The First Night

1678 Words
Derasnya hujan yang turun memecah heningnya rumah kami. Tidak ada suara televisi ataupun lagu-lagu pop yang sering aku putar di kala bisingnya hujan. Aku duduk menyilangkan kaki di salah satu kursi tunggal sambil memfokuskan diri pada ponsel. Kak Lex tengah berbincang dengan Kak Ines mengenai usaha mereka. Dan Darrel, ia tengah membersihkan dirinya di kamar mandi. “Kamu nggak kasih pinjem baju buat Darrel?” tanya Kak Ines kepada Kak Lex. Tanpa melihat pun, aku tahu mereka pasti tengah menatapku sekarang. Aku baru tahu jika mereka berdua tidak ada niat kemari hari ini. Ketika Kak Lex berbasa-basi dengan Darrel tadi, dia bilang mereka hanya mampir karena tiba-tiba hujan. Belum sempat Kak Lex memerintahku, aku segera beranjak menuju kamarnya. Aku benci saat ada yang menyebutku istrinya. Aku mengobrak-abrik lemari pakaian Kak Lex sebelum mendapatkan kaos oblong biru muda berlengan panjang itu. Baju itu adalah baju yang kubelikan untuk Kak Lex sebelum dia menikah dulu. Karena bajunya disimpan di sini, baju ini hampir tak pernah ia pakai.  Aku membanting pintu lemari dengan keras. Menggumamkan kekesalanku pada kamar ini. Untuk apa aku membersihkan kamar ini saharian? Aku bahkan tidak menempatinya. Tunggu, aku mengerti sekarang. Aku mengerti kenapa ayah menyuruhku menata kamar kakak padahal mereka tidak berencana menginap di sini. Sial, kenapa aku baru sadar sekarang.  Aku keluar dari kamar Kak Alex dengan membawa sehelai kaosnya. Tidak lupa aku menutup pintu keras-keras untuk melampiaskan kekesalanku. Sekilas aku melihatnya menggeleng prihatin. Biarlah, aku memang pantas dikasihani.  “Aku bawa baju ganti, butuh nggak?” teriakku dari balik pintu setelah mengetuk beberapa kali.   “Iya sebentar.” Sahutnya. Sesaat kemudian ia mendongak mengeluarkan kepalanya dari balik pintu sambil menjulurkan tangannya. Meskipun begitu, sebagian tubuh bagian atasnya masih terlihat, menunjukkan otot-ototnya yang menandakan ia sering berolahraga. Tanpa tersenyum aku meletakkan kaos itu di atas tangannya dan berbalik.  “Cuma ini?” tanyanya. Aku lupa, aku lupa membawakan celana untuknya.   “Maaf, Kak Lex nggak punya celana panjang. Yang panjang cuma celana levis yang pasti nggak muat buat kamu.” Aku beralasan mengingat badan Kak Lex yang memang kalah besar. Segera aku melangkah lagi.  “Bukan itu maksudku.” Katanya lagi membuat aku mengurungkan niatku. Kini aku berbalik sambil memicingkan mata. “Apa?” tanyaku terdengar kasar dan menantang. “Emh,... itu, emh....” Ia menggerak-gerakkan kepalanya seakan memberi isyarat tapi aku tak mengerti. “Ah,... sudahlah!” katanya pasrah melihat kebingunganku. Aku baru sadar ketika ia menutup pintu lumayan keras. Dia butuh pakaian dalam. “Pakai aja yang ada. Kalau nggak terima cari aja di lemari Kak Lex. Itu juga kalau ada.” Kataku dari balik pintu. Tidak mungkin ia tidak mendengar suaraku. Aku sudah seperti orang jahat atau mungkin aku memang telah menjadi jahat. *** Judulku malam ini adalah marah. Iya, aku marah hanya gara-gara Kak Lex melarangku ke tempat Kak Arley. Aku marah karena tiba-tiba saja melihat Darrel yang seminggu menghilang berada di rumahku. Aku marah karena ayah dan bunda tidak memberi tahu jika Darrel akan datang. Dan aku marah bahwa semua ini adalah kenyataan. Suara obrolan dari ruang tamu sedikit demi sedikit mulai lenyap. Di awali Kak Ines yang mengaku mengantuk, disusul bunda dengan alasan sama. Dan sekarang ayah yang mengundurkan diri dari obrolan mereka, meninggalkan dua pasang mata yang tengah berbincang. Lirih terdengar suara Kak Lex menyebutkan nama Kak Arley. Apa yang tengah mereka bicarakan? Karena penasaran, aku melepas headphone yang terpasang di telingaku. Ya, sedari tadi aku hanya duduk disini. Di depan meja belajar sambil menonton film dari layar laptop. Aku mempertajam pendengaran namun tak ada suara lagi. Tiba-tiba saja aku dikagetkan oleh ketukan pintu kamar yang sesaat kemudian memunculkan sosok pria rupawan. Memang dia sangat tampan. Mungkin jika kami tidak menikah dan berkenalan layaknya orang lain, aku tidak menjamin jika tidak jatuh cinta padanya. Namun sayang, kami telah menikah dan aku benci kenyataan itu. “Ada apa?” tanyaku kasar meletakkan headphone yang masih ada di tanganku. “Aku tahu sebenarnya tanpa izinmu pun aku akan tidur di sini. Tapi, karena aku pria yang sopan, aku akan bertanya, bolehkah aku tidur disini?” pertanyaannya seakan membaca pikiranku. Aku memang benci diganggu. Aku benci ketika ada orang asing masuk ke wilayah kekuasaanku, kamarku. Bahkan sejak kecil jika Kak Lex kemari tanpa tujuan yang jelas, ia langsung kuusir dari kamar mungil ini. “Kenapa tiba-tiba kamu datang?” tanyaku datar. Apa pertanyaanku salah? Kurasa tidak. Matanya menyapu setiap sudut kamarku, mengabaikan pertanyaanku. Oke baiklah, kamu mengabaikanku dan aku akan mengabaikanmu. Bukan hal yang sulit untuk Aiya Salsabila untuk menjadi dingin. “Kamar kamu penuh, ya?” “Sudah lihat penuh masih tanya.” Jawabku dalam hati. Aku yang dingin ini segera mengenakan headphone kembali. “Ai, please. Jangan abaikan aku. Aku tahu kamu marah dan benci sama aku karena kita orang asing. Tapi, sampai kapan kita akan menjadi orang asing.” Jangan abaikan aku? Bukankah dia dulu yang mengabaikanku? Kemana dia seminggu ini? Tiba-tiba muncul dan membuat mendung tepat di atas kepalaku. “Kamu tahu apa yang aku lakukan seminggu ini kan? Aku selalu memberimu kabar tapi kamu yang selalu mengabaikanku.” Mengabaikan? Meski aku tak mengangkat telponnya aku membalas pesannya dengan emotikon dan stiker. Sekedarnya. “Ai!” serunya lagi. Darrel yang selalu santai terlihat dramatis malam ini. “Ai, aku mohon jangan abaikan aku. Kita harus saling kenal untuk bisa nyaman.” Aku melepaskan headphone yang kupakai, menarik nafas dalam dan mengatur emosi. “Saling kenal? Aku pikir disini ada kesalahan pengurutan. Bukankah seharusnya itu dilakukan sebelum... pernikahan.” Akhirnya aku membuka mulut. “Menyesal setelah gegabah menikahi gadis jelek sepertiku? Apa kamu pikir aku sekretarismu sampai mengirimi pesan semacam itu?” “Maaf, sekali lagi maaf karena gegabah. Dan maaf karena aku tidak menyesal menikahimu. Dan lagi, aku tidak menganggapmu sekretaris atau lainnya karena kamu sendiri tidak mau terlibat apapun denganku.” “Dan nyatanya aku telah terlibat denganmu.” Sambarku kemudian, memalingkan wajah kembali ke laptop. Mengutak-atiknya dan mencoba mengabaikan keberadaan Darrel. “Jadi, bolehkah aku menginap disini?” tanyanya lagi. Aku bingung mau menjawab apa. Apa aku harus menyuruhnya pulang semalam ini? Tidak mungkin juga aku membangunkan ayah atau Kak Lex dan meminta mereka tukar tempat. Aku juga tidak bisa menyuruhnya tidur di bawah karena di lantai kamar penuh tumpukan buku dan kardus-kardus yang tidak lain adalah buku. Kenapa aku tidak memikirkan hal ini sedari tadi? Aku mengacak frustrasi rambut yang ku gulung sembarang. Aku tahu dia suamiku dan kami telah sah untuk sekedar bersama, tapi aku tidak mau. Aku menatap tempat tidurku yang sama mungilnya dengan kamar ini. Jadi ini alasan ayah menyuruhku merapikan kamar kakak, Darrel akan menginap. Aku menatap tempat tidur berseprai hijau tua yang terasa hangat itu. Benar-benar membuatku tak rela mengatakannya. “Silakan!” kataku. Senyum kecil di wajah Darrel menambah porsi ketampanannya. “Aku akan tidur di luar.” Tambahku. Senyumnya hilang seketika saat mendengar kalimat berikutnya. Tak apa lah aku tidur di kursi. Aku pernah tidur di luar berkali-kali semalam penuh. Tepatnya, ketiduran semalam penuh. “Tidak! Jangan!” kata Darrel tegas. Ada kelegaan di hatiku. Darrel bukan orang yang setega itu membiarkan gadis kecil ini tidur di luar. Aku menunggu kalimatnya selanjutnya. “Biar aku yang di luar.” Aku menunggu kalimat itu, tapi dia malah berjalan menuju pintu. Memutar kunci yang ada di kenop ke kiri dan menariknya. Ia menguncinya, memasukkan kunci itu ke dalam saku training milik ayah yang kekecilan. “Aku bukan tamu di sini. Aku adalah bagian keluarga ini. Maaf, mau tidak mau aku akan tidur disini.” Kata Darrel seraya membenamkan dirinya ke tepi tembok. Aku mengernyitkan dahi. Sudah banyak kali dia meminta maaf dan aku belum memaafkkannya sekalipun. Aku mendorong paksa kursi yang kududuki ke belakang sehingga menimbulkan suara gesekan yang lumayan keras—semoga yang lain tidak mendengar—berdiri dan menatap tajam kearah punggung Darrel. “Tenang, aku akan tidur serapi mungkin, tidak bergerak sebisa mungkin dan menggunakan tempat sesedikit mungkin.” “Apa? Tidak bergerak? Sesedikit mungkin? Tubuhmu saja memenuhi seluruh tempat.” Protesku. Kakinya saja sudah menyentuh ujung tempat tidur. Jelas aku tak terima. “Aku selalu tidur di dekat tembok.” Tambahku. Benar, jika aku di tepi maka bisa saja aku terjatuh saat tubuh besarnya sedikit saja bergeser. Ia membalikkan badan dan berkata, “Baiklah, mau disini?” tanyanya denga suara mengejek. Dan setelah ku pikir lagi, lebih baik jatuh berkali-kali daripada sesak napas karena tak bisa bergerak. “Tidak, tidak jadi.” Kataku kembali dingin. Sepertinya aku tidak sedingin ini ketika bertemu dengan Darrel sebelumnya. Entahlah. Aku kembali duduk di kursiku menatap layar laptop itu. “Aku siap untuk sakit hati tapi aku tidak siap untuk jatuh cinta.” gumam Darrel dari balik selimutku. Apa? Selimutku? Dan omongan macam apa yang dibicarakannya? “Dua enam, nol tiga, lima belas.” Bukankah itu hari ulang tahun Kak Arley? Ha! Dia membaca coretan-coretan di tembok. “Terkadang kita malah tidak bisa mengatakan apa yang ingin kita katakan. Aku setuju sama yang ini.” Bahkan kali ini ia berkomentar. “When Ai feel preety, of course there something that make me feel down.” Ia berhenti sejenak ketika mendengar deritan kursi yang menandakan aku akan segera bertindak. “Kayaknya yang ini baru nulis ya?” tanyanya santai seakan aku akan dengan senang hati berkata, “Iya-iya-iya.” “Kalo kamu masih ingin tinggal di sini, cukup tutup mata dan berhenti bicara.” Selera menonton filmku hancur sudah, percuma saja jika aku teruskan. Aku tak fokus. “Kak Darrel!” ralatnya. Suaranya yang tiba-tiba melembut mengetuk hatiku. Memang sudah seharusnya aku memberi embel-embel ‘kak’ pada namanya. Aku terdiam, mematikan laptop dan menyimpannya di rak sebelah buku. Aku kembali duduk dan mengambil sebuah buku, mencoretnya dengan abstrak mengulur waktu sampai Darrel tertidur dan baru giliranku membenamkan mata. “Ai,” suara Darrel kembali memecah hening malam. “Hmhh,” sahutku pelan. “Will sleep.” “Hah?” aku mendengus tak percaya. Bisa-bisa dia mengerjaiku. “I will sleep.” Ucapnya lagi. Nada suaranya serius. Sepertinya dia memberi isyarat agar aku segera tidur. Entah dia benar-benar tidur atau tidak, beberapa saat kemudian aku berbaring memunggungi dia yang tak bersuara lagi. ***                    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD