BMF - 1

1550 Words
Satu Aku memasukkan pouch terakhir yang berisi perlengkapan mandi ke dalam ransel. Aku menatap kesal pada Bundaku yang masih setia menatap layar ponselnya. Bahkan saat tangan Ayahku mendarat dengan pasti pada puncak kepala Bunda. “Ada apa sih di hp? Diliatin mulu dari tadi,” omel Ayahku. “Ini, Yah, lagi chat sama Kak Vira. Yang teman w*****d aku, yang rumahnya di Bali. Dia bilang mau nemuin Nala ntar pas udah di Bali. Kamu mau ya, La?” Bunda menatap ke arahku. “Ck.. apa deh bun. Males ah gitu-gituan,” desahku. Menutup risleting ranselku. “Tau nih Bundamu, kayak kamu ini gak laku aja.” “Ayah apa lagi! Bukannya Ayah sendiri yang bilang, gak usah mentingin cowok. Malah ngatain aku gak laku.” “Lah, Ayah kapan bilang gitu?” “Ck..” Aku berdecak sebal sambil menggendong ranselku. “Yuk anter ke sekolah, udah jam 11, bisnya jam 1 berangkat, Yah.” Ayahku beranjak dari duduk, Membangunkan Ace (bacanya Eeza, gini nih susahnya punya Ayah suka anime) adik lelakiku yang baru berusia sembilan tahun. “Ace buruan bangun deh. Jadi ikut nganter Mbak Nala ke sekolah, gak?” Aku menggoyangkan tubuh kurus Ace. Adikku bangun. Langsung duduk dan memeluk Bunda. “Eh, Bunda gak ikut nganter mbak Nala, Dek.” Bundaku mengusap punggung Ace. “Ace tau kok. Ace cuma pengen peluk Bunda aja. Empuk.” “Dih, mentang-mentang Bunda gendut,” gumamku. “Nala!!!” pekik Bunda. “Maaf Bunda,” kataku sambil menyengir. Bis pariwisata di sekolahku berangkat pukul satu lewat lima belas menit siang, setelah para lelaki selesai Jumatan. Aku mendapat kehormatan duduk di antara dua teman baikku, Najwa dan Nadin. Najwa dulu tetanggaku di rumah Yangti (nenek deri Bundaku), dan Nadin luar biasa juga sama adalah tetanggaku di rumah eyang(nenek dari Ayahku). “Kamu masih mikirin Mas Adam, La?” tanya Najwa. Ah dia kebetulan tahu kisahku dengan Mas Adam, lelaki yang selama lima belas tahun kukagumi. Aku dan Najwa teman satu SMP. Aku menghela napas, lalu menggeleng. “Dia, selain kata bulekku udah pindah rumah, juga udah gak ada di Jawa lagi. Dia meraih mimpinya jadi pemain sepak bola di ibu kota sana, Wa,” jawabku dengan raut datar. “Aku penasaran, emang si Adam ini ganteng banget apa? Sampai Nala susah banget move on.” Nadin ikut bersuara. “Sampai itu para kakak kelas dulu dicuekin Nala.” “Mas Adam sih, gak ganteng banget. Biasa aja, tapi ya gimana ya Din. Nala itu udah klop aja dari bayi sama si Mas Adam ini. Mas Adam juga so sweet banget sama Nala, Din. Di--” “Wa, stop!” Aku menyela ucapan Najwa. “Udah Ah, jangan bahas Mas Adam mulu, ntar kesleo aja tuh kakinya Mas Adam pas lagi main bola.” Aku melirik tajam pada Najwa. Gadis tinggi dan berisi dengan rambut sebahu itu tersenyum nyengir. “Keceplosan, La. Maaf.” “Ada foto gak, Wa?” Nadin masih belum menyerah. “Dih, kalau aku gak punya, Din. Ngapain aku save foto gebetan temen?” “f*******: dia deh, apa i********:?” “Adam ini kayak Ayahnya Nala, Din. Anti media sosial.” “Ck, gak bisa diem, aku pindah di depan nih,” ancamku. “Di depan di mana? Di pangkuan Pak supir? Ieewwhhh..” Nadin mengejek. Namun aku malah tertawa. Selama 17 tahun lebih aku berada di muka bumi ini, ini adalah rekor terlama, aku betah di dalam kendaraan. Lebih dari 12 jam cuma duduk di dalam bus. Hanya tiga kali aku turun dari bus untuk shalat. Dan saat ini sudah hampir subuh, katanya udah mau sampai ke tujuan wisata pertama, Tanah Lot. Aku mengecek ponselku, di mana pop up w******p kembali muncul, dari Bunda. Bunda : Jangan lupa doa pas mau masuk wisata. Nanti sampai di penginapan, langsung kabari Bunda ya? Biar Bunda bisa langsung cuss WA Tante Vira. Dih, Tante Vira lagi. Siapa sih Tante Vira ini? Vira-l banget apa? Nala : Beres, Bun. Kangen bakwan jagung Bunda already huhuhu :( Sent. Centang satu, centang dua. Biru. Bunda : Ini dong bakwannya Bunda. Aku mendengus kesal saat melihat Bundaku dengan jahat mengirim foto bakwan. Bunda : Pokoknya jangan lupa, langsung WA Bunda begitu udah sampai hotel. Aku mengabaikan pesan Bunda. Memasukkan ponselku pada ransel. Bawel banget dah ini Bunda satu. BALI IS AMAZING. Gak salah, banyak artis luar negeri yang rela jauh-jauh ke Bali. Gila!! Bali memang bagus banget. Gak salah juga kali ya, Bundaku jodohin aku sama orang bali. Loh kenapa jadi gitu? Aku pernah, memergoki Bundaku yang menjerit saat sedang melihat ponsel. Hanya karena artis idolanya main ke Bali, dan Bunda, meski ada waktu dan uang untuk ke Bali, tetap memilih stay di rumah untuk mengetik naskahnya di laptop. Jadiin cerita, banyak yang suka, jadiin buku, dapet duit. Juga karena Ayahku yang kerja lembur bagai pepsoden. Lalu hari ini, semi Allah, Subhanallah, Ma syaa Allah, Bali memang indah banget deh. Pantainya ada banyak, tapi kesemuanya gak pernah gagal bikin aku berdecak kagum sembari mengucap Subhanallah, Ma syaa Allah. Tadi setelah dari di Tanah Lot, kami mampir sarapan. Lalu ke tempat wisata selanjutnya. Dan berakhir sore ini kami ke Garuda Wisnu Kencana. Gila! Itu rumputnya hijau banget kayak mata Bunda sehabis dapat uang belanja dari Ayah. Bicara soal Bunda, wanita bawel itu mengirimiku pesan lagi. Bunda : Udah di penginapan, La? Aku kembali mendengus kesal saat membuka pesan Bunda. Tanpa berniat mengetik, aku malah mengirim foto patung Garuda besar pada Bunda. Bunda : Jangan pisah rombongan La. Yakali bun. Emang Nala ini gak mau makan bakwan Bunda lagi, kalau sampai tersesat. Bunda : Bunda udah bagi nomor kamu dong ke Kiyo. Aku mengerutkan kening, “Kiyo siapa lagi?” “La, ayo foto bertiga,” ajak Nadin. Tanpa menunggu aku menjawab, dia sudah mengarahkan kameranya pada kami, aku, Najwa, dan Nadine. “Say cheese,” perintah Nadin. Pukul setengah sembilan malam, aku sudah berhasil meng-habiskan makan malamku. Aku bergegas menuju kamar mandi di hotel tempatku menginap, untuk gosok gigi. Hanya beberapa menit, lalu aku keluar lagi, menyilakan kaki di atas kasur. Mena-tap Najwa dan Nadin yang masih berselfi-ria. Bunda : Gimana La? Masak belum nyampe hotel juga? ASTAGHFIRULLAH. LUPA BUN. Aku menepuk keningku keras. Membuat dua temanku itu menatapku ngeri. “Ada nyamuk, La?” tanya Najwa polos. “Awas itu kening entar resign aja jadi kening, kalau kamu teplok segitu kerasnya.” Nadin menambahi. “Awas aja kalian, foto-foto terus berdua, ntar tiba-tiba hasil-nya jadi bertiga aja.” Aku berucap asal. Sedetik setelahnya... ”NALAA!!” teriak Nadin dan Najwa. Sungguh aku menyesal mengucapkannya. Karena jelas saja, pekikan dari Nadin dan Najwa membuat hpku langsung merosot jatuh. Nala: Udah sampai bun. Lupa tadi wa Bunda. Abisnya batre Nala abis. Buat poto-poto. Sent. Centang satu. Centang dua. Biru. Bunda : Oke, abis ini Tante Vira kesana. Sama anaknya, yang Bunda bilang mau Bunda jodohin sama kamu itu, La. Kamu yang sopan ya. pakai baju yang sopan. Nanti Kiyo wa kamu kalau mereka udah di lobi. Dulu Bunda pengen banget nemuin kalian langsung, tapi gak pernah sempet. Aku masih mencoba mencerna pesan Bunda. Ya Allah bun, Tante Vira ini siapa sih? Kiyo siapa? Dan kenapa Bunda jodohin Nala sama Kiyo? Lalu ada pesan masuk dari nomer asing. +62819991134567 : Nala? Aku Kiyo, aku sama mama udah di lobi hotel tempat kamu nginep. Kamu bisa keluar? Aku pakai hoodie hijau armi. Lah, ini siapa lagi? Kenal sama aku pula. Baru aku akan mengetik balasan, Bunda menelponku. “Assalamualaikum, La. Kamu udah ditungguin di lobi. Buruan turun.” Itu suara bundaku. “Waalaikumsalam, iya bun. Nala turun. Tapi Tante Vira ini siapa?” “Udah turun aja. Yang Bunda dulu pernah cerita, mau Bunda jodohin ke kamu anaknya.” “Hah?” Aku cuma melongo. “Buruan, Nduk!!” Lalu panggilan terputus, dengan aku yang masih melongo. “Bundamu kenapa, La?” Itu suara Najwa. “Aku ke bawah bentar, Wa, Din. Ada temen Bunda di bawah.” Aku beringsut menuruni kasur. Meraih jaketku dan menyembunyikan rambutku dibalik hoodie. Lalu, disinilah aku sekarang. Berdiri tercekat menatap cowok itu. Tingginya mungkin lima belas senti di atasku. Dengan hidung mancung, rambut cokelat gelap nan messy. Dan kedua mata sipit itu, menatapku dengan binar bahagia. Seperti baru menemukan harta karun. Cowok itu tersenyum, mengeluarkan tangannya yang sedari tadi ia masukkan di saku hoodie. “Nala ya? Aku Akyo, panggil Kiyo aja,” katanya ramah. Aku menatap tangan putih itu ragu. Lah gila, sehari manas di pantai, bikin aku jadi item apa gimana nih? Masa aku kalah putih sama dia, yang udah dari bayi ada di Bali. Aku membatin. “Iya,” ucapku akhirnya. Membalas uluran tangan hangat cowok itu. “Salam kenal.” Cowok itu terkekeh pelan, melepas jabatan tangan kami. “Formal banget deh pakai salam kenal segala.” Aku menyengir. Bingung. Ya Allah bun, hati Nala. “Mamiku nunggu di restoran depan hotel, yuk,” ajaknya, mengedikkan bahu pada jalan raya di depan. Aku menatap Kiyo ragu. “Kalau kamu gak percaya, tuh.” Kiyo menunjuk restoran di depan hotel. Di mana ada wanita dengan rambut panjang yang melambaikan tangan pada kami di dalam restoran yang full kaca itu. “Itu mamiku,” kata Kiyo. “Kenapa gak di sini aja?” “Kamu gak lihat, lobinya penuh?” Iya sih. Aku menggigit bibirku. “Yaudah, ayo.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD