mas mau kita segera menikah, meresmikan hubungan kita di depan Allah dan kedua orang tua kita, Sayang,” ucap Devan. Jantung Azahra berpacu sangat kencang, wanita itu tidak menyangka Devan akan mengatakan hal seperti itu sekarang. “Apakah Azahra mau menikah dengan Mas? Menerima kegesrekan Mas yang kadang keluar tanpa permisi,” tanya Devan menatap Azahra dengan serius. Azahra terbungkam, tidak tahu harus menjawab apa untuk saat ini. Wanita itu menatap Devan mata berkaca-kaca saking bahagianya mendengar keseriusan Devan.Wanita mana yang tidak mau diajak menikah oleh kekasihnya? Bahkan sepertinya, Azahra sangat beruntung bisa memiliki sosok lelaki sebaik dan sepengertian Devan. Devan adalah lelaki terbaik, setelah ayah, dan kakeknya tentu saja. “Zahra mau, Mas. Tapi, Mas Devan harus membicarakan ini dengan kedua belah pihak keluarga kita. Karena pernikahan bukan hanya antara aku dan Mas Devan saja. Kita menyatukan dua keluarga dengan perbedaan sifat serta karakteristik,” ucap Azahra menjelaskan. “Kamu tidak perlu khawatir, Mas akan bilang ke papa dan mama. Yang penting, Azahra mau dulu menikah dengan Mas.” Azahra mengangguk, mengiyakan permintaan sekaligus pertanyaan dari Devan. “Mas tidak perlu bertanya lagi, Azahra mau kok menikah dengan Mas Devan. Mau banget malah,” ujar Azahra dengan matanya yang mulai basah karena air mata bahagia. Devan membawa Azahra ke dalam pelukannya. Lelaki itu telah berjanji akan membuat Azahra menjadi wanita yang paling bahagia di dunia ini ketika bersama dengan dirinya. Devan tidak akan membiarkan air mata kesedihan menghiasi wajah Azahra. “Kamu boleh menangis, Sayang. Tapi menangis karena bahagia, dan Mas menjadi alasannya,” kata Devan membawa Azahra ke dalam dekapan hangatnya. Azahra tidak tahu harus bereaksi apa lagi selain menerima dekapan Devan dengan tidak kalah hangatnya. Azahra telah menunggu moment ini sejak satu tahun yang lalu. Akhirnya, apa yang dia tunggu akan menuju suatu temu. “Mas, aku mencintaimu, sangat. Terimakasih, sudah menjadikan Azahra sebagai wanita pilihan Mas Devan.” Devan mengelus puncak kepala Azahra. “Mas yang seharusnya berkata demikian, terimakasih sudah mempercayai Mas Devan untuk menjadi lelaki paling beruntung karena mendapatkanmu, Azahraku.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD