Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar apartemen. Kayla sudah bangun lebih dulu dari teman-temannya. Ia berdiri di balkon, menatap jalanan kota yang mulai ramai. Matanya kosong, pikirannya berkelana entah ke mana.
“Jangan bundir lo,” suara Anya tiba-tiba terdengar dari sofa, nada bercandanya menembus keheningan.
Kayla menoleh sekilas, tersenyum kecut. “Masih punya iman gue.”
Ia kemudian duduk, menatap langit pagi yang cerah seolah menertawakan isi hatinya yang kusut.
“Shopping yuk,” ajak Anya sambil merenggangkan tubuh.
Kayla tertawa kecil. “Gue cek duit dulu. Belum kerja gue.”
“Aman lah! Lo kan dapet pesangon sama gajihan. Nggak bakal abis, bejir,” balas Anya santai.
Kayla mendesah. “Tetep aja, Tar. Kalo udah kerja tuh enak. Kalo duit gue abis, gue minta siapa? Ibu gue janda, si Arka pelit.”
Dari kamar sebelah, Sasa muncul sambil menenteng handuk. “Cari pacar tajir lagi, lah.”
“Cari sugar daddy sekalian,” balas Kayla, menyeringai jahil.
“Gaskeun!” sahut Tari sambil nguap besar dari dalam kamar.
Kayla menggeleng pelan. “Ogah, ah. Nggak mau punya pacar lagi. Trauma gue.” Ia menatap langit sambil memejamkan mata, senyum getir di wajahnya.
Sasa menimpali cepat, “Trauma cari pacar atau trauma temenan, lo mah?”
Kayla terkekeh. “Iya juga sih. Tapi kalian beda, lah. Kalian sahabat gue dari orok. Nggak bakal kayak manusia laknat itu.”
Tari menatapnya lembut. “Iya lah. Gue sayang lo, Kay. Kayak adik sendiri.”
Kayla hanya mengangguk kecil. “Hmm... iya.”
Siangnya, mereka benar-benar pergi belanja. Kayla membeli beberapa pakaian kerja — kemeja, rok, blazer, sepatu. Ia ingin memulai hidup baru. Setelah itu, mereka mampir ke salon. Kayla memotong rambutnya, mengubah penampilannya. Saat rambut barunya jatuh di bahu, ia menatap cermin dan bergumam pelan, “Mulai dari sini.”
Selesai dari salon, mereka nongkrong di sebuah kafe.
“Lo udah ngelamar ke mana aja, Kay?” tanya Sasa sambil menyeruput kopi dingin.
“Gue udah masukin lamaran ke hotel, perusahaan desain grafis, sama bank. Pokoknya ke semua yang bisa gue masukin,” jawab Kayla sambil tersenyum kecil.
“Semangat ya,” ucap Anya sambil mengacungkan jempol.
Kayla mengangguk. “Sip.”
Tawa mereka pecah. Obrolan ngalor-ngidul, kadang konyol, kadang serius. Suara mereka cukup keras sampai beberapa pengunjung menoleh, tapi mereka tak peduli. Untuk sementara, hidup terasa ringan.
Menjelang malam, mereka pun pulang. Kayla memutuskan menginap lagi di rumah Tari.
Keesokan paginya, ponsel Kayla bergetar. Sebuah email baru masuk: “Panggilan Interview – Hotel Grand Astoria.”
Ia sontak bangun, matanya berbinar. “Ya Tuhan, ini beneran?” gumamnya.
Tari yang masih setengah sadar membuka mata. “Kemana, Kay?”
“Ada interview di hotel, Tar!” ucap Kayla tergesa sambil ganti baju.
“Hati-hati, lo!” teriak Tari setengah ngantuk.
“Ya!” balas Kayla sambil berlari keluar.
Kayla memesan ojek online pagi itu. Saat motor melaju, ia menggigit bibir menahan gugup.
“Duh... keterima nggak ya?” gumamnya pelan.
“Kemana, Neng?” tanya abang ojol ramah.
“Ada interview, A.”
“Ouh, gitu. Oke, kita ngebut ya biar nggak telat,” ucap sang driver.
“Siap, A. Nuhun,” jawab Kayla, berusaha tersenyum.
Beberapa menit kemudian, Kayla sampai di depan hotel bintang lima yang megah. Ia menatap bangunan tinggi itu, menelan ludah, lalu melangkah masuk ke lobi.
Di resepsionis, seorang wanita ramah menyambutnya. “Tunggu sebentar, ya,” ucapnya.
Kayla berdiri bersama pelamar lain. Suasana tegang terasa di udara. Satu per satu nama dipanggil masuk ke ruangan interview.
Ketika gilirannya tiba, Kayla mengetuk pintu dan masuk.
“Silakan duduk,” ucap seorang wanita paruh baya dengan kacamata tebal — Bu Jeni, manager hotel itu.
“Terima kasih, Bu,” jawab Kayla sopan.
“Kamu sudah ngerti kerja di hotel?” tanya Bu Jeni sambil memeriksa berkasnya.
“Sedikit, Bu.”
“Kamu lulusan D3. Mau kerja di bagian apa?”
Kayla berpikir sejenak. “Saya sih bebas, Bu. Gimana Ibu menempatkan saya aja.”
“Kalau gaji?”
“Sesuai kebijakan perusahaan aja, Bu.”
Bu Jeni mengangguk, senyum kecil muncul di wajahnya. “Ya sudah. Langsung kerja, ya.”
Kayla terkejut. “Sekarang, Bu?”
“Kenapa? Nggak mau?” tanya Bu Jeni dengan nada menggoda.
Kayla langsung berdiri tegak. “Mau, Bu! Mau banget!”
“Bagus. Untuk awal, kamu bagian housekeeping dulu, ya.”
“Baik, Bu,” jawab Kayla sambil tersenyum lebar.
Hari itu juga, Bu Jeni langsung melatih Kayla bersama dua karyawan baru lainnya. Kayla cepat tanggap, rajin bertanya, dan bekerja dengan teliti. Sampai akhirnya Bu Jeni tersenyum puas.
“Sudah ya, saya mau cek yang lain dulu,” katanya.
“Baik, Bu. Terima kasih,” balas Kayla sopan.
Setelah itu, ia berkenalan dengan dua rekan barunya.
“Kayla,” ucapnya sambil menjabat tangan.
“Saya Mira.”
“Saya Santi,” tambah satu lagi.
Mereka bertiga langsung akrab. Hari itu mereka bekerja hingga sore. Ketika tugas selesai, Kayla menatap pantulan dirinya di kaca jendela hotel. Ia tersenyum kecil.
Untuk pertama kalinya setelah semua kekacauan hidupnya, ia merasa... ada arah baru.
Dan sore itu, Kayla pulang dengan langkah ringan, meski hatinya masih berjuang melupakan luka lama.