Bermalam Di Sel

1286 Words
Robi pergi mencari bantuan malam itu. Ia mengemudi cepat, wajahnya tegang. Pikirannya penuh dengan satu nama — Kayla. Ia harus menyelamatkan gadis itu bagaimanapun caranya. Setibanya di rumah temannya, Robi segera mengetuk pintu. “Satria! Lo bisa bantu gue nggak?” ucapnya terburu-buru, suaranya berat. Satria yang baru keluar dari dalam rumah menatap heran. “Kenapa lo tumben banget?” tanyanya sambil menyilangkan tangan. “Temen gue… ada yang terlibat kasus,” jawab Robi cepat. “Kasus apa?” tanya Satria, mulai serius. Robi akhirnya menceritakan semuanya — dari awal Kayla ingin memberi kejutan untuk pacarnya, sampai kebakaran apartemen yang membuat semua berantakan. Satria menghela napas. “Oh, gampang itu,” katanya santai. “Bantu gue ya. Gue bayar berapa pun,” ucap Robi, suaranya tegas namun penuh harap. “Siap. Nggak berat kok ini… kecuali yang ngelapor nggak mau cabut laporannya, baru susah, Bi,” ucap Satria sambil menatap Robi. Robi menghela napas panjang. “Nah, justru itu, Sat, masalahnya. Yang ngelapor itu sahabatnya sendiri, tapi malah fitnah Kayla… karena dia suka sama cowoknya.” Satria melotot kecil. “Waduh… ribet juga ya.” “Gimana dong?” tanya Robi frustasi. “Kita coba aja sekarang,” ucap Satria sambil berdiri dan meraih kunci mobilnya. Mereka berdua bergegas menuju kantor polisi untuk melakukan negosiasi. Namun jawaban dari pihak kepolisian tetap sama — harus ada pencabutan laporan dari keluarga Laras. Robi menatap Kayla dari balik jeruji. Gadis itu sudah tertidur di pojokan sel, memeluk lututnya, wajahnya pucat dan tampak lelah. Ada rasa iba yang dalam menusuk hati Robi. “Kita harus ke rumah pelapor, Bi,” ucap Satria pelan. Robi menoleh ke arah polisi yang berjaga. “Pak, nitip surat ini ya. Kalau teman saya bangun, tolong kasihkan,” ucapnya sambil menyerahkan amplop kecil. “Baik,” jawab Pak Asep singkat. Tanpa membuang waktu, Robi dan Satria pun pergi malam itu menuju Jakarta. Tekad mereka satu — membebaskan Kayla, karena gadis itu tidak bersalah. Beberapa jam perjalanan, mobil mereka akhirnya berhenti di depan kantor polisi Jakarta. Begitu masuk, Robi langsung melihat Zevan duduk di ruang interogasi. Darahnya langsung mendidih. Tanpa pikir panjang, Robi menghajar Zevan. “Ini semua gara-gara lo!” teriaknya penuh amarah. Polisi di sana langsung melerai, menarik tubuh Robi ke belakang. “Bi! Bi, tahan! Ingat ini di mana!” teriak Satria berusaha menenangkan. Zevan memegangi bibirnya yang berdarah, sedikit sobek akibat pukulan Robi. “Gue juga nggak tahu bakal gini!” balasnya sambil duduk di lantai dekat pengacaranya. Hari itu, Zevan justru dinyatakan bebas — Laras mencabut laporannya untuk Zevan. Tapi tidak untuk Kayla. “Minta alamat rumah si Laras,” ucap Robi tajam. “Dia masih di rumah sakit,” jawab Zevan dengan tatapan dingin. “Rumah sakit mana? Kamar nomor berapa?” tanya Satria cepat. Zevan pun menyebutkan nama rumah sakitnya. Tanpa pikir panjang, Robi dan Satria langsung berangkat. Sesampainya di rumah sakit, Robi langsung menerobos masuk ke ruang perawatan Laras. “Siapa lo?” tanya Laras ketus. Tubuhnya terbalut perban hampir di seluruh bagian, membuatnya tampak seperti mumi hidup. “Gue teman Kayla,” jawab Robi datar. “Mau apa?” Laras menatapnya dengan tatapan tajam. Satria ikut masuk, menunduk sopan. “Kami cuma mau minta tolong. Cabut laporan itu, Laras. Kayla nggak bersalah.” “Nggak!” bentak Laras. “Dia udah bakar gue sampai kayak gini!” “Please… tolongin,” ucap Robi, nadanya berubah memohon. Laras menatapnya lama. “Lo pacarnya ya?” tanyanya tiba-tiba. Robi terdiam, tak menjawab. Ia hanya menunduk. Laras tersenyum miring. “Oke. Ada syaratnya.” “Apa itu?” tanya Robi, menatap curiga. “Lo jadi pacar gue. Lo ganteng, tinggalin Kayla,” ucap Laras tanpa ragu. “Apa?! Nggak! Nggak mau!” seru Robi spontan. “Ya sudah…” Laras tersenyum puas. “Temen lo bakal dipenjara lima tahun.” Robi menutup matanya, menahan emosi yang hampir meledak. Gimana ini, Tuhan… batinnya bergemuruh. Satria menatapnya prihatin. “Nggak ada pilihan lain, Bi,” bisiknya pelan. “Nggak ada,” jawab Laras dingin, menatap Robi penuh tantangan. “Lo kan udah sama Zevan! Maruk banget lo jadi cewek!” bentak Robi. Laras mendengus. “Gue nggak ada hubungan sama Zevan!” Robi menghela napas panjang. “Ya Tuhan… wanita macam apa ini,” ucapnya lirih. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Zevan datang dengan wajah emosi. “Lo yang udah bikin gue kayak gini!” bentaknya, lalu menepis pelukan Laras yang mencoba merangkulnya. “Gila lo, b******k!” teriak Zevan. Laras malah tersenyum sinis. “Lo juga nikmatin, kan, Van? Gue udah tarik tuntutannya. Lo mau gue laporin lagi? Tinggal satu lagi nih…” ucapnya sambil menatap Robi penuh arti. “Lepasin Kayla, b******k!” bentak Zevan. “Gue nunggu jawaban dia,” jawab Laras sambil memandang Robi lekat-lekat. Satria berbisik pelan, “Terima aja dulu, Bi. Nanti bisa lo putusin.” Robi menggertakkan rahang. “Oke… gue mau,” katanya akhirnya. Tak lama, Laras langsung menelepon polisi, memerintahkan agar Kayla dibebaskan. “Kita jadian, ya. Dan lo harus pindah ke Jakarta, kerja di sini. Tinggalin Kayla. Itu syaratnya,” ucap Laras. “Tapi kantor gue di Bandung,” jawab Robi keberatan. “Ada nomor bos lo di HP gue. Gue udah mantau lo dari lama,” jawab Laras santai. Zevan berdiri dan menatap sinis. “Anjing lo, setan!” bentaknya sebelum pergi. “Dih, kenapa dia?” ucap Laras mendelik. Ini cewek apaan, anjir, batin Robi kesal. “Gue harus pulang dulu. Bawa baju, pamit ke orang tua sama bos gue,” ucap Robi dengan nada dingin. “Nggak. Nanti aja, kalau gue udah sembuh, kita bareng-bareng pulang. Sekalian nikah,” ucap Laras datar. “Apa?! Lo gila, ya?” ucap Robi heran. “Gue waras. Temenin gue hari ini,” jawab Laras tenang. Robi dan Satria saling tatap. Ia akhirnya mengalah. Sebelum pergi, ia berpesan pada Satria agar memastikan Kayla sudah benar-benar bebas. Siang itu, di Bandung, Kayla sedang melamun di dalam selnya. Ia menatap lantai, matanya kosong. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar. “Kayla,” panggil Pak Asep. “Kamu bebas.” Kayla tertegun. “Serius, Pak?” tanyanya pelan. Pak Asep tersenyum. “Makasih aja nanti sama teman kamu itu.” “Makasih, Pak,” ucap Kayla sambil keluar dari kantor polisi. Ia menatap sekeliling, mencari Robi. “Robi mana ya…” gumamnya. Pak Asep memberikan kunci motor dan sebuah surat. “Ini, titipan dari dia.” Kayla membuka surat itu. Tulisan Robi jelas terbaca: Gue ke Jakarta buat bebasin lo. Kayla menatap kertas itu lama, lalu segera menelpon Robi. “Hallo,” ucapnya pelan. “Kay… lo udah bebas?” suara Robi di seberang terdengar lega. “Iya, Bi. Makasih,” ucap Kayla dengan suara bergetar. Namun sebelum Robi sempat menjawab, suara lain tiba-tiba masuk. Laras merebut ponsel itu dari tangan Robi. “Dia calon suami gue. Jadi lo jangan pernah hubungi Robi lagi,” ucap Laras dingin. “Hah?” Kayla terpaku. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari pisau. Rasa sakitnya bahkan melebihi saat Zevan direbut Laras dulu. Laras tahu betul, cinta pertama Kayla adalah Robi. Dan kini, dia ingin mengambil semuanya dari Kayla. “Lo nggak puas sama Zevan, sampai-sampai lo ambil Robi dari gue?!” teriak Kayla, suaranya pecah. “Nggak,” jawab Laras datar. “Sinting lo! Anjing!” teriak Kayla marah. “Tapi Robi mau sama gue. Berarti dia nggak cinta sama lo,” balas Laras dengan nada sinis. “Najis! p***k lo!” balas Kayla sambil menutup teleponnya dengan keras. Dengan emosi yang meluap, Kayla naik ke motor Robi dan menyalakan mesin. “Anjing, si Laras b******k!” umpatnya sambil menarik pedal gas. Ia pulang ke rumah siang itu, dengan d**a sesak dan air mata yang akhirnya pecah juga di tengah jalan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD