Seharian ini, yang ada di kepala Genta adalah mengapa Kanika terus menghindarinya? Tadi pagi bahkan mereka sempat bertemu lagi di lobby namun Kanika mempercepat langkahnya menghindari Genta. Ingin rasanya Genta menelepon Bhima dan menanyakan apakah Kanika pernah punya trauma dengan seseorang sehingga ia bisa menghindar dengan begitu mudahnya? Namun niat itu ia urungkan, terlalu cepat. Biar saja, Genta percaya bahwa Kanika akan bisa dekat dengannya secepatnya.
"Dokter Genta!!" panggil seseorang, Genta gelagapan.
"Eh, maaf-maaf, sus. Ada apa ya?" sahutnya sambil memutar kursinya, barusan ia tengah menatap ke luar jendela.
"Saya yang maaf udah bikin dr. Genta kaget. Itu dok, saya mau mengingatkan kalau jam 2 nanti dr. Genta jadi asistennya dr. Agung di operasi apendicitis*." jelas Suster itu salah tingkah.
Lha? Kenapa nih orang.
Genta berdeham sebelum menyahuti Suster di depannya ini. "Ekhem. Iya makasi ya, nanti saya langsung ke ruang operasi. Kasusnya juga udah saya pelajari."
"Baik dok. Kalau begitu saya permisi,"
Genta mengangguk saja saat suster tadi berlalu. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan membuka berkas pasien bedah appendix nya hari ini. Seorang gadis, berusia 16 tahun masih pelajar. Genta membacanya dengan seksama, menurut apa yang ia baca penyebabnya adalah karena terlalu sering mengkonsumsi mie pedas atau dengan kata lain, Samyang.
Genta semakin geleng kepala saat melihat medical record pasiennya ini yang ternyata beberapa bulan sebelum ia PPDS di sini juga baru menjalani endoskopi karena luka di lambungnya. "Hhh, semoga setelah ini dia kapok deh." gumamnya lalu menutup berkas di tangannya itu.
Jam sudah menunjukkan pukul 13.45 Genta segera beranjak dari kursinya dan berganti baju di ruang ganti. Seragam hijau khas ruang operasi menjadi seragam pegangnya setiap hari. Ia segera menuju ruang operasi 2 bersama dengan dr. Agung dan para suster, lainnya sudah siap di dalam termasuk pasiennya. Genta segera menstrerilkan kedua tangannya lalu Suster membantunya memakai jubah operasi juga handscoon.
Dan operasi di mulai setelah pasien tertidur karena obat bius mulai bekerja. "Scalpel," pinta dr. Agung.
Kani menelungkupkan kepalanya di meja. Ia baru saja kembali dari paviliun Anggrek, kamar nomor 3. Mengecek sejauh mana bukaan pasiennya kali ini. Ia lelah sekali sepertinya siang ini, kalau tidak sedang puasa mungkin Kani sudah menangis sekarang. Pasalnya, pasien yang tengah di tanganinya kali ini cukup galak. Kani dan Tiana habis sudah di maki-maki sejak tadi saat kontraksi melandanya.
Hhhh. Balada.
Sabar Kanika sabar. Ia terus menggumamkan kata itu di benaknya karena kalau tidak sabar-sabar sudah Kanika tinggal dan ia serahkan ke Bidan lain saja. Namun mengingat ia harus menerima dan menangani pasien dengan kondisi apapun dan segalak apapun, membuatnya harus mengurut d**a lebih banyak lagi.
Yaa, tipikal manusia berbeda-beda. Kanika dan Tiana tidak bisa menyamaratakan semua pasiennya seperti ibu-ibu lain yang tetap kalem saat kontraksi sedang kencang-kencangnya.
Fyuuh.
"Pusing abdi teh, Kani." keluh Tiana saat mendaratkan tubuhnya di samping Kanika yang masih menelungkupkan kepalanya di meja.
"Kenapa lagi, Ti?" gumam Kani.
"Yaa si ibu eta. Kayaknya ya, selama aku kerja di sini, baru kali ini dapat pasien begini." tatapannya nanar kedepan. Tiana lelah saudara-saudara.
Kanika bangun dan menatap Tiana."Kamu pasti nggak ikut KKN ke daerah waktu itu ya?"
"Nggak, aku dapat di Jakarta dong. Emang kamu ke daerah ya?" tanyanya.
Kanika mengangguk. "Dua kali bahkan. Tapi habis itu langsung ngelamar ke sini deh."
"Enak di sini apa di daerah?"
"Sama aja. Sama-sama dapat pengalaman dan ketemu orang-orang baru, ibu-ibu yang berbagai macam. Intinya, pekerjaan kita ini kan menyangkut nyawa manusia, selalu libatkan Allah dalam setiap langkah yang kita ambil. Insha Allah kalau kita juga ikhlas semua akan terasa ringan," jelas Kani, ia jadi mendadak ingat kata-kata Mama Nadia saat dirinya sedang tugas di luar kota dan menangangi Dahlia, si ibu cilik itu.
Tiana mendengarkan dengan seksama kata perkata yang keluar dari mulut Kanika. "Whuaa, bu Bidan bisa jadi ustadzah. Eh tapi bener juga sih, hehehe. Berarti kalau aku ngeluh, aku nggak ikhlas dong?"
"Just think about it. Kamu ikhlas apa nggak, semua itu kembali ke diri sendiri." tutup Kanika membuat Tiana mengangguk-angguk.
Entah paham apa nggak anak ini.
Menit berikutnya mereka berdua sudah di teriaki dr. Nadia untuk segera ke paviliun Anggrek, kamar 3. Yap, pasien tadi segera melahirkan. Kanika, Tiana dan dr. Nadia sudah sibuk dengan pasien mereka yang terlihat sudah mengerang kesakitan dan Suami yang menemani di sampingnya habis rambutnya di tarik-tarik sambil berteriak.
"Ibu, ibu tenang, jangan teriak-teriak ya. Nanti ibu malah nggak kuat ngejan." Kani mencoba selembut mungkin memberi tahu sang Ibu agak tak teriak-teriak.
"Diam kamu!!" hardiknya.
Kani bungkam seketika.
"Kamu belum pernah ngerasain sakitnya melahirkan, kan?? Hhhh.., aarghhh!!!"
Mama Nadia hanya melirik Kanika saja, ia tahu Kanika cukup kaget dengan pasien yang satu ini. "Ibu, yang tenang ya. Atur napasnya, ini bukaannya sudah sempurna, jangan ngejan sebelum terasa kontraksi ya?" ujarnya halus, si Ibu akhirnya berusaha tenang.
"Aggghh, sakit dok!!"
"Yuk, di rangkul pahanya, dibantu mbak Bidan, ya." perintahnya. Kani dan Tiana sigap membantu hingga proses kelahiran selesai.
.
.
.
Akhirnya selesai. Kanika dan Tiana bisa bernapas lega setelah ini. Mereka berdua ambruk di ruang istirahat mereka setelah cukup lama menangani partus* hari ini.
"Hhh, pegel." gumam Kani.
"Heum, sama. Kapan aplusan* sih. Mau pulang dedek ya Allah, mau bobok, mau buka puasa di kosan aja." lirih Tiana sambil glundungan di kasur.
"Sabar, udah jam 5 kurang bentar lagi pulang," sahut Kanika sambil beres-beres.
Tiana juga jadi ikutan bangun dan beres-beres barang di dalam tasnya dan memasukkan buku-bukunya. "Kamu udah di bentak gitu, tahan aja ya?"
Kanika tersenyum kecut. Tiana tak tahu saja kalau sejak tadi Kanika sudah menahan-nahan, kalau tidak ingat puasa mungkin ia sudah balik memaki, eh ngga ding, canda.
"Ya, kayak tadi aku bilang. Sabarin aja, melahirkan emang sakit, nanti juga kita ada saatnya ada di posisi seperti itu. Kita nggak tahu kan apa bakal jerit-jerit gitu atau bahkan berusaha tenang. Mungkin si ibu tadi juga udah berusaha tenang, tapi kontraksinya kelewat sakit jadi ya gitu reaksinya. Sabarin aja," jelas Kani sambil memakai jaketnya.
Tiana terdiam mendengar kultum sebelum buka puasa dari Kanika. "Dah, aku duluan ya. Assalamualaikum," pamitnya lalu keluar dari ruangan.
"Wa'alaikumsalam,"
.
.
.
Kanika berjalan menuju kantin, di sana ada toko roti yang enak cheesecakenya. Sepertinya untuk buka puasa hari ini cukup untuk menjadi self rewarding setelah apa yang di laluinya tadi.
Halah.
Kani mengambil nampan dan pencapit kue dan mengitari rak berisi kue dan roti yang masih harum tercium. Ia ambil satu slice cheesecake kesukaannya lalu beberapa kue lain juga roti untuk Mama dan Papa.
"Udah, cukup." gumamnya lalu membawa kuenya ke kasir.
"Berapa semuanya, mbak?"
Itu bukan suara Kanika. Kani menoleh ke samping kirinya, ada seseorang yang sejak kemarin sepertinya selalu menguntit dirinya. Dan dia juga membeli beberapa roti.
"Punya kakaknya ini semuanya jadi 47.000 dok," ucap si kasir.
"Eh, nggak usah. Ini mbak." Kani memberikan uang 50.000 di genggaman tangannya dan segera pergi tanpa mengambil kembaliannya.
Genta terpaku melihat Kani yang tiba-tiba pergi begitu saja. Apa dirinya salah? Padahal niatnya ia sekalian mau membayar kue yang Kani beli tadi. Genta hanya bisa menghela napasnya pasrah lalu membayar belanjaannya dan pergi dari toko roti di sudut kantin itu. Sebenarnya sejak tadi Genta sudah melihat ke mana Kanika pergi sejak perempuan itu keluar dari ruangannya, ia juga hanya acak mengambil beberapa roti tadi. "Mungkin belum waktunya aja kali," gumamnya lalu mengedikkan bahunya dan menuju ke parkiran.
Di lihatnya Kanika sudah berada di atas motornya dan siap pergi meninggalkan rumah sakit. "Sampai kapan saya harus lihat kamu dari jauh, Kanika? Kenapa kamu terus menghindar dari saya?" batinnya.
Genta masuk ke dalam mobilnya dan membawanya bersapaan dengan jalanan Jakarta yang macet di jam pulang kantor juga mendekati buka puasa seperti ini.
Brakk!!
"Tiiinnn!!!! Woyy!!" Genta menurunkan kaca mobilnya. Spion kanannya di tabrak orang. "Astagfirullahaladzim, sabar..., sabar." gumamnya saat melihat lecet pada mobil Ford kesayangannya ini.
"Nggak apa-apa lecet sedikit. Salah gue juga sih sambil ngelamun." batinnya lagi.
----
Partus : Melahirkan