bc

OutbreaK II - Madness

book_age12+
110
FOLLOW
1K
READ
murder
revenge
friends to lovers
drama
mystery
monster
city
apocalypse
friendship
rebirth/reborn
like
intro-logo
Blurb

Akibat Praka dan Darius menghubungi orang asing lewat radio, kapal mereka mendapat serangan. Satu hal yang mereka tahu, ini adalah hal yang sangat buruk.

Mereka terdampar di sebuah pulau dekat dengan selat Singapura setelah kapal yang ditumpangi itu meledak. Saat terbangun, semuanya menyadari kalau mereka terpisah dan entah di mana.

Selain bertemu dengan orang-orang baru, tentu saja mereka berusaha mencari tahu keberadaan satu sama lain.

Dalam perjalanannya, nyawa menjadi taruhan. Dalam perjalanannya, rahasia besar yang terpendam pun muncul kepermukaan.

chap-preview
Free preview
Bab 1 - Rikaz
Tepat di salah satu pulau yang hanya sebesar lapangan sepak bola, di dekat selat Singapura. Dua hari sejak Kapal Praka Arsa diserang oleh kelompok yang tak dikenal. Tujuan Rikaz dan teman-temannya yang ingin menemui seorang Profesor pun gagal. Kelompok orang asing yang menyerang di selat Singapura itu berhasil menghancurkan kapal Praka Arsa menjadi rongsokan yang tenggelam. Rikaz diselamatkan oleh Praka dan Diaz. Mereka juga menyelamatkan Resha. Ada luka bakar di lengan Rikaz yang telah diobati Praka, untung saja ia membawa peralatan medis di kopernya. Kini, Rikaz hanya bisa terbaring lemas di atas ranjang, di kamar sebuah rumah sederhana, berbata merah di pinggir laut. Ia tak bisa mengenakan pakaian karena tubuhnya terbungkus oleh perban putih layaknya mumi. Diaz bahkan mengejek Rikaz tentang penampilannya yang seperti karakter jahat di anime Rurouni Kenshin, yah walaupun tak separah itu. Namun, Rikaz hanya badannya saja yang terbungkus, kepalanya masih bebas dengan sedikit luka. "Merasa lebih baik?" tanya Praka yang masuk ke ruangan di mana Rikaz terbaring lemas. Ia juga terkena luka bakar, tetapi tak separah Rikaz. Rikaz menatap Praka sebelum menjawab. "Yah, setidaknya lebih baik dari pada kemarin." "Syukurlah, jadi kita bis--" "Mencari Profesor!" potong Diaz yang masuk, berjalan bersama Resha. "kalau aku lebih baik mencari teman-temanku yang lain!" "Yah, aku juga ingin mencari teman-temanku," sahut Rikaz. Ia berusaha duduk sambil meringis karena perih jika badannya digerakkan. "Kalian sudah kuselamatkan, lagi pula aku tidak yakin teman-teman kalian masih hidup," ujar Praka. Diaz langsung mendekatkan wajahnya ke muka Praka dan ditatapnya tajam. "Apa kalian benar-benar polisi? kalian TNI?" dengan beraninya Diaz seperti itu dengan orang yang mempunyai selisih umur teramat jauh. Praka hanya menarik napas panjang, lalu mendorong pelan Diaz agar tak terlalu dekat dengannya. "Kenapa!? diserang seperti itu langsung tak berkutik. Polisi dan TNI macam apa kalian!?" kembali, Diaz membentak. Satu pukulan keras tanpa ragu menghantam muka bagian kiri Diaz. Ia mundur dua langkah karena kesakitan, lalu meludah, membuang darah dari luka di dalam mulutnya. Diaz mengepalkan tinjunya, melangkah cepat, lalu menghantamkannya ke wajah Praka, tetapi dapat dihindari. Pria itu memegang kuat lengan anak muda di depannya dan memelintirnya. Resha berteriak, berusaha memisahkan dan tak berhasil. Sementara Rikaz kini telah terduduk, lalu ia berdiri menahan rasa sakitnya, menghampiri Praka .... Bhakk! Pukulan telak dilancarkannya tepat di wajah Praka. Dilepaskannya lengan Diaz dan pria berseragam militer itu menatap Rikaz sembari mengusap bekas tinjuan. "Kau!" "Orang dewasa macam apa kau, hah!?" teriak Rikaz. Ia kembali duduk di ranjang, menahan rasa perih disekujur tubuhnya. "Aku yang mengobatimu!" Praka membentak. "apa kau tak punya rasa terima kasih dan malah memukulku demi bocah ini, hah!" "Aku menghargai bantuanmu, Tapi untuk hal ini, aku tak setuju! Apa semua hal harus diselesaikan dengan k*******n?!" Rikaz meringis merasakan perih. "Kalian in ...." "Diam!" teriak Resha, memotong ucapan Praka, membuat semuanya memperhatikannya. "Sampai kapan kalian mau bertengkar!?" Resha terlihat kesal. Ia berjalan keluar kamar, lalu kembali dalam beberapa detik "Berkat kalian semua, makhluk jelek itu datang,"  terang lagi Resha. "Ini gara-gara kau, TNI gadungan!" teriak Diaz. Praka menatap tajam Diaz, lalu menunjuk dirinya sendiri. "Salahku kau bilang!?" "Apa kalian tidak bisa diam?!" Resha mengambil tongkat sapu dan langsung memukul kepala Praka dan Diaz sampai berbunyi. "Tak masalah kalian berbeda pendapat, tapi di saat seperti ini lebih baik bekerja sama! tak ada untungnya kalian ribut hanya untuk membuktikan siapa yang paling benar!" "Ssstttt, mereka datang," ucap Rikaz. Ia mendengarnya, suara erangan yang begitu ramai itu semakin dekat dengan rumah ini. "Mereka takkan bisa masuk, aku sudah mengunci semua jendela dan pintu," ucap Praka sembari mengintip dari sela-sela jendela. "Baguslah ..., semoga memang mereka tak bisa masuk, kalau harus berlari, aku tak sanggup," jelas Rikaz dengan beberapa kali meringis, merasakan perih di sekujur tubuhnya. "Rik, kamu lebih baik membaringkan tubuhmu lagi," saran Resha. "Ya," sahut Rikaz. Ia berusaha untuk membaringkan tubuhnya, dibantu oleh Resha. Sementara, kini belasan zombie yang lapar itu tengah mengepung rumah bata merah ini, menggedor pintu dan jendela. Diaz mengintip dari sela-sela lubang jendela, dilihatnya zombie dengan wajah yang tak berbentuk lagi. Ia menjauh, melangkah mundur. "Sampai kapan mereka akan mengepung kita," keluh Diaz. "Sampai kita mati kelaparan," ucap Resha. "coba saja kalian tidak ribut tadi." "Sudah Res," ucap Rikaz, Resha menatapnya cemberut, "jangan salahkan mereka lagi." "Aku tahu itu, tapi kalau sudah begini, siapa yang punya ide agar mereka pergi?" ia menatap satu persatu dari mereka dan tak ada jawaban, "Nah, kan." *** Beberapa meter dari rumah yang terkepung zombie tersebut. Dua anak tengah bersembunyi memperhatikan. "Menurutmu, apa yang ada di dalam sana?" tanya anak si perempuan. "Gak tahu, binatang mungkin," jawab si anak laki-laki. "Bagaimana kalau manusia?" lagi anak perempuan bertanya. "Bagaimana kalau manusia binatang?" tanya balik si anak laki-laki. "Bodoh!" si anak perempuan memukul kepala anak laki-laki sampai ia meringis, mengusapnya, kesakitan. "mana ada manusia binatang!" Si anak laki-laki tersenyum. Ia mengambil sebuah lonceng di kantong celananya. "Biar aku yang mengalihkan perhatian mereka, oke?" *** "Kamu bisa?" tanya si anak perempuan. "Sudah, percaya saja sama aku ..., minggir sana, kalau mereka sudah pada pergi, periksa itu rumah." si anak laki-laki mendorong anak perempuan. "Eh ... jangan terlalu main-main sama mereka ya? langsung saja masukkan ke lubang." "Cepat pergi sana, percaya saja sama aku." anak laki-laki kembali mendorong, membuat anak perempuan terpaksa menjauh beberapa meter menuju salah satu pohon dan mengintip dari sana. *** "Kalian dengar suara itu?" Rikaz membuka matanya saat mendengar suara lonceng. "Suara apa?" Praka memfokuskan pendengarannya. "lonceng...." ucapnya saat sudah yakin. Diaz mengintip dari lubang pintu di ruang tamu. Sementara Resha juga memfokuskan pendengarannya. "Iya, tapi ..., siapa yang ada di pulau ini?" Resha kini ikut melihat keluar dari lubang kecil yang ada di jendela. Diaz kembali berkumpul, "Ambil s*****a, apa pun!" ia mengambil sebuah tongkat dari gagang sapu dan melirik lagi ke lubang kecil dari jendela. "Hah? kenapa?" tanya Praka. "lihatlah, makhluk ini semuanya pergi, siapapun yang membunyikan lonceng itu jelas telah menolong kita." Diaz tak mempedulikan ucapan Praka, ia berlari ke arah dapur, membuka semua lemari, mencari sesuatu untuk dijadikan s*****a dan ia menemukan pisau dapur dua biji. Ia membawanya ke teman-temannya. "Bawa ini untuk jaga-jaga ...," ucap Diaz, ia memberikan dua pisau masing-masing satu ke Rikaz dan Resha. Praka menatap mereka dengan tatapan tajam, ia kembali mengintip dari lubang kecil di jendela. "Mereka telah pergi," ucapnya, Praka. "kalian tak perlu menggunakan itu, siapapun yang melakukan itu pastilah orang baik." "Aku telah banyak dikhianati, kami telah kenyang dan tak akan tertipu lagi," ucap Diaz tanpa menatap wajah Praka. "kal..." Sebelum Diaz menyelesaikan omongannya, suara pelan ketukan pintu membuat mereka terdiam dan saling tatap. "kalian diam di sini ... akan kuperiksa." Diaz keluar dari kamar menuju ruang tamu, berjalan pelan dengan memasang pendengarannya, mendengarkan siapa yang mengetuk pintu. Praka tak membiarkan Diaz sendiri, ia mengikuti dengan pelan tepat di belakang. Tok ... tok ... tok "Siapa di luar?" tanya Diaz dengan pelan agar tak mengundang para zombie. Tok ... tok ... tok "Maaf, kami tak mempercayai orang asing begitu saja ...," ucap Diaz lagi. Tok ... "Minggir kalian berdua!" Resha mendorong Diaz dan Praka. Ia mencongkel papan yang telah rapat, kencang terpaku pada pintu depan rumah. Resha membukanya dan langsung menatap anak kecil perempuan berumur sekitar 13 tahun, dengan rambut sebahu. Ia memakai Hoodie biru dan memakai bawahan rok dengan panjang di bawah lutut. Tentu pakaian itu terlihat kotor dan kusut. Anak perempuan itu mundur beberapa langkah menatap Resha, terutama pada tangan kanan yang memegang pisau berkarat. Diaz dan Praka ikut melihatnya, "Siapa kau bocah!? di mana orang yang menyuruhmu?" Anak itu kembali mundur dan bersembunyi di balik pohon. "Diaz!" bentak Resha. "jangan begitu! Dia cuma anak kecil!" ia memberikan pisau itu pada Diaz. "biar aku saja yang mengurusnya ..., kalian diam di sini." "Ijinkan aku membantu ...." Praka berniat mengikuti Resha. "Biar aku saja! kau mengerti!?" Resha berjalan pelan dua langkah. "Namamu siapa?" tanya Resha, tetapi tak ada jawaban dari anak tersebut. Resha berjalan lagi beberapa langkah, "kami orang baik, kok ..., jangan takut." bujuknya lagi. "Untuk apa pisau itu?" akhirnya anak itu menjawab, tetapi balik mengajukan pertanyaan. "Untuk melindungi diri, kami tak membunuh manusia ..., kami berterima kasih dengan bantuanmu tadi." "Lalu, kenapa orang di belakangmu tadi membentakku?" "Jangan dengarkan dia, dia cuma curiga dengan orang asing, tapi aslinya baik." Resha kini semakin dekat dengan anak perempuan itu. "Woy!" sebuah teriakan dari jauh membuat semuanya menatap ke arah suara. "jangan ganggu Moniq!" Satu anak laki-laki seumuran dengan anak perempuan berlari mendekati, menggunakan celana pendek dan hoodie yang mirip dengan anak perempuan. Ia berdiri tepat di hadapan Resha, tangannya dibentangkan sembari menatap tajam ke arah Resha. "Jangan sakiti Moniq!" Wajah anak tersebut terlihat serius dengan gigi atas dan bawah yang beradu, pipi tembemnya membuatnya malah menjadi lucu. "Kami tak me ...." "Sudah Moris, mereka tak menyakitiku, aku hanya takut tadi ...." potong anak perempuan bernama Moniq sebelum Resha melanjutkan kata-katanya. Ia keluar dari balik pohon. Kini wajahnya terlihat mirip dengan anak laki-laki bernama Moris. "Sebentar ...." Moris berbalik badan, memeriksa tubuh Monic, ia mengangguk-angguk. "oke-oke, sepertinya memang tak kenapa-kenapa, tapi ...," Anak laki-laki itu berbalik badan lagi dan merentangkan kedua tangan. " Siapa kalian!?" Resha diam, menatap ke duanya sampai ia sadar bahwa mereka kembar. "Astaga, lucunya ...." Resha jongkok, berusaha menyejajarkan tinggi badannya dengan ke dua anak itu. "kalian kembar?" "Iiiihhhh! jawab dulu pertanyaanku! Kakak-kakak ini siapa dan kenapa di sini!?" BLETAK! pukulan itu tepat mendarat di kepala Moris, Moniclah yang melakukannya. Moris mengusap kepalanya. "Kenapa sih?" "Aku ingat sekarang, malam itu kami mendengar suara ledakan dan sumbernya dari arah tengah laut sana, itu kalian?" tanya Monic. "Kamu mendengarnya?" tanya Diaz yang kini mendekat bersama Praka. "Ya ...," jawab singkat Moniq. Masih mengusap kepalanya, Moris bertanya lagi. "Jangan-jangan kalian yang mengebom, ya?" "Bukan, kami han ...." "Kalian adalah orang jahatnya, kan?" Moris memotong ucapan Resha, jarinya menunjuk-nunjuk Resha, Diaz, dan Praka. BLETAK! "Bodoh!" ucap Monic setelah memukul lagi kepala Moris. "mana mungkin orang jahat seperti kakak ini, kita dibilang lucu padahal belum kenal seperti apa kita." Moris mengusap-usap kepalanya dengan mulut yang dimanyunkan. Ia kini diam tak berbicara lagi. "Aduh, lucunya kalian berdua ...." Resha tersenyum. Ia mencubit pelan pipi kedua anak itu. "mana orang tua kalian?" "Eh ..., gak tau," ucap keduanya bersamaan. "Kalian cuma bertiga?" tanya Monic. "Kami berempat, sayang," jawab Resha, kini ia berdiri. Moris dengan cepat berlari ke belakang Diaz dan Praka, membuat semuanya bertanya-tanya apa yang ia lakukan, sorot mata mereka mengikuti arah langkah kaki Moris. "Teman kalian masih di dalam, kan?" tanya Moris. "Iya, namanya Rik--" "Ada mayat hidup masuk ke rumah kalian ...," ucap Monic memotong ucapan Resha. Keduanya berlari ke arah pintu rumah, Resha dan yang lainnya juga tanpa pikir panjang mengikuti. *** Sebelum Resha dan lainnya masuk ke dalam rumah. Rikaz sudah keluar dengan berlumuran darah di tubuhnya, napasnya tersengal dengan tangan kanan yang memegangi gagang pintu, ia menatap yang lain sembari menggeleng. Resha langsung menghampiri. "Kamu tak apa Rik?" "Yah, aku hanya butuh istirahat setelah membunuh dua mayat itu," jawab Rikaz sembari duduk bersandar di tembok sebelah pintu. Moris mengernyit. Ia penasaran dengan pria yang berbalut perban hampir di seluruh tubuhnya ini. "Kakak ini kenapa?" "Terbakar ...," jawab Praka. Ia berdiri di paling belakang dengan mata yang selalu waspada akan sekitar, tangannya bersedekap. Moniq mendekati Rikaz sembari memberi sebotol air. "Ini, buat Kakak." "Moniq! Itukan minuman kita!" seru Moris. "Kita masih punya banyak di rumah, ya kan? Ini buat Kakak ini." Moniq tetap memberikan botol itu sembari tersenyum. Rikaz memperhatikan Moniq dan menerima botol minum itu. "Terima kasih." Diaz langsung saja masuk ke dalam rumah. Ia menggeret keluar satu mayat hidup yang telah mati secara susah payah. "Harus kuakui Rik. Kau memang hebat, walaupun dua mayat tadi memang telah membusuk dan tenaganya tak lebih dari hanya sekadar mayat yang membusuk." Rikaz hanya tersenyum kecil sembari meminum air dalam botol yang ia pegang. "Tetap saja mereka itu tak punya rasa lelah. Kalau aku lengah, mungkin aku mati." "Kakak tidak tergigit, kan?" tanya Moris dengan sedikit mundur. "Ah, ak--" "Tentu saja ia tidak tergigit. Lihat saja, kan?" potong Resha dengan senyuman, lalu sedikit melirik Rikaz, memberi sebuah kode. "Syukurlah. Soalnya aku dan Moniq pernah melihat orang yang tergigit, mereka mati, lalu hidup lagi dan menyerang kami. Kami takut dengan mayat hidup yang baru, mereka lebih gesit." Moris masih memandang tubuh Rikaz dengan curiga, tetapi ia kemudian yakin kalau orang di depannya ini memang tak tergigit. "Kalian punya tempat tinggal? Kami begitu lapar, adakah makanan di sana?" tanya Diaz setelah selesai mengeluarkan mayat hidup tak berdaya. "Ya. Kami tinggal di sana, di balik pepohonan itu ...," ucap Moniq sembari menunjuk ke arah belakang rumah. "Kalian hanya berdua, kan?" tanya Praka. Ia masih waspada akan hal yang tak terduga bisa saja terjadi. "Kami berdua, kok." Moris tersenyum. Sementara Rikaz sedikit memperhatikan tingkah anak kecil laki-laki di depannya ini. Moris terlihat menyembunyikan sesuatu, tetapi entah apa itu, dari gelagatnya saja Rikaz dapat membaca, apalagi seorang anak kecil yang tak pandai berbohong. "Boleh kami ke sana?" tanya Resha. "Kami akan senang. Setidaknya kami ada teman orang dewasa lagi ...." Moniq bersemangat. Ia disenggol oleh Moris dan tak memedulikannya. "Ayo, sebelum gelap kita harus sudah di sana, lebih aman." Moniq berjalan lebih dulu, di ikuti oleh Moris yang menyejajarkan langkah dan berbicara dengan pelan. "Apa yang kau lakukan?" tanya Moris. "Membantu mereka, memang salah ya?" jawab Moniq yang berbalik bertanya. "Bukan, tapi kalau mereka tahu bagaimana? Nanti--" "Sudah diam, mereka takkan tahu." jawab Moniq. Ia kemudian berbalik badan dengan terus berjalan. "Lewat sini ...." Resha mempercepat langkah sampai sejajar dengan dua anak kembar itu. Ia tersenyum saat Moniq menatapnya. "Namamu, Moniq?" tanya Resha. "Iya, Nama Kakak?" "Resha. Oh iya, dulu Kakak punya adik yang mirip denganmu ...." "Ke mana sekarang adik Kakak itu?" "Sudah tenang di sana." Resha tersenyum. Moniq menundukkan pandangannya. Sementara Moris tak mendengarkan perbincangan kedua orang di samping kanan dan kirinya ini. "Oh. Maaf aku  bertanya  seperti  itu," ucap Moniq. "Dia meninggal sebelum semua ini, kok, lagipula Kakak malah lebih senang kalau dia tak merasakan dunia sekarang," jawab Resha sembari terus berjalan sesuai arahan di mana dua anak di samping kirinya. "Hei! Belum sampai juga?" tanya Praka Arsa. Ia masih menatap ke sana ke mari, waspada. "Sebentar lagi ...," ucap Moris dan memang setelah berjalan melewati beberapa pohon, terlihat sebuah rumah besar bercat putih dengan dua lantai. Mereka berhenti tepat di depan rumah tempat tinggal Moris dan Moniq. Semuanya menatap, memperhatikan dengan saksama, cukup besar untuk di huni oleh dua anak kecil.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

AHSAN (Terpaksa Menikah)

read
304.4K
bc

Wedding Organizer

read
47.0K
bc

Dependencia

read
186.9K
bc

Broken

read
6.4K
bc

The Ensnared by Love

read
104.1K
bc

Kamu Yang Minta (Dokter-CEO)

read
293.1K
bc

DIA, SI PREMAN KAMPUSKU ( INDONESIA )

read
471.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook