Bab 1

1460 Words
Kilatan blits kamera memenuhi ruangan studio foto dari DR Potography, lelaki dengan corak mata berwarna coklat gelap itu dengan lihainya mengambil jepretan dari sosok yang kini dia berada di depannya. Devan Rewangga, anak sulung dari pasangan Imam dan Siska. Lelaki berwajah oval, tampan, rahangnya tegas, rambutnya lurus dengan model potongan undercut yang begitu simple, dan juga segar. Lelaki setinggi 175 cm yang kini telah berumur dua puluh enam tahun. Bakat fotografi adalah keahliannya sejak masa SMP, melihat bakal yang terus berkembang membuat Devan mengambil pendidikan S1 di jurusan fotografi salah satu kampus terkemuka di Kota Semarang. Devan membuktikan kesungguhannya dengan menempuh pendidikan S1 selama tiga setengah tahun. Tidak hanya itu, Devan juga sering mengikuti lomba fotografi baik lewat akademisi maupun lewat luar akademisi. Lelaki itu bolak-balik mendapatkan kejuaraan dari lomba yang telah dia ikuti. Tidak ingin melepaskan mimpinya, Devan menabung semua pendapatan yang dia dapatkan dari pekerjaannya sebagai fotografer panggilan. Setelah semua terkumpul, orang tua Devan turut membantu lelaki itu mendirikan studio foto seperti keinginannya. Meskipun lahir dari keluarga yang berada, namun sifat rendah hati Devan selalu membuatnya bisa menjaga dirinya dari pergaulan anak muda yang tidak penting. “Terimakasih, sudah menyempatkan waktu untuk menerima saya dan calon suami saya sebagai klien di tengah-tengah kesibukan Anda,” ucap klien Devan. Pasangan yang akan menikah dua minggu lagi, mereka membutuhkan foto pre-wedding untuk mereka tampilkan di slide show pada saat resepsi pernikahan nantinya. Devan tersenyum. “Tidak masalah sama sekali, Mbak. Ini merupakan tanggung jawab saya. Saya tadi sempat takut bakalan telat sampai di Semarang,” jawab Devan mengutarakan perasaannya. Benar sekali, Devan baru saja kembali dari Bandung setelah kemaren mengikuti lomba kejuaraan fotografi secara nasional yang melibatkan fotografer handal dari berbagai penjuru Indonesia. Devan sendiri tidak menyangka, dirinya akan diberikan kesempatan mengambil potret seorang model internasional yang kembali karena hiatus dari dunia modeling. Yona Anantasya William, siapa yang tidak mengenal nama model itu. “Mas Devan sangat sibuk sekali,” kata calon pengantin lelaki memuji Devan. “Itu seperti sindiran buat saya, bahkan keluarga dan kekasih saya juga berkata demikian untuk menyindir,” tutur Devan sambari terkekeh ringan. Devan meminta pasangan calon pengantin untuk berganti pakaian terlebih dahulu. Devan memanggil salah satu pekerjanya untuk memberikan minum  kepada kliennya. “Sebentar, saya pindah dulu di komputer. Nanti kita bisa lihat bagaimana hasilnya, dan apa yang ingin ditambahkan katakan saja, ya. Jangan sungkan pokoknya,” ucap Devan tersenyum. Pasangan calon pengantin itu tersenyum dan mengangguk. Begitulah Devan, lelaki itu memang sangat ramah kepada semua kliennya hingga membuat mereka betah sering-sering berlangganan dengan Devan. Apalagi hasil jepretan lelaki itu yang selalu istimewa, membuat semua orang ingin merasakan jepretan tangan dari seorang Devan Rewangga. Devan menuju ruang editing yang ada di sebelah ruang studio, lelaki itu mulai menyalin semua foto yang ada di kamera ke komputer. “Mas Devan, sudah pulang dari Bandung?” tanya Mas Arip, salah satu pegawai Devan yang sering diberikan job untuk paket wedding. Devan menoleh, lelaki itu tersenyum dan mengangguk. “Iya, Mas Arip. Baru sampai beberapa jam yang lalu,” jawab Devan menjelaskan. “Waduh, baru sampai dua jam yang lalu tapi sudah bekerja saja,” beo Mas Arip sambari menatap layar komputer yang kini menunjukkan hasil jepretan tangan Devan. “Ini aku sudah berjanji dengan mereka sejak jauh-jauh hari, tidak enak rasanya mengundur jadwal pemotretan. Lagi pula aku tidak ada kegiatan sampai nanti sore,” jelas Devan. “Iya kan memang sang pujaan hati lagi kelja, ya tydack cibuk von-vonan,” kata Mas Arip dengan nada suara yang sengaja dibuat alay sampai Devan terbahak-bahak dibuatnya. Sang pujaan hati yang dimaksud oleh Mas Arip adalah Azahra Fajrin, kekasih Devan empat tahun ini. Wanita cantik, berhati lembut, dan sangat pengertian. Kalau Mas Arip belum menikah, mungkin dirinya akan mencari sosok wanita seperti Azahra Fajrin. “Alay banget elu, Byanggg,” cibir Devan menimpuk lengan Mas Arip. Panjang umurnya, ponsel milik Devan berdering. Panggilan video masuk dari Azahra Fajrin, kekasihnya. Dengan senyum yang merekah bahagia, lelaki itu mengusap layar ponselnya mengikuti gambar warna hijau di sana. Panggilan video mereka sudah tersambung, terlihat wajah Azahra dari layar ponsel milik Devan. “Hallo?” sapa Azahra dari seberang sana. Devan tersenyum, dan melambaikan tangannya antusias. “Aku merindukanmu, kamu semakin cantik setiap kali aku ke luar kota,” ucap Devan membuat wajah Azahra sontak bersemu merah. Azahra tersenyum simpul. “Kapan kamu sampai, Mas Devan?” tanya Azahra. Panggilan ‘Mas’, yang membuat Devan berdebar sangat kencang. Tidak perlu kata-kata semanis madu, mendengar Azahra memanggil namanya dengan lembut saja sudah membuat lelaki itu luluh lantah, tidak karuan rasa di hatinya. “Dua jam yang lalu, kenapa pertanyaanmu sama dengan Mas Arip?” tanya Devan dengan menaikkan satu alisnya. Mas Arip menimpuk kepala Devan sebelum memilih keluar dari ruangan yang telah dipenuhi atmosfir virus bucin Devan dan Azahra. “Aish, main timpuk aja. Mang lu pikir kepala ini gamelan?” cibir Devan mengusap kepalanya. Azahra terkikik geli, tentu saja itu membuat Devan mendengus kesal. Mana ada kekasih yang sangat senang melihat kekasihnya teraniaya seperti itu? Azahra memang keterlaluan. “Kamu kenapa bahagia sekali melihatku dianiaya Mas Arip?” sungut Devan kepada Azahra. “Kalian seperti anak kecil saja, tidak ingat umur,” cibir Azahra, sambil menyeruput es cappucino cincau yang ada di tangannya. “Aku masih dua puluh enam tahun, masih muda, tampan, pekerja keras, dan mencintaimu. Aku lelaki paket komplit njerit melejit,” ucap Devan membanggakan dirinya hingga membuat Azahra tersedak minumannya. Wanita itu terbahak mendengar ucapan Devan yang sangat menggelikan baginya. Devan memang lelaki yang memiliki rasa percaya diri tinggi. Lelaki itu tidak pernah merasa minder ataupun terintimidasi oleh orang lain. Kepercayaan dirinya lah yang membuat Devan mampu meniti kariernya di usia muda meskipun belum bisa dikatakan begitu sukses. “Sayang sekali, aku tidak mencintaimu,” sahut Azahra. Devan membelalakkan matanya. “Hei beraninya kamu berkata seperti itu. Omongan adalah doa,” kesal Devan mencibir. Ketukan di pintu ruang editing membuat Devan menoleh. Klien Devan berdiri di sana, menatapnya dengan senyuman ramah. Devan berdiri, mempersilahkan mereka masuk ke dalam. “Silahkan duduk di sini, maaf ini video dari calon saya,” ucap Devan terkikik geli. Kedua klien Devan mengangguk mengerti. Devan menatap layar ponselnya. “Sudah dulu ya, Sayang. Nanti aku akan menjemputmu, biarkan Mas bekerja karena biaya menikah sekarang itu mahal,” pamit Devan mengedipkan matanya ke arah Azahra. Azahra mengangguk mengerti. “Iya, Mas. Tetap semangat bekerjanya, Zahra tunggu di kantor nanti.” Panggilan video mereka berakhir, Devan tersenyum membayangkan niatnya malam ini mengutarakan niatnya untuk melamar Azahra. Devan sampai tidak sabar lagi menemui sang kekasih secepatnya. “Maaf, mari kita lanjutkan. Silahkan dilihat dulu, nanti bisa sekalian kita cetak jika sudah cocok,” ucap Devan kembali ke pekerjaannya. * Gerombolan karyawan dan karyawati keluar dari kantor membuat Devan tersenyum senang. Sudah sepuluh menit lelaki itu menunggu wanitanya keluar dari gedung. Devan sangat merindukan Azahra. Beberapa hari tidak melihat wanita itu secara langsung membuat tidur Devan terasa tidak nyenyak. Lebay memang, tapi itulah kenyataannya. Sosok wanita yang dia tunggu-tunggu keluar dari pintu utama, wanita itu begitu cantik dengan rambut yang dikuncir cepol ke atas. Rambut jenjangnya berkelebatan ke kanan dan ke kiri mengikuti arah mata angin yang menerpanya. Azahra celingukan mencari sosok Devan. “Di mana itu orang? Katanya sudah sampai loh,” gumam Azahra merogoh ponselnya dari dalam tas. Devan terkikik geli, lelaki itu menikmati wajah kebingungan Azahra dari dalam mobil. Azahra benar-benar cantik, dengan gaun formal terusan model garis pinggang terpotong, di tambah kancing separuh di depan, dan juga ikat pinggang kecil membuat pinggang wanita itu semakin ramping. Belum lagi high hells setinggi tujuh cm yang membuat kaki jenjang Azahra terekspose sempurna. Beberapa rekan kerja Azahra menyapa wanita itu. Pada dasarnya Azahra wanita yang sangat hangat, sopan, dan juga begitu ramah. Wanita itu membalas sapaan rekan-rekan kerjanya dengan begitu ramah, tidak peduli umur maupun gender mereka. Melihat itu, Devan langsung keluar dengan segera. Devan tidak ingin Azahra mencuri perhatian banyak orang karena kecantikan wanita itu. “Sayang,” panggil Devan dengan keras, sengaja menekan panggilan sayang kepada Azahra yang tengah berbincang dengan beberapa rekan kerjanya. Azahra menoleh begitu mendengar suara seseorang yang sangat familiar di telinganya. Senyum Azahra mengembang melihat Devan berjalan ke arahnya. “Dia pacarmu to, Ra?” tanya salah satu rekan kerja Azahra, anak baru di kantor. “Oh iya, kenalkan dia pacarku,” ucap Azahra ketika Devan sampai di depan mereka. Devan memasang wajah cool, seperti biasa mengeluarkan jurus percaya dirinya. “Saya Devan, Calon pengantin lelaki, Azahra.” Azahra terbelalak, wanita itu dengan cepat menepuk pelan lengan Devan. Menyiratkan bahwa jangan bercanda di depan umum. “Mas Devan, malu ih,” gerutu Azahra dengan wajahnya bersemu merah. Devan merangkul pinggang Azahra dengan mesra, membuat para wanita di sana menatap mereka dengan pandangan iri. Lelakinya sangat tampan, begitu juga wanitanya yang sangat cantik. Mereka seperti couple goals tahun ini. Azahra berusaha melepaskan pelukan tangan Devan dari pinggangnya. Rasanya begitu tidak nyaman mendapatkan perhatian dari banyak orang di sana. Bisa-bisa Azahra menjadi trending topic di kantor tempatnya bekerja. “Mas, lepaskan tanganmu,” bisik Azahra. “Tidak mau, kamu harus berjanji dulu padaku,” ucap Devan berbisik di telinga Azahra. Devan tersenyum lebar menatap semua orang yang kini menatap mereka berdua dengan berbagai arti tatapan. Devan mana peduli, lagi pula dia dan Azahra tidak melanggar norma bermasyarakat. “Mas, jangan becanda. Memangnya aku harus berjanji apa?” bisik Azahra gemas. Ingin rasanya wanita itu menimpuk punggung kokoh Devan dengan hand bag miliknya. “Berjanjilah kamu akan menciumku nanti.” Mata Azahra terbelalak bersamaan dengan mulutnya yang menganga lebar. Wuahhh, bisa-bisanya Devan mengajukan syarat menjengkelkan seperti itu kepada Azahra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD