Kepasrahan

1096 Words
Suasana tiba-tiba hening. Aisyah menatapku tajam. Bi Yuni maupun ibuku, tidak ada yang ingin menjawab pertanyaan Aisyah. Mereka memilih diam saling melirik satu sama lain. Akhirnya aku yang harus turun tangan menjelaskan semua. "Ehem …." aku berdeham. Mencoba melancarkan tenggorokanku yang terasa tercekat. "Apakah bibimu tidak pernah menjelaskan kepadamu kalau aku …." Sengaja aku menggantung ucapanku memastikan gadis ini mendengarkannya baik-baik. Tatapanku lurus ke arahnya. "Kalau aku sudah menikah," jelasku akhirnya mengungkap apa yang pasti belum diketahuinya. Aisyah tersentak kaget, ia menutup mulutnya seketika. Lalu menatap ke arah bibinya seolah meminta penjelasan. "Sudahlah Syah, terima saja. Nggak ada salahnya 'kan jadi istri kedua. Dalam agama boleh kan? jadi nggak usah dipertanyakan, dan nggak usah kaget gitu," bujuk Bi Yuni menggenggam erat tangan Aisyah dengan entengnya. "Tapi Bi, Aisyah tidak mau menjadi perusak rumah tangga orang. Aisyah hanya ingin menikah sekali seumur hidup, jadi--" "Syah, kamu tenang saja. Kamu tidak salah. Tidak ada yang akan mengatakan kamu perusak rumah tangga orang karena Ibu yang akan melindungimu. Ini semua agar Adrian secepatnya mempunyai seorang anak. Bantulah Adrian, Syah. Istri terdahulunya tidak bisa mempunyai anak," papar Ibu menyela ucapan Aisyah mencoba memberi pengertian. Astaga Ibu, bisakah mulut Ibu direm sedikit. Tidak perlu berbohong hanya untuk membujuk gadis kampungan ini. "Jadi … aku dinikahi cuma untuk memberikan Abang anak?" Aisyah menatapku sendu dengan suara lirih. Ckk … kenapa dia memanggilku Abang, aku tidak menyukai panggilan itu. Kesannya sama seperti abang-abang cilok atau Abang 'kang bakso. Apa tidak ada panggilan yang lebih keren lagi. "Tanya saja langsung sama ibuku. Dia yang memilihmu untuk kunikahi, bukan aku," ujarku sewot membuang muka. "Adrian," seru Ibu dengan tatapan tajamnya. Aku melengos malas mendebat. "Sebenarnya bukan begitu. Aku memang menginginkanmu jadi menantuku. Nanti juga kamu akan tahu alasannya. Tidak hanya soal anak, yang jelas Adrian menikah denganmu memang niat ibadah, kalau misal nantinya dapat anak darimu, itu namanya bonus, rejeki tambahan dari Allah." Ibuku masih berusaha merayu Aisyah. "Sudah, terima saja. Masih untung ada yang mau melamarmu. Kalau menunggu nanti, kapan kamu bisa nikahnya. Siapa calonnya? Belum tentu kamu nikah sama orang kaya. Dengan Nak Adrian, Bibi yakin kamu akan hidup enak, terjamin. Ya Aisyah," desak Bu Yuni lagi. Aisyah yang awalnya masih ragu dan terlihat berpikir, akhirnya mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca. Melihatnya, membuat sisi hatiku tercubit. "Tadi sudah selesai bacanya? jangan sampai ada yang terlewat. Aku tidak mau nantinya kamu menyesal," ujarku membujuknya membaca kembali lanjutan surat perjanjian tersebut. "Tidak perlu. Bibi sudah membacanya, apa pun isinya, saya sudah menyetujuinya. Aisyah pasti juga setuju. Dia selalu menurut apa pun yang saya perintahkan." Aku menatapnya lekat, ia hanya menundukkan kepala, sedangkan wanita paruh baya di sampingnya berbinar bahagia Dengan senyum semringah. Seakan dialah yang akan menikah denganku. Ada yang ingin ditanyakan lagi?" ujarku mencoba mengajaknya bicara. Aisyah melirik ke bibinya sekilas lalu menggeleng lemah ke arahku. Dasar lemah. Aku mendengkus kesal melihat sikapnya. Apakah gadis ini mampu menjadi istri keduaku? Bagaimana kalau Casandra tahu kalau madunya seperti ini? Kurasa dia akan membantainya sampai tamat. Membayangkannya saja aku tidak sanggup. *** "Bu, lebih baik kita batalkan saja pernikahan ini?" pintaku sembari mata fokus ke depan jalan. Pandangan mata tetap ke depan saat menyetir mobil karena takut menabrak. Itu dikarenakan aku sangat jarang membawa kendaraan sendiri. Biasanya memakai jasa sopir, atau managerku yang bawa, tapi kali ini tidak. Kata Ibu ini sebuah misi rahasia, cuma kami berdua saja, dan yang lain tidak boleh ada yang tahu. Aku benar-benar terjebak dalam sebuah drama film, yang lakonnya adalah aku sendiri. Sebenarnya ini terjadi gegara aku yang tak tegas. Coba kutolak dari awal keinginan Ibu, pasti sekarang aku tidak berakhir dengan menikahi gadis itu. Lagian, Ibu kok bisa menemukannya di tempat yang terpencil seperti ini? Butuh waktu tiga jam buat sampai kesini dari kota besar. Melelahkan pergi dengan kendaraan sendiri karena jalannya yang tidak memungkinkan. "Kenapa harus dibatalkan? Semua sesuai keinginan Ibu," desis Ibu sambil memainkan gawainya. Sesekali ia tersenyum dan berbalas pesan di sana. "Tapi tidak sesuai dengan keinginan Adrian Bu, gadis itu …," aku menjeda, Ibu spontan menoleh ke arahku. "Gadis itu bukan tipe Adrian, Bu." Imbuhku pelan. "Kamu ini nurut aja sama Ibu. Aisyah adalah istri sempurna untukmu. Pilihan Ibu tidak pernah salah, tidak sepertimu, sudah dibilangin jangan nikah sama artis, tetap aja ngeyel. Lihat sekarang, bagaimana? Istri susah diatur, maunya menang sendiri. Jalan sendiri, sibuk sendiri. Nggak bisa ngasih anak. Suami tidak terurus, malah diurus sama pembantu. Memangnya kamu nikah sama dia atau sama Mbak di rumahmu?" ngegas Ibu dengan emosi tinggi menampik ucapanku. Kalau aku lawan, bakalan panjang lagi omelannya. Dering ponselku berbunyi. Terlihat nama Lovely di layar depan. "Istrimu?" tanya Ibu seraya melirik ponselku. "Hm," gumamku membenarkan. Ibu sekilas mencebik ke arahku, lalu seolah tak terganggu, kembali Asyik dengan benda pipih di tangannya. "Iya sayang," jawabku menyapa istriku dari seberang sana. "Kamu dimana? kenapa ponselmu baru aktif? Yoyo nyariin kamu ke aku," tanyanya kesal. Aku tahu pasti wajahnya merengut sebal. "Oh, itu tadi barusan antar Ibu ke rumah teman kecilnya. Ini lagi di jalan mau pulang," jawabku bohong. Kulempar senyum ke arah Ibu, tapi malah dibalasnya dengan raut wajah masam. "Oh, ya sudah hati-hati di jalan, aku masih syuting, nanti kalau aku belum pulang, tidur aja duluan," ujarnya memberi info tentang keterlambatannya pulang. Aku hanya mampu mendesah pelan. "Hm," jawabku. "Dah sayang, love you." "Love you too," balasku dengan tersenyum kecut. Aku tahu dia tidak akan melihat betapa masamnya wajahku setelah panggilan telepon darinya berakhir. "Kenapa? dia nggak pulang lagi malam ini?" Tebakan Ibu benar. "Hm," jawabku malas. "Begitulah. Jadi wajar dong Ibu carikan kamu istri lagi. Biar kamu ada temannya. Nggak sendirian lagi kalau malam, dan yang pasti bisa ngasih kamu anak, cucu buat Ibu," ucap Ibu dengan setengah berbisik di kalimat terakhir. Aku tidak ingin menanggapi ucapan Ibu. Sudah sering lontaran ini Ibu berikan untukku. Dia selalu menganggap pilihanku salah. Mau bagaimana lagi, namanya juga cinta. Cinta kami bersemi di lokasi syuting. Kata orang sih cinta lokasi, lucu tapi menyenangkan, karena setiap hari bisa bekerja dengan orang terkasih. Chemistry pun terjalin erat hingga membuat banyak orang baper melihat kemesraan kami. Yang pasti setiap drama tv dan film yang kami bintangin berdua selalu menempati rating teratas. Cukup lama keheningan menyergap kami sejak pernyataan itu terlontar dari mulut Ibu. "Casandra mampu Bu, kasih cucu ke Ibu. tapi nanti dulu. dia lagi sibuk dan lagi naik daun. Kasihan kalau nanti malah anak kami yang jadi korban kalau tetap dipaksa punya anak," ujarku membuka kembali obrolan karena sepertinya Ibu perlu diberi pengertian. "Itu alasan kamu, Ibu tahu kok alasan sebenarnya. Heran, sudah jadi istri orang kok bertingkah centil gitu." Deg! Apa maksud Ibu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD