Menikah

1546 Words
Rumah ini tampak biasa. Tidak terlihat seperti rumah tempat melangsungkan pernikahan. Tidak ada hiasan khas acara pernikahan juga. Tampilan dalam ruangan rumah ini masih sama persis saat kami pertama berkunjung ke sini. Paling hanya warna cat rumah ini saja yang berubah karena sudah dicat ulang. Lantai rumah yang sudah dipercantik dengan dilapisi karpet permadani, lalu ada tambahan satu meja kecil di tengah ruangan. Aku yakin itu tempat nantinya pengucapan ijab kabul. kemeja putih, celana panjang berwarna hitam dilengkapi peci hitam sudah melekat di badanku. Seperti inilah penampilanku. Terlalu sederhana. Tidak seperti aku dulu bersama Casandra yang mengenakan pakaian pengantin. "Permisi, kata Bu Yuni, mempelai prianya diminta ke depan, penghulunya sudah datang." Seorang laki-laki berumur dua puluh tahunan mengetuk pintu dan menyampaikan pesan bibinya Aisyah. Saat pertama datang ke rumah ini aku dan Ibu langsung diarahkan masuk ke dalam sebuah kamar sederhana, dimana katanya itu sebagai tempat beristirahat kami sebentar. Kami datang lebih awal dari waktu acara yang sudah ditentukan. Ibu bilang takut terlambat, tidak enak sebagai mempelai laki-laki. Ibu mengangguk dengan tersenyum simpul. Dari tadi Ibu lah yang paling antusias dengan pernikahan ini. Dia bolak-balik dari kamar ini ke kamar Aisyah. Lalu memberitahukan kalau Aisyah sangat cantik dan lain sebagainya. Pujian tidak ada hentinya Ibu ucapkan untuk calon mantu barunya itu. "Ayo Nak, cepat. Nggak enak kalau penghulunya menunggu." Aku berdecak kesal dalam hati, baru saja dia datang, kapan menunggunya, paling juga Ibu yang tidak sabaran. *** Aku diajak ke ruang tengah tempat acara digelar. Tidak banyak orang sesuai permintaan Ibu. Yang pasti harus ada saksi dari pihakku maupun dari pihak Aisyah sebagai syarat sah sebuah pernikahan. Mataku mengitari setiap sisi ruangan, tapi perempuan yang bakal jadi istriku itu tidak terlihat dimana pun. Kemana dia? "Cari apa? Aisyah dikurung dulu di kamar sampai kamu selesai ijab kabul, baru dia keluar." Ibu tahu betul apa yang sedang kupikirkan. Belum bertanya, sudah dijawabnya duluan. Terserahlah, dia mau ada ataupun tak ada saat ijab kabul, aku tak peduli. Aku hanya ingin acara ini cepat selesai. Maka kewajibanku pun selesai. Dengan satu tarikan napas kuucapkan ijab kabul dengan lancar. Ini sudah biasa. Aku sudah sering melakukannya di drama sinetron ataupun layar lebar. Tinggal menghapal nama mempelai perempuan dan nama ayahnya. Maka ijab kabul ini berhasil kulalui. Bagiku ini tidak ubahnya seperti sedang berakting. Jadi, tidak ada rasa gugup seperti dulu aku menikahi Casandra. Ini terlalu mudah. Biasa saja. "Panggil mempelai wanitanya ke mari," ujar Pak penghulu menatap ke arahku. Aku menatap balik Ibu karena menurutku itu tugas Ibu, bukan diriku. Harusnya aku tetap diam di tempat dudukku. "Ayo Yan, jemput istrimu! Bawa kemari, kamu nggak akan nyesal," bisik Ibu menyuruhku menjemputnya kemari. Aku menyipitkan mata heran, kenapa harus aku? Tugasku cuma mengucap ijab kabul saja, yang lainnya aku tidak ingin berkontribusi. Biarlah Ibu atur semuanya, dan semau Ibu. "Nak Adrian duduk saja, biar saya yang bawa." Bi Yuni menawarkan diri. Nah, itu saran yang bagus. Harusnya dari pihak wanita membawa pengantin wanita ke sini, bukan aku, sang mempelai laki-laki. Namun sayangnya ditolak Ibu. Melihatku tak bergerak sedikitpun, ia malah menarik lenganku agar segera bangkit dari posisi dudukku sekarang. Dengan malas dan terpaksa, aku melangkah pergi menjemput sang ratu--menantu baru Ibu. Mata terbelalak tidak percaya dengan apa yang barusan kulihat. Apakah itu dia? Benarkah?Tapi bagaimana mungkin, gadis lugu dan kampungan itu bisa secantik bidadari. Polesan make up dan kebaya putih yang dikenakannya telah berhasil menghipnotisku. Tanpa sadar aku meneguk salivaku sendiri. Lalu sedikit terkejut saat wajah cantik yang sempat kulihat itu ditutup dengan kain berwarna putih, senada dengan warna kerudungnya hingga menyisakan sepasang mata indah berwarna kecokelatan. Apa ini? Kenapa dia memakai itu. Apa namanya, aku mencoba mengingat. Cadar? Benarkah itu namanya? Kenapa harus ditutupi? Dia berjalan pelan dan anggun melangkah mendekat. Tiba-tiba aku jadi gugup berada di sampingnya. "A, gandeng tangan Aisyah, biar mesra, kan sudah halal," celetuk seorang ibu dengan senyum dikulum. Tanpa sadar aku mengangguk mengiyakan. Kami jalan beriringan dengan tangannya yang melingkari lenganku. Berpasang mata menatap kami dengan binar bahagia, termasuk Ibu di dalamnya. Senyumnya selalu mengembang sampai saat ini. Seolah ini adalah pernikahanku yang pertama. Dia ikut duduk dan langsung meraih tanganku untuk diciumnya takzim. Ada gelenyar aneh saat sentuhan pertama kami tanpa sekat terjadi. Lebih aneh lagi saat Ibu menyuruhku mencium keningnya. Keringat dingin langsung membanjiri wajahku. Tidak mungkin kan rasanya bisa seperti ini. Sudah berapa kali aku melakukan adegan ini di drama tv, tapi kenapa kali ini rasanya berbeda? Semua orang yang berada di sini tidak banyak. Bisa dihitung dengan jari. Mereka semua juga sudah dibayar dan berjanji tidak akan membocorkan pernikahan ini ke depan umum. Ada konsekuensinya jika dilanggar. Tidak ada juga sesi foto pernikahan, takut tersebar, dan itu sangat berbahaya bagiku. Saat ini karirku lagi naik, job pekerjaan sangat banyak dan masih ada juga yang mengantri untuk mengontrakku bekerja sama dengan mereka. Memutuskan libur seminggu tidak syuting dengan alasan mengantar Ibu pulang kampung, benar-benar membuat jadwal kerjaku berantakan. Pasti juga mendapat komplain dari pihak produksi tv, Biarlah, kuharap Yoyo bisa mengatasinya. Dia adalah managerku bersama Casandra. Lagian, untuk apa dia dibayar mahal kalau tidak bisa mengatasi hal tersebut? Tangis haru mewarnai salam perpisahan Aisyah dengan bibinya. Kali ini ada ketulusan yang tampak dikeduanya. Aku menunggu di mobil, enggan untuk ikut berbasa-basi dengan Bi Yuni. Cukup Ibu saja yang melakukannya, itu sudah mewakili diriku. Kali ini aku tidak menyetir, bukan pula Ibu. Aku mengajak supir kepercayaan Ibu untuk ikut menemani kami di sana. Dia juga ikut terlibat sebagai salah satu saksi pernikahan kami. Sepanjang jalan hanya keheningan yang tercipta. Ibu duduk di samping Pak Dayus--supir Ibu. Aku dan Aisyah duduk di belakang. Awalnya aku ingin di depan, tapi disuruh Ibu ke belakang. "Masa pengantin duduknya misah, aneh. Sana! ke belakang, biar Ibu yang di depan," ucap Ibu, memaksa. Benar sih itu menurut Ibu, tapi bagiku hubungan kami tidak ubahnya kayak orang asing. Tidak ada saling sapa, tegur, apalagi berbicara panjang lebar. Kami hanya saling tatap, lalu setelahnya saling membuang wajah, seolah enggan untuk melihat. "Yan, Aisyah tinggal dimana? Di rumahmu?" Aku terbatuk mendengar pertanyaan Ibu. Mana mungkin kubawa ia ke rumah, yang ada Casandra akan mengamuk dan terjadilah perang dunia ketiga. Kulihat Ibu tersenyum puas melihat reaksiku barusan, heh! Ternyata Ibu mengerjaiku. Aisyah? Dia hanya melirik sekilas ke arahku, lalu kembali asyik menatap pemandangan jalanan dari balik kaca mobil. Apa asyiknya, yang dilihat cuma pohon. Ya ampun, hari ini adalah hari tersial untukku. Semoga aku bisa menyembunyikan Aisyah dari Casandra. Entah sampai kapan? Yang jelas sampai ia siap dipoligami. *** "Masuk!" Mataku mengerling tajam ke arahnya memintanya masuk ke dalam apartemen. Ini adalah apartemenku yang tidak diketahui Casandra. Bukan maksudnya menyembunyikan atau tidak jujur. Hanya saja, kadang aku butuh sendiri dan tidak ingin diganggu siapa pun, dan ini adalah tempat yang tepat. Aku pun ada rencana ingin memberikan apartemen ini sebagai kejutan untuknya, tapi nanti kalau apartemen ini sudah kudekor sesuai dengan hunian kesukaannya. Ibu awalnya juga tidak tahu kalau aku membeli apartemen lagi, dan lebih mewah dari sebelumnya, sampai akhirnya aku harus jujur karena di sinilah tempat aman untuk menyembunyikan Aisyah. Wanita dengan gamis muslimah tersebut masuk dengan langkah pelan. Ia mengedarkan pandangannya ke sisi depan ruang pertama apartemenku. Mengamati dengan mata takjub yang kutangkap dari ekspresi wajahnya. "Ini kamarmu. Maaf, aku belum siap sekamar." Kuarahkan ia masuk ke dalam kamar yang bersebelahan dengan kamarku. Dari ruang tamu langsung menuju kamarnya. Urusan tour ruangan belum bisa kulakukan karena rasanya terlalu lelah. Setelah menempuh perjalanan jauh, kami langsung ke apartemen ini. "Kita tidak sekamar?" tanyanya terbata. "Maumu kita sekamar?" Aku bertanya balik sembari melangkah mendekatinya. Ia mundur seolah takut kudekati. "A--aku ti–" "Aku butuh waktu karena pernikahan ini terlalu mendadak. Kurasa kau pun juga masih terkejut dengan pernikahan yang telah terjadi ini. Istirahat lah! Kamarku di sebelah." Kupotong ucapannya karena dalam mode malas berdebat. Apalagi badan terasa remuk karena terlalu lama duduk. Aisyah diam saja, kupikir ia mengerti. Jadi Kuputuskan pergi berlalu masuk ke kamar sebelah. Baru saja merebahkan diri tiba-tiba. "Aaaa …!" Teriakan dari kamar sebelah membuatku terperanjat dan meloncat cepat dari tempat tidur. Bergegas aku ke kamarnya Aisyah. "Ada apa?!" Mataku membulat melihat pemandangan di depanku ini. Aisyah basah kuyup hanya mengenakan kain jarik melilit di badan. Mirip seperti para gadis yang sedang mandi di sungai. Ini untuk pertama kalinya aku melihatnya tanpa pakaian kebesarannya. Dengan cepat kumatikan tombol shower yang menyala dan membuatnya kebasahan. "A--aku tadi mau mandi tapi bingung melihat banyak tombol lalu aku tekan yang ini dan muncul air dari atas." Dengan polosnya istri baruku ini menjelaskan kronologi kejadian yang sedang menimpanya sembari menunduk dan menyilangkan tangan ke d**a. Aku menghela napas berat. Ini cobaan menikahi gadis dari kampung. Dia gaptek teknologi. Mau mandi saja kebingungan. Lalu kujelaskan benda dan tombol apa saja yang ada di dalam kamar mandinya yang sekiranya membingungkan dan dia tidak tahu cara penggunaannya. "Paham?" Aku bertanya karena setelah menjelaskan panjang lebar, Aisyah hanya mengangguk pelan tanpa menatapku. Ia tetap menundukkan pandangan ke bawah, masih menyilangkan tangannya ke d**a. Kuambil handuk kimono yang memang sudah tersedia di dalam kamar mandi dan kupasangkan ke badannya. Aisyah mendongak, dan mata kami saling bersirobok. "Dingin. Pakailah." Setelah mengatakan hal tersebut, aku keluar dari kamar mandinya. Jujur, ada perasaan aneh saat bertatapan dengannya. Hal itulah yang membuatku segera memutus pandangan padanya. Ada magnet yang membuatku ingin sekali berlama-lama menatap manik mata itu. Indah, dan aku menyukainya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD