Bab 2 - Sophie

1578 Words
Pulau Sambu, Kepulauan Riau. Terletak tidak jauh dari Selat Singapura. Pulau Sambu adalah sebuah pulau yang terletak dekat dengan Pulau Batam di Kepulauan Pulau-pulau lainnya. Namun pulau ini mempunyai penduduk yang cukup banyak penghuni dan mempunyai niai-nilai historis yang sangat tinggi. dulu. Selain itu ,juga pernah menjadi benteng pertahanan dari Belanda saat zaman penjajahan di Zaman dahulu. Pulau Sambu sengaja dibangun sebagai terminal minyak Pertamina pada tanggal 16 Agustus 1897 jauh sebelum Kota Batam berdiri. Selain sebagai terminal minyak Pertamina, Pulau Sambu juga merupakan Kota Tua yang kini berusia hampir 115 tahun. Kota bekas kecamatan di Kabupaten Kepulauan Riau ini, kini menjadi bagian dari wilayah administrasi Pemerintah Kota Batam. Beberapa bangunan tua yang dibangun oleh PT. Pertamina seperti menara selamat datang, wisma, Kantor Pos, gedung bioskop, rumah sakit Pertamina, serta beberapa prasasti telapak tangan para manager operasional Pertamina untuk Pulau Sambu, dan beberapa buah bunker minyak milik Pertamina. Itu semua telah menjadi sejarah. Kini hanya ada beberapa bangunan saja yang berdiri tegak seperti halnya satu Villa tua berlantai dua. Di lantai dua itu, di dalam sebuah kamar dengan ranjang dan dua kursi yang usang, ada seorang pria dewasa tengah memperhatikan seorang wanita dan pemuda yang tak sadarkan diri. Mereka ada di atas ranjang tersebut dengan pakaian basah. Sembari menghisap rokok yang baru dinyalakan. Ia menggenggam HT (Handy Talkie atau di Indonesia di sebut Walkie Talkie). "Cepat kemari, Dok!" panggilnya, berbicara dengan seorang dokter yang tengah berlari menuju lantai dua melewati tangga. Pria yang tengah merokok ini membawa pisau di pinggang kiri dan pistol di pinggang kanannya. Ia berjalan menuju pintu setelah ketukan terdengar, membukanya. "Masuk." Orang yang dipanggil Dokter itu berjalan masuk sembari menundukkan badannya.Ia menatap dua orang yang tengah tak sadarkan diri di atas ranjang. "Periksa mereka, pastikan agar tidak mati." "Tapi Tuan Aogan, tolong jangan sakiti saya jika mereka tidak selamat, saya mohon, karena, saya tidak bisa memastikan kalau mereka akan selamat." Pria itu menatap tajam Dokter yang bernama Edwin. Ia menghisap rokoknya sekali dan langsung menempelkan bagian terbakar dari rokok itu di kepala Dokter Edwin yang plontos mengkilat. Dokter Edwin menarik kepalanya ke belakang dengan sedikit meringis kesakitan. "Jangan membantah! Lakukan apa saja mauku!" "Siap, Tuan Aogan." Dokter Edwin berjalan membungkuk melewati Aogan dan mendekati dua orang itu. Ia memeriksa beberapa saat dari ke duanya, lalu menatap Albert Aogan sembari mengangguk. Isyarat kalau keduanya masihlah selamat. "Bagus--" Ia menjatuhkan rokok yang sudah habis, lalu menginjaknya. "--pastikan mereka tidak mati." Aogan melangkah menuju pintu dan membukanya. Ia keluar tanpa berkata apa pun, lalu menutup lagi pintu itu dari luar dan menguncinya, kemudian berjalan menuruni tangga sembari menyalakan sebatang rokok lagi. Di dalam ruangan, Dokter Edwin melihat sebuah tanda pengenal di pakaian keduanya. Ia memicingkan matanya dan mendekatkan kepalanya ke tanda pengenal itu .... ARI WINATA dan SOPHIE *** Satu jam kemudian, Ari Winata terbatuk, dari mulutnya keluar sedikit air. Pandangannya berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya, remang-remang pada awalnya sampai penglihatannya itu kembali normal. Ia langsung mengeraskan genggaman tangan kanan, lalu mengayunkannya dan mengarahkan ke muka dokter Edwin sampai teriakan dan cairan merah kental keluar. Edwin yang diketahui seorang dokter itu meringis memegangi pipi sebelah kanan, menahan sakit. Ia mundur hingga punggung beradu dengan tembok ruangan. "Siapa kau, hah?!" teriak Ari. Ia berusaha untuk berdiri. Namun, tubuhnya tidak mendukung. Pemuda yang dulunya tetangga Rikaz ini memegang kepalanya sembari meringis kesakitan, bahkan telinganya mendengung keras berulang kali. "Arrggh!" Ari menjerit sekuat tenaga dan saat setengah berdiri, tubuhnya kembali terjatuh ke lantai. Dokter Edwin mendekatinya perlahan, berhati-hati, tak mau jika ada sebuah pukulan menghujamnya lagi. Ia mengambil satu butir pil dari plastik bening, lalu mengulurkannya pada Ari yang terus meronta kesakitan. "Minum ini," ucap dokter Edwin saat Ari menerima pil itu. Ia lantas mengambil air mineral di dalam satu gelas yang telah tersedia di sebuah meja. Namun, pil yang sudah digenggaman Ari lantas ia buang, dirinya masih meringis sakit dan terus menatap seseorang di depannya. "Aku tak percaya dengan orang asing lagi!" "Itu obat untuk menyembuhkanmu ...," ucap dokter Edwin menarik napas, lalu diambilnya lagi satu pil di dalam plastik bening. Ia terdiam menatap seorang yang masih muda di depannya. "Arrrggghh! Kalau kau macam-macam, akan kupastikan kau yang pertama kubunuh!" Ancam Ari, tentu saja ia berperilaku seperti ini setelah apa yang dialaminya. Sementara dokter Edwin mengernyit melihatnya. "Lihat ...," ucap dokter Edwin sembari menunjukkan pil yang dipegangnya dengan telunjuk dan jempol. Ia lantas memasukkan obat itu ke dalam mulutnya, lalu meminum air putih seteguk untuk menelannya. "Lihat, kau harus percaya padaku ...." "Berikan padaku!" Ari merebut obat yang berupa pil itu, lantas mengambil lagi yang masih dalam kemasan plastik bening satu butir. Dimasukkannya oleh Ari dua pil ke dalam mulutnya dan dikunyah beberapa kali sampai lembut. Ia merebut air mineral di tangan dokter Edwin, lalu meminumnya. "Jangan terlalu ban--" "Diam! Aku sudah tak tahan!" seru Ari dan kembali meminum air mineral di gelas lagi. "Tolong ..., ambilkan satu gelas lagi ...." Dokter Edwin menurutinya dan diambilnya satu botol air mineral dengan merek yang tidak terkenal. "Terima kasih ...." Ari langsung meminumnya setelah membuka penutup botol, suara air yang melewati tenggorokan sampai terdengar. Ia mengatur sesaat pernapasannya, lantas menatap pria di depannya. "Di mana ini?" "Kau aman, ini di pulau Sambu, Riau," ucap dokter Edwin. "Pulau Sambu? Riau?" Ari memandang seluruh sisi dari ruangan ini, sampai ia mengetahui jika ada teman perempuannya, yaitu Sophie yang berada tepat di belakangnya, lalu segera memeriksa denyut nadi temannya itu. "Kau apakan dia?!" seru Ari menatap dokter Edwin sembari menunjuk Sophie dengan tangan kanan. "Entahlah, aku tak tahu menahu. Aku hanya di suruh untuk menyembuhkan kalian berdua ...." Dokter Edwin menggelengkan kepalanya. Ari mengernyit. "Ah, jadi kau seorang dokter?" Dokter Edwin mengangkat kedua bahunya. "Ya, begitulah." "Kalau begitu! Cepat periksa dan sembuhkan Sophie!" seru Ari, sedari tadi ia sedikit mendongak saat berbicara dengan dokter Edwin. Ia juga tak peduli akan orang di depannya ini yang nyatanya lebih tua beberapa tahun. Dokter Edwin mengangguk beberapa kali sebelum ia segara mendekati Sophie. Sementara Ari segera terduduk, bersandar di dinding pintu sembari memegangi kepalanya dengan kedua telapak tangan. Ia bisa saja menjadi gila jika tak berpikir jernih. *** "Bagaimana?" tanya Ari setelah Sophie selesai diperiksa. "Tak apa, hanya menunggu ia tersadar." "Kau yakin?" "Ya .... Aku sudah memberinya obat ...." Ari bangkit dari duduknya dan berbalik badan menghadap ke pintu keluar, ia memegang gagangnya, memutar, lalu mendorong serta menariknya, tetapi tak bisa terbuka. "Percuma, pintu itu dikunci dari luar," ucap dokter Edwin membuat Ari menghadap ke arahnya. "Kenapa dikunci? Apa kita ini tahanan?" "Bukan seperti itu. Aku tak tahu dengan pasti. Namun, yang jelas agar memastikan kalian sembuh dulu ...." dokter Edwin berucap sembari mengangkat bahunya. Ari berjalan mendekati dokter Edwin karena teringat akan sesuatu. Ia menatap dokter Edwin. "Kalau kami di sini, terus di mana teman-teman kami yang lain?" "Maaf, aku tak tahu tentang temanmu yang lain atau apalah itu. Kata Aogan, kalian ditemukan mengapung di lautan dan hanya ada kalian berdua, dalam artian yang lain tidaklah selamat, hanya ada mayat mengapung dengan luka bakar." Ari terdiam sesaat, berusaha mengingat saat terjadinya p*********n. "Saat itu kami sedang berlayar menuju singapura, berniat mencari seorang profesor atau entah apalah itu yang mungkin masih hidup." Sophie terbatuk, membuat Ari tak melanjutkan ceritanya. Teman perempuannya tersebut tersadar dari pingsan. "Minumlah ...," ucap dokter Edwin sembari memberikan sebotol air mineral. "dan ini, minumlah." Sophie menatap Edwin. "Mana yang lain!?" "Minum saja Sophie. Itu akan membuatmu lebih baik, itu hanya obat biasa." Ari mencoba menenangkan. "Ari? Di mana yang lain!? Kita di mana dan siapa orang ini!" seru Sophie dengan menunjuk dokter Edwin di kata terakhir. "Aku tidak tahu di mana mereka dan aku juga sama sepertimu, bingung," jawab Ari sembari menggeleng. "sepertinya kita ada di pulau Sambu, Riau." "Kami menemukan kalian terapung di laut." seseorang dari balik pintu berbicara. Suara seraknya cukup bisa untuk mengetahui bahwa ia seorang lelaki dengan tubuh tinggi serta badan berotot. Pintu itu terbuka, dan benar seorang bernama Albert Aogan yang tengah merokok muncul. Dokter Edwin, Ari, dan Sophie pun harus mendongak saat menatap wajah dari Aogan. Pria dengan tinggi sekitar 190 cm itu juga mempunyai berewok putih keriting tak terurus. "Kalian sudah sadar? Tentu, aku bisa melihatnya dan siapa nama kalian berdua?" tanya Aogan sembari menghisap rokok di sela-sela ucapannya. "Namaku Ari dan ini Sophie, lalu siapa kau?" ucap Ari balik bertanya. "Aku Aogan. Albert Aogan ...." ia mengulurkan tangan berniat bersalaman. Namun, itu tak diindahkan oleh Ari dan Sophie. "Kami tak kenal kalian dan bagaimana kami bisa percaya kalau begitu?" tanya Sophie tetap dengan sikapnya seperti dulu. "Terserah saja, yang jelas kami tak berniat jahat," ucap Aogan. "niat kami hanya menolong, itu saja, tak lebih dan tak kurang." "Berikan kami s*****a, terserah mau apa saja jenisnya, agar kami bisa percaya pada kalian." Sophie bangun dari duduknya berhadapan dengan Aogan. "Oh, itu saja?" Aogan menarik pistol dan pisau di pinggangnya, lalu menyodorkan kedua s*****a itu ke Sophie. Sophie menerima kedua s*****a itu. pisau diberikan ke Ari dan wanita yang masih merasakan pusing ini lantas memeriksa peluru di pistol yang ia pegang. Tanpa peringatan apa pun, Sophie langsung menodongkan ujung pistol ke arah dahi Aogan. Pria itu dengan tenang mengangkat kedua tangan. Ari yang memegang pisau lantas mendekap dokter Edwin dari belakang. Ia menempatkan bagian tajam ke arah leher, mengancam pria yang mengaku sebagai dokter. "Tenanglah, justru kalau kalian membunuhku, orang-orang di lantai bawah akan menghabisi kalian ...," ucap Aogan sembari mengangkat kaki kanan, berjalan satu langkah ke depan. "Berhenti!" seru Sophie dan Aogan lantas menurutinya. "Ka-kalian harus percaya pada kami ...." ucap dokter Edwin dengan matanya yang menatap pisau tajam yang siap menggorok lehernya. "Inilah pekerjaan kami, menolong orang yang masih selamat ...," ucap Aogan dengan senyum di wajahnya. "Diam!" bentak Sophie. "Tenanglah Nona, kalian boleh pergi jika sudah sembuh total dan .... Sepertinya kalian harus berganti pakaian, kalau tidak, itu akan membuat kalian kedinginan," ucap Aogan sembari maju lagi selangkah membuat Sophie mundur selangkah pula. "Diam di sana! Atau kubunuh orang ini!" tubuh Ari bergetar. Ia berkeringat dan tak sengaja sebuah goresan kecil mengenai leher dokter Edwin. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD