Support Sahabat

866 Words
Kayla masuk ke dalam rumah dengan langkah berat. Wajahnya masih merah, matanya sembab. Ia menahan amarah yang terus bergolak di d**a. “Kayla, kamu gimana kemarin, Nak? Ibu khawatir banget,” ucap Bu Ami sambil langsung memeluk putrinya. Kayla mencoba tersenyum. “Baik-baik aja kok, Bu.” “Syukur, Nak.” Bu Ami membalas senyum itu dengan lega. “Makan dulu, ya.” Kayla menggeleng pelan. “Kayla mandi dulu, Bu.” Tanpa menunggu jawaban, Kayla membawa handuk dan masuk ke kamar mandi. Begitu air shower menyentuh tubuhnya, tangis yang ia tahan sejak tadi pecah. Suara isakan memenuhi kamar mandi, bergema di antara dinding keramik. “Kayla, kamu nggak apa-apa?” tanya Bu Ami dari luar, cemas. Tapi Kayla tak mendengarnya—suara air terlalu deras, dan hatinya sudah terlalu bising oleh kesedihan. Bu Ami menunggu di luar dengan cemas. Ketika Kayla akhirnya keluar, wajahnya tampak pucat dan matanya bengkak. Ia mengenakan baju santai, rambutnya masih terbalut handuk. Kayla duduk di meja makan, menatap piring di depannya tanpa selera. “Kamu kenapa, Kayla?” tanya Bu Ami lembut, mengusap punggung anaknya. Kayla menelan ludah, suaranya bergetar. “Bu... salah Kayla apa ya, sama Laras?” “Kenapa lagi, Nak?” “Robi, Bu...” Kayla tak sanggup melanjutkan. Napasnya tersengal. “Kenapa Robi?” tanya Bu Ami dengan dahi berkerut. Kayla menghela napas panjang. “Robi kemarin pergi ke Jakarta, Bu. Tapi... dia nggak balik lagi.” “Terus?” “Dia sama Laras, Bu...” ucap Kayla akhirnya, dan air matanya langsung tumpah. “Apa?! Si Laras ini kenapa sih?!” suara Bu Ami meninggi, kesal. “Sakit, Bu... bahkan lebih sakit dari waktu dia rebut Zevan dari aku. Robi itu segalanya buat aku, Bu. Dia selalu ada waktu aku jatuh, waktu aku putus, waktu aku kesusahan. Dia selalu ada... tapi sekarang, Laras ambil Robi juga, Bu...” tangis Kayla pecah di bahu ibunya. Bu Ami memeluk Kayla erat. “Kamu nggak salah, Nak. Mereka yang nggak beres. Udah, tenang dulu ya...” Tapi Kayla terus terisak. Setelah beberapa saat, ia pamit ke kamar tanpa menyentuh makanannya. Di kamar, ia menatap ponselnya. Chat dari teman-teman menumpuk: Pesan dari Zevan—puluhan permintaan maaf. Pesan dari Tari, Anya, dan Sasa—semuanya terasa hampa. Tari: “Kay, lo di mana?” Anya: “Main yuk!” Sasa: “Kaylaaa, datang ke reuni ya!” Kayla menarik napas panjang lalu mengetik pelan. Kayla: “Gue ikut.” Anya: “Lo ke mana aja sih, Kay?” Kayla: “Ada.” Tari: “Oke, nanti gue jemput ya!” Kayla: “Siap.” Setelah itu, Kayla meletakkan ponsel dan akhirnya tertidur siang itu dengan mata bengkak dan hati kosong. Sore harinya, klakson mobil terdengar di depan rumah. Tari muncul dengan wajah ceria. “Buuu, Kayla mana?” tanyanya. “Di kamar,” jawab Bu Ami sambil menghampiri. Tari mencium tangan Bu Ami, lalu masuk ke kamar Kayla. “Bangun, hey,” ucapnya menggoyang bahu Kayla. “Ngantuk...” gumam Kayla pelan. “Hayu party!” seru Tari riang. “Gas,” jawab Kayla akhirnya, bangun dengan lesu. Ia mengenakan hoodie tanpa sempat mandi lagi, lalu pamit cepat pada ibunya. Dalam mobil, suasana sempat hening. Tari melirik Kayla beberapa kali. “Kenapa lo?” tanyanya pelan. Kayla menatap keluar jendela. “Kok hidup gue kayak gini ya, Tar...” “Hah? Ya lo kenapa? Cerita dong.” “Abis dari butik lo, gue nonton sama Robi. Gue bahagia banget waktu itu, Tar. Masalah gue sama Zevan tuh kayak udah kelar. Tapi... pas nongkrong di kafe, si Zevan datang, terus... berantem sama Robi. Gue ketonjok.” “APA? Serius?” Tari kaget sampai hampir salah belok. “Belum selesai.” Kayla menghela napas. “Gue pulang, di rumah udah ada polisi. Gue dilaporin sama Laras.” “GILA! Itu orang udah nggak waras!” ucap Tari, matanya melotot. “Gue ditahan malam itu. Robi bantu gue, tapi... entah gimana, setelah itu dia malah jadian sama Laras. Bahkan mereka mau nikah, Tar.” Tari terdiam. Wajahnya kaget sekaligus kasihan. “Kay... ya Tuhan. Maaf, gue nggak tau.” “Gak apa-apa, Tar. Gue juga nggak pegang ponsel waktu itu.” Tari menarik napas panjang. “Ya udah, hari ini lo harus senang. Lo mau apa, gue beliin.” Kayla tersenyum tipis. “Pizza, cola, dimsum, sushi, rechesse.” “Amer mau, sayang?” goda Tari sambil tertawa. “Boleh. Gue pengen mabok malam ini.” “Gaskeun!” seru Tari semangat. Sebelum pulang, Tari membelikan semua yang Kayla mau. Saat malam tiba, mereka sampai di apartemen. Sasa dan Anya sudah menunggu. “Akhirnya lo datang juga!” seru Sasa dengan senyum lebar. “Iya, nih, digusur sama Tari,” jawab Kayla sambil tertawa kecil. “Lo beli apa aja?” tanya Anya. “Banyak! Semua yang si Kayla mau. Kita party malam ini!” jawab Tari. Malam itu, tawa menggema di seluruh ruangan. Mereka makan bersama, minum bersama, bernyanyi tanpa peduli waktu. Untuk sesaat, Kayla melupakan semuanya—Zevan, Laras, Robi, dan air mata yang belum benar-benar kering. Tapi saat malam makin larut, dan lampu mulai redup, Kayla hanya bisa menatap langit-langit kamar sambil berpikir... hidup kok bisa sekejam ini ya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD