I Was Married with Handsome Man

1947 Words
Aku tak tahu betul apa yang terjadi pada hidupku. Tiba-tiba saja gadis kemarin sore sepertiku sudah menjadi seorang istri. Entah kutukan apa yang terjadi padaku hingga harus menikah dengan seseorang yang tak kukenal. Seseorang yang bahkan, aku sekarang lupa siapa namanya. Aku kesal kepada ayah yang rela menikahkan putri satu-satunya dengan pria asing yang baru kami kenal. Aku juga sebal dengan bunda yang memberikannya izin begitu saja. Dan kakak, kemana dia saat nyawaku terancam? Oke, berlebihan jika berkata seperti itu. Tapi, aku benar-benar terancam. Bayangkan saja, belum genap sebulan yang lalu, pria itu mendatangi rumah kami dan berkata bahwa ia adalah anak dari sahabat bunda. Kata Sindi—sepupuku—bunda menangis terisak-isak membicarakan sahabat yang hampir sepuluh tahun tidak ditemuinya. Ya, saat itu aku tidak di rumah jadi aku tidak tahu betul apa yang mereka bicarakan. Dan tanpa diberi tahu Sindi pun, aku tahu poin utama kedatangan pria itu langsung dari bunda. Malam itu bunda membujukku habis-habisan untuk mau menikah dengan pria itu. Teganya bunda. Bunda tahu seberapa inginnya aku melanjutkan sekolah lagi. Kenapa sekarang malah membelokkanku ke jalur pernikahan? Jalur yang selama ini aku jadikan lampu merah. “Bunda memang tidak benar-benar berjanji akan menikahkan kamu dengan anak almarhun Tante Anne, tapi....” “Tapi apa?” sahut ku garang saat itu. Aku terlanjur kecewa kepada bunda. “Tapi Bunda menyetujuinya saja. Tante Anne yang merencanakannya. Keluarga suami Tante Anne orang yang baik Ai, kamu masih bisa sekolah lagi.” “Aku bahkan nggak kenal dia, Bun. Aku nggak mau, pokoknya aku nggak mau!” aku masih kukuh menolak. “Bukannya jarak umur kami juga jauh? Pokoknya aku menolak!” “Ai, ini permintaan dari sahabat Bunda yang sudah meninggal. Ini wasiat dan Bunda pernah menyetujuinya.” Bunda diam sesaat sebelum ia mulai berkata lagi. “Kak Darrel anak yang baik. Dia lulusan luar negeri, lho. Padahal, umurnya lebih muda dari Kak Lex. Dia juga nggak kalah tampan sama Kak Arley.” Aku menatap bunda seakan aku akan berkata, “Benarkah? Kalau begitu nikahkan aku.” Tapi nyatanya aku berkata, “Aku menolak!” kataku tegas sambil berlalu ke kamar. Bunda pikir aku akan tergoda begitu saja ketika mendengar dia pernah kuliah di luar negeri? Aku memang gadis yang menggilai pendidikan, tapi aku bukan orang yang menilai segala sesuatu dari tingkatannya. Dan kenapa juga bunda menyinggung Kak Arley? Tapi, jika pria itu lebih muda dari Kak Lex berarti jarak maksimal umur kami hanya empat tahun. Tunggu, hanya empat tahun? Tidak. Meski aku suka Kak Arley yang seumuran Kak Lex tapi aku tetap tidak mau dinikahkan dengan pria itu. Dan masalah tampan? Aku tak peduli. Aku lebih sayang mimpiku. “Kamu nggak sayang bunda?” pertanyaan bunda menghentikan langkahku. Aku terdiam. “Bunda akan pastikan kamu masih bisa kuliah di manapun sekolah yang kamu inginkan. Dan kamu tidak akan benar-benar menjadi istrinya secara hukum sebelum kamu lulus kuliah.” Kalimat bunda membuat aku sedikit goyah. Seberapapun besar cintaku terhadap mimpiku aku lebih cinta keluargaku. Aku terdiam. Berlalu tanpa jawaban. Dan saat ini, secara keyakinan kami, kami resmi menjadi pasangan suami istri. *** Baru seminggu yang lalu kami resmi menika. Namun, selama seminggu itulah kami tak pernah bertemu. Pernikahan macam apa ini? Aku memang membenci perjodohan dan keklisean pernikahan ini, tapi ini bukan hal yang wajar. Dia yang ingin ada pernikahan dan dia yang menghilang begitu saja. Bunda bilang dia ada tugas mendadak ke luar negeri. Huh, memangnya siapa dia? Seorang tentara yang harus berperang? Atau dokter yang harus mengobati para korban perang di luar negeri sana? Bukankah dia pegawai kantoran? Dan lagi, itu milik ayahnya, bukan? Mengapa harus repot mengurusi pekerjaan tepat setelah hari pernikahannya? Aku mengacak rambut kesal. Dia hanya mengirim pesan formal yang menyatakan kegiatannya. Memangnya aku siapa? Sekretarisnya? Aku seorang pengangguran, Darrel! Bukan sekretarismu. Aku meletakkan ponsel kembali ke meja rias di kamar Kak Lex. Lagipula, kenapa juga ayah menyuruhku membersihkan kamar Kak Lex yang tak pernah dipakai? Tiga tahun yang lalu Kak Lex menikah dengan Kak Ines, sahabat yang menjadi cintanya. Aku juga ingin seperti mereka, mencintai seseorang yang memang sejak awal sudah dikenal. Apalagi dari sahabat jadi cinta, itu namanya dari sayang makin sayang. Tapi aku? Boro-boro. Aku tidak sepopuler Kak Lex. Juga nggak cantik kayak Kak Ines. Kalo aja dulu aku berani tanya ke temen-temen cowok di kelas, berapa nilai kecantikan ku dari angka satu sampai sepuluh, pasti jawabannya nggak lebih dari tujuh. Memang cantik itu relatif. Tapi, berkali-kali aku melihat bayangan diriku, itulah yang kurasakan. Aku tidak cantik. Setelah selesai membersihkan kamar Kak Lex, aku menyempatkan menatap diriku di depan cermin ketika mengambil ponsel di meja rias. Kenapa pria tampan semacam Darrel mau menikah dengan gadis biasa sepertiku? Mata bulat, hidung bulat dan wajah bulat. Aku sudah seperti labu halloween. Dia orang kaya dan aku orang biasa yang bisa saja menggali harta keluarganya. Namun, mengapa dengan mudahnya ia menjalankan amanat ibunya? Padahal, bisa saja kami menunda hal itu. Apa semua orang kaya demikian? Berbuat sesukanya. “Drrttt.... drrrttt....” getar ponsel yang ku genggam membuyarkan lamunan. Darrel menelpon. Dan seminggu ini aku tak pernah mengangkat telponnya. Untung dia tidak mengadu ke ayah dan bunda.   “Hallo!” aku menjawab dengan enggan. Aku menghempaskan diri ke ranjang dan kemudian meletakkan ponsel di telinga. “Oh, akhirnya diangkat juga.” Kata Darrel takjub. “Aku kira lagi sakit tenggorokan karena nggak pernah angkat telponnya.” Canda diiringi tawa renyahnya menembus telinga. Memang tidak lucu. Tapi, jika orang lain yang sedang berbicara dengannya sekarang, pasti ikut tertawa hanya karena mendengar kekhasan suaranya. “Ada apa?” tanyaku langsung. “Emang nggak boleh telpon istri sendiri?” jawabnya ringan. Aku tertawa sengit mendengar pernyataannya. “Istri? Istri apaan? Emang kapan kita nikah? Gila ya? Dasar!” rutukku beruntun. “Jangan lupa perjanjian kita, Bung!” dengan kesal aku memutuskan sambungan. Dasar Darrel! Dia sudah berjanji tidak akan memanggilku atau menganggapku istri, namun baru saja ia melakukannya setelah seminggu menghilang. Kami sudah menikah tapi kami hanya pernah bertemu dua kali. Tidak, tiga kali terhitung hari pernikahan kami. Pertama, saat dia datang bersama kakaknya, mewakili ayahnya yang sakit. Mereka datang ke rumah untuk menanyakan kesanggupanku. Aku tak banyak bicara saat itu. Aku hanya mengangguk dan menggeleng setiap ditanya. Berusaha menelan apapun yang kukunyah ketika makan malam. Benar, dia tampan. Tidak berlebihan jika aku bilang dia mirip salah satu idola Kpop Karin, sahabatku. Tapi bagaimana pun, Ai hate that! Kedua saat dia secara pribadi menemuiku untuk mengukur kebaya. Saat itu aku ingin mengajak Sindi atau Sandi, sepupuku. Tapi, Darrel menolak. Jadilah kami berdua ke butik milik kenalan keluarganya. Benar-benar mewah pakaian yang dipilihkannya dan aku menolak. Aku memilih kebaya yang paling sederhana. Namun sesederhana apapun, semua pakaian di tempat itu sangat cantik. Dan setelahnya, dia mengajakku mampir ke restoran mewah. Aku tahu tujuannya bukan untuk membuatku terpesona atau memamerkan kekayaan. Dia memilih restoran yang mahal itu karena meyediakan ruangan-ruangan untuk pengunjung yang menginginkan sebuah privasi. Dan dia perlu itu. Awalnya, dia meminta maaf atas segala keinginannya yang sepihak dan terburu-buru. Dia juga mengijinkanku meminta syarat apapun yang ku inginkan. Sebagai gantinya dia hanya ingin terjadi pernikahan di antara kami. Oke, aku terima kesempatan itu. *** Seharian aku bersih-bersih rumah dan akhirnya bisa merasakan empuknya kasur. Ku raih ponsel dari nakas dan mengecek beberapa notifikasi yang baru muncul. Aku lupa menyalakannya sedari tadi. Ada beberapa pemberitahuan email dan media sosial lainnya. Sebagian besar hanya spam, tidak ada yang penting. Juga beberapa pesan dan panggilan tak terjawab dari Darrel. Biarlah.  Karin mengirimi fotonya bersama teman-temannya di Bandung lewat Line. Aku senang melihat sahabatku senang di sana. Meski di saat yang sama juga ada keirian padanya. Tapi tunggu, tidak hanya itu yang dikirim Karin. “Lihat cowok yang pakek hoodie hitam itu deh.” Aku menscrool kembali foto beberapa mahasiswa yang sedang berselfi di depan gedung sekolahnya. Jujur, itu membuat aku bertambah iri. “Cakep. Kenapa? Suka?” ledekku. “Dia nembak aku, Ai!” Aku sedikit shoock. Bukannya terkejut karena pengakuan Karin barusan, tapi aku baru ingat, Karin belum tahu jika aku menikah. Jahatnya aku yang tidak menceritakan hal penting ini. “Aku musti gimana, Ai?” waduh, Karin bertanya di saat yang tidak tepat. Aku memang sering menasehatinya soal cowok daripada Karin yang menasehatiku. Jelas lah, aku kan nggak pernah deket sama siapapun. “Dia orangnya gimana?” tanyaku balik. Aku benar-benar tidak terpikirkan nasehat apapun saat ini. Kehidupan cintaku sendiri sudah berantakan. Aku teringat Kak Arley. Karin satu-satunya orang yang tahu aku lebih dari sekedar tertarik dengan Kak Arley. “Oh iya, sekarang kan hari Sabtu, waktunya ke rumah Kak Arley.” Pekikku panik. Aku segera mengecek w******p Kak Arley. Benar, Kak Arley bilang dia bisa mengajar jam tujuh malam. What? Dan sekarang jam tujuh. Aku tak melihat lagi pesan Karin. Segera aku ambil buku-buku yang telah terbengkalai berminggu-minggu semenjak kehadiran Darrel. *** Masih setengah jam yang lalu ibu berpamitan akan keluar bersama ayah. Dan sekarang terdengar suara seseorang berusaha membuka pintu rumah. Aku menggenggam erat tas punggungku panik. Mungkinkah ayah dan ibu keluar sesingkat ini? Selangkah demi selangkah aku mendekati pintu dan saat tanganku berhasil memegang gagang pintu, pintu itu terbuka dari luar. “Aiya!” seru orang itu setengah terkejut. “Kak Lex!” aku juga menyerukan namanya sesaat setelah dia. “Ngapain, Kak?” tanyaku bingung masih di depan pintu. Pertanyaan bodoh. Ini kan rumah kami, dia pulang lah! Ngapain lagi coba? “Kamu mau kemana malem-malem begini!” Kak Alex juga memberiku pertanyaan bodoh. Bukannya dia juga tahu setiap Sabtu malam aku belajar di rumah Kak Arley. “Masuk!” perintah Kak Lex kasar. Ia menerobos masuk sambil menarik tangan Kak Ines. Terpaksa aku mengikuti langkahnya dan duduk di kursi ruang tamu. Kemudian, melipat tangan di d**a dengan kesal. Kenapa juga Kak Lex tiba-tiba membentakku? Aku mengamati kedua orang yang baru masuk rumah itu dan menyadari sesuatu. Kedua orang itu basah kuyub. “Di luar hujan, ya, Kak?” tanyaku kepada Kak Ines yang duduk di kursi depanku, sedangkan Kak Lex berjalan mengambil handuk di kamarnya. Aku segera beranjak ke belakang untuk mengambil payung. “Tuh, kamar Kakak udah aku bersihin. Mana honornya?” kataku sambil menengadahkan tangan kanan ketika berpapasan dengannya di belakang. “Ini!” balasnya sambil menepuk tanganku yang menengadah dari atas. “Wah, uangnya transparan ya?” ejekku agak jengkel. Ia malah menjulurkan lidahnya dan berlalu membuat aku bernafsu menendang kakinya. Dan akhirnya kaki pendekku ini berhasil menghantam tulang kering Kak Lex. “Auch!” pekik Kak Lex yang membuat Kak Ines menghampiri kami. “Aiya! Sakit tahu! apa kamu nendang kaki Darrel juga?” pertanyaan Kak Lex mengingatkanku bahwa sekarang aku bukan lajang lagi. Kesal mendengarnya aku segera mengambil payung dan bergegas keluar rumah. “Aiya, kamu mau kemana? Hujannya tambah deras!” sepertinya Kak Lex benar-benar lupa kalau hari ini hari Sabtu. “Kakak lupa kalau hari ini hari Sabtu?” kataku seakan tak percaya. “Kamu lupa kalau kamu sudah menikah?” Kak Lex bertanya kembali, membuat aku terdiam. Aku menghela napas menatap Kak Lex dan Kak Ines secara bergantian. Mungkin dari sorot mataku, mereka bisa menyimpulkan ketidakbahagiaan dan kecemburuanku kepada mereka berdua. “Hujannya semakin deras dan Arley tidak tahu kamu sudah menikah, Ai.” Kak Lex menurunkan nada suaranya seakan tahu perasaanku. Andai saja Kak Ines tidak ada di sini aku pasti sudah menangis di pelukkan Kak Lex. “Lalu?” tanyaku emosi. Aku tak lagi menghiraukan panggilan Kak Lex dan segera keluar rumah. Namun, seseorang mengejutkanku. Darrel berdiri mematung di balik pintu. Rambut dan seluruh pakainnya basah. Tidak mungkin ia tidak kedinginan saat ini. “Darrel! Sejak kapan kamu di situ? Cepat masuk!” seru Kak Lex membuat aku melangkah mundur dari bibir pintu. Sudah dua kali aku gagal melewati pintu ini. Sial. ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD